Senyuman Cindy, si Anak PKN

Amalia Fitri Ghaniem 9 April 2014

Pernah baca buku PKN dimana ada seorang anak teladan, jujur,  yang pintar di sekolah, selalu menurut perkataan guru dan orang tua, rajin belajar dan beribadah serta membantu meringankan pekerjaan orang tua di rumah?

Dulu saya kira anak yang melakukan itu semua hanya ada di buku PKN. Namun ketika saya bertemu Cindi, ternyata kisah-kisah itu ada di dunia nyata. Cindi adalah seorang anak perempuan di rumah yang sekarang saya tinggali di Desa Modosinal. Bisa dikatakan dia adalah adik angkat saya. Anak pertama dari 3 bersaudara ini sekarang duduk di kelas 3 SMP SATAP OEOKO, Desa modosinal, Rote Barat Laut. Cindi anak yang pendiam, sopan dan memiliki tutur kata yang halus.

Bulan Agustus lalu, tahun 2013, Ibu angkat saya yang juga Ibunda dari Cindi pergi menengok Ayahnya yang bekerja di Papua. Di rumah hanya ada saya, Cindi, kedua adiknya, Yulen dan Karin, serta Kakek mereka, Ba’i Anto. Cindi dan saya  mengambil peran sebagai Ibu rumah tangga di rumah itu. Tapi Cindi juga mengambil peran lain, yaitu sebagai Ibu dari kedua adiknya serta cucu yang harus mengurus kakeknya karena Ba’i Anto sudah cukup tua dan sering sakit-sakitan.

Di tengah-tengah kesibukannya sebagai murid kelas 3 SMP yang sedang mempersiapkan untuk Ujian Nasional, Cindi memiliki pekerjaan segudang di rumah. Dia bangun pagi-pagi, membangunkan adik-adiknya, lalu dia dan Yulen (kelas 6 SD) membersihkan rumah seperti menyapu, mencuci piring dan lain-lain. Cindi juga harus membantu Karin (kelas 3 SD) untuk siap-siap pergi ke sekolah. Karin si anak bungsu, belum terlalu mandiri sehingga masih harus dibantu atau ditemani. Terkadang jika Karin sedang rewel, Cindi harus mengurus keperluan Karin dari atas sampai bawah. Setelah dia selesai mengurus adiknya, baru dia bisa mengurus dirinya sendiri. Di hari pasar, saya dan Cindi harus pergi ke pasar setelah Subuh untuk membeli bahan-bahan makanan. Sebelum pulang kita selalu mampir di penjual kue karena Cindi ingin membelikan kue untuk adik-adiknya serta Ba’i di pasar.

Sepulang sekolah, jika Cindi pulang sekolah terlebih dahulu, maka dia menyiapkan makan siang untuk kami. Barulah dia bisa beristirahat sebentar di siang hari. Sore hari, Cindi kembali bekerja untuk memikul air, menyiram kebun, mencuci piring, menyapu dan pekerjaan rumah lainnya. Tugas saya memasak di malam hari, tapi Cindi selalu berkeras untuk menemani saya memasak. Ketika Natal pun, Cindi yang pergi ke pasar untuk membelikan adik-adiknya baju baru. Semua peran Ibu diambil oleh Cindi. Di malam hari, setelah semua pekerjaan rumah tangga selesai, Cindi biasanya membantu Karin mengerjakan PR nya, baru setelah itu dia mempunyai waktu untuk dirinya dan dia gunakan untuk belajar. Walau mati lampu, saya lihat Cindi selalu menyempatkan belajar ditemani nyala lampu minyak.

 Tidak pernah sekalipun saya mendengar Cindi mengeluh. Dia selalu tersenyum dan mengerjakan tugasnya. Begitu banyak kerjaan dan tanggung jawab yang seharusnya tidak dipikul oleh seorang gadis remaja 3 SMP. Seorang pelajar, Ibu, mengurus pekerjaan rumah tangga, kebun dan persiapan sawah, serta merasa bertanggung jawab mengurus diri saya. Tapi apakah Cindi pernah mengeluh? Walaupun di mukanya terlihat perasaan tertekan, tapi ia tidak menyuarakannya. Beberapa kali saya memergoki dirinya sedang menangis. Walaupun tidak mengatakan alasannya ketika saya bertanya, tapi saya tahu bahwa ia merasa lelah.

Dalam 5 bulan kepergian ibunya, saat-saat Cindi menjadi remaja seperti pada umumnya hanyalah ketika ia di sekolah atau ketika ada pesta dan ia berkumpul dengan teman-temannya. Tapi ketika kembali ke rumah, dia harus kembali memegang banyak peranan. Senyum lelah kembali menghiasi wajahnya.

Bukan Cindi saja yang harus memikul tanggung jawab dan pekerjaan yang banyak. Banyak remaja perempuan di sini yang berada di posisi yang sama dengan Cindi atau malah lebih buruk. Kehidupan remaja disini memang jauh berbeda remaja pada umumnya. Jika anak perempuan sudah cukup besar (kelas 5 ke atas), maka mereka diwajibkan membantu mengurus rumah tangga. Ketika pagi-pagi kita tinggal bangun sekolah, mandi dan sarapan sudah tersedia di atas meja, Cindi dan teman-temannya yang lain harus merapikan rumah, cuci piring, kasih makan ternak dan mengurus adiknya. Ketika pulang sekolah, mungkin kita biasa pergi bermain, les atau mungkin ke mall, mereka harus cepat pulang untuk memasak. Ketika sore hari, mungkin kita sedang santai nonton TV, mengerjakan tugas atau berkumpul bersama teman dan keluarga, mereka harus mengurus kebun, pikul air, atau menggendong adiknya karena orang tua sedang kerja sawah.Bahkan banyak dari mereka yang juga harus membantu kerja sawah. Hanya di malam hari mereka benar-benar bisa beristirahat.

Apakah ini adil? Saya sendiri tidak bisa menjawab hal ini. Tapi jika kita masih mengeluhkan hal-hal kecil dalam hidup kita, tanpa sejenak memikirkan Cindi dan teman-temannya yang tidak punya pilihan, saya rasa kita bersikap tidak adil terhadap mereka.

Saya sendiri belajar banyak hal mengenai kesabaran dan keikhlasan ketika 5 bulan hidup tanpa Ibu angkat. Secara tidak langsung bertanggung jawab terhadap 3 adik saya karena saya orang dewasa di rumah itu dan dititipi secara langsung oleh Ibu mereka.

Kini Mama Da, Ibu angkat saya sudah pulang.. Walaupun dia masih harus tetap membantu mengurus rumah tangga, namun kini sudah ada Ibunya sehingga dia bisa kembali menjadi anak-anak. Senyum lelah di muka Cindi sudah hilang, digantikan dengan senyum riang layaknya anaknya remaja.


Cerita Lainnya

Lihat Semua