Penyergapan yang “Berantakan”!
Fandy Ahmad 23 Juli 2012Hari ini pertama masuk sekolah, sejak libur tiga hari jelang puasa. Tidak ada upacara bendera pagi ini (Senin, 23 Juli 2012). Karena lapangan upacara kami dipenuhi material bangunan yang digunakan untuk membangun gedung baru. Saya sampai di sekolah tepat pukul 07.00 WIB. Beberapa guru tampak sudah datang sebelum saya datang. Wah, meskipun hanya beberapa orang guru saja, saya salut dengan semangat mereka untuk datang ke sekolah mengajar.
Tanpa bel berbunyi, waktu telah menunjukkan pukul 08.00 WIB tanda kelas di mulai. Saya bergegas menuju ke kelas V untuk mengajar pelajaran Matematika. Saat masuk kelas, saya kaget melihat kondisi kelas yang isinya hanya 15 ‘biji’ anak saja. Padahal murid kelas V jika masuk semua, jumlahnya bisa sampai 78 orang yang menggemaskan dan riuh-ramai itu. Tidak seperti biasanya, kelasku pagi ini seperti kuburan, seeeepiiiii! Dan saya hanya bisa mangap (membuka mulut lebar-lebar) juga melongo.
“Anak-anak bapak yang lain ke mana?” tanyaku langsung ke anak-anak yang ada di ruangan itu, tanpa memberi salam. Karena menurutku kelas belum bisa dimulai jika kondisinya demikian.
“Nggak masuk paaak!” jawab anak-anakku dengan wajah polos bin lemas karena puasa.
“Kenapa tidak masuk sayang? Ada yang tahu nggak?” tanyaku lagi.
“Malaaaaaasss paaaak!” jawab Sukma, si ketua kelas. Sama dengan yang lainnya, lemas juga polos.
“Aaaapa? Maaaalas?” jawabku terheran-terheran setelah itu gemas!
Aku bingung harus melakukan apa. Anak-anak aku suruh tenang sejenak di kelas. Lalu aku menuju kantor untuk mencari tahu ke guru-guru yang ada di kantor. Apakah anak-anak sudah diberi tahu kalau hari ini masuk sekolah seperti biasanya? Guru-guru yang ada di kantor menjawab sudah diberitahukan!
“Sudah di umumkan Pak! Tapi kalau puasa-puasa gini mah, anak-anak banyak yang malas ke sekolah. Nanti capek, lemas, tidak konsentrasi belajarnya. Kalau di sini Pak, sudah biasa kayak gitu, malas.” ujar seorang guru menjelaskan panjang lebar.
Mendengar penjelasan guru itu, sama seperti sebelumnya aku hanya mangap dan melongo. Kali ini saya jengkel kerena saya paling tidak suka dengan yang namanya M-A-L-A-S! Apalagi malas yang meminta pemakluman lebih, alias manja. Ya ampun, ini sudah menjadi budaya. Tapi kenapa anak-anakku malas. Apa penyebabnya ya?
Kepalaku mulai mendebatkan banyak hal soal penyebab anak-anakku malas. Mulai dari sekolah kurang menyenangkan, sekolah seperti penjara, sekolah tidak memberikan apa-apa, sampai seabrek hal negetif yang menuduh sekolah sendiri yang menjadi penyebab budaya ini. Kepalaku terus berdebat seperti mahasiswa sok idealis yang berdebat sampai urat lehernya mau putus.
Cepat-cepat kepalaku aku tertibkan, karena tidak banyak manfaatnya. Aku bergegas kembali ke kelas V. Di kelas, tampak beberapa anak tertidur. Dan yang lainnya, menyandarkan kepalanya di kursi. Santai betul mereka, seperti bos saja.
“Kelass Limaaaaaa!!!?” aku meneriakkan ‘sinyal’ yang selalu kami gunakan di kelas biar kelas kondusif.
“Hebat, hebaaaaat!?” jawab murid-muridku tidak seperti biasanya. Kali ini mereka menjawab seperti orang mabuk laut; lemas, mata 5 watt, kosong, dan sempoyongan.
“Helllllooooo? Ini ada bapak guru di depan. Masak saya tidak dianggap sih? Ini anak-anak mau di jitak ya?” kataku jengkel dalam hati, namun aku tetap tersenyum mengelus dada sambil memandangi mereka.
“Apakah kita bisa memulai pelajaran, anak-anak?!” aku membujuk mereka. Namun, tidak ada respon.
“Hari ini kita belajar Matematika!” kataku lagi.
“Huuuuuuu...! Pusing Paak...! Huuuuuuu....!” jawab anak-anakku bersahut-sahutan. Namun kali ini anak-anakku tidak menjawab seperti orang mabuk. Tapi mereka menjawab dengan tegas, respek-respon, dan sangat bersemangat. Sambil memukul-mukul dan mengoyangkan meja.
“Nah, sebelum belajar bapak mau mengajak anak-anak bermain dan bernyanyi. Mau atau tidak?” aku menawarkan ke anak-anak.
“Mauuuuuu!!!” kali ini mereka sangat bersemangat dan kompak. Karena sebelumnya aku sudah memberikan mereka lagu “open banana”. Ice breaking yang sering saya dan pengajar muda lainnya nyanyikan saat pelatihan intensif. Mereka sangat senang dengan lagu itu. Makanya jika mereka diberi lagu baru, anak-anakku ini akan sangat antusias.
Lagu baru yang aku berikan pagi ini yaitu lagu “Hallo Apa Kabar Teman!”. Cukup tiga sampai empat kali diulang, murid-muridku sudah mengahapal lagu itu. Mereka lalu aku ajak untuk berbaris dua saf di depan papan tulis.
“Nah, sekarang kita akan main detektif-detektifan. Bapak akan ajak anak-anak keliling kampung untuk mencari teman-teman kita yang tidak ke sekolah. Lalu kita sergap, kalau tertangkap kita nyanyikan lagu ‘Hallo Apa Kabar Teman’. Setelah itu, kita ajak ke sekolah ya. Tapi jangan di paksa atau diejek. Kalau teman kita sedang sibuk mau ke kebun atau sibuk yang lainnya. Tidak usah dipaksa ya. Kita jalan tetap tertib dan berbaris yang rapih ya anak-anak! Setuju!?” kataku memberi instruksi.
“Setujuuuuuu!” jawab pasukan kecilku dengan semangat-antusias.
“Tapi paksa aja ke sekolah pak! Sibuk mah, alasan aja eta Pak!” celetuk muridku bernama Abu Nawas yang badannya lebih besar dari teman-temannya.
Aku meminta Sukma si ketua kelas untuk memimpin barisan di depan. Sementara Abu Nawas mengawasi pasukan dari belakang. Kami lalu bergerak menuju pemukiman warga Kampung Lebuh untuk mencari anak-anak yang tidak berangkat ke sekolah karena alasan MALAS. Awalnya berjalan baik. Dua anak perempuan kelas V sedang nonton TV di rumahnya. Kami sergap lalu menyanyikan lagu ‘Hallo Apa Kabar Teman!’. Mereka tertawa senang karena di kunjungi teman-temannya. Lalu mereka berdua bergegas ganti baju lalu bergabung di tim kami untuk mencari anak-anak yang lain.
Tapi saat masuk ke tengah perkampungan, Apri salah satu muridku yang paling lucu di kelas terlihat bermain kelereng di depan Musholla bersama Pikri yang juga tidak bersekolah hari ini. Abu Nawas lalu menyuruh temannya berpencar lalu mengepung Ferdi dan Pikri. Tapi ketahuan, kaburlah Apri dan Pikri untuk bersembunyi. Lalu ramai-ramai anak-anakku mengejarnya sampai di tengah sawah. Apri tertangkap, mereka menyayikan lagu ‘Hallo Apa Kabar Teman’ untuk Ferdi, menyuruhnya ganti baju lalu bergabung bersama kami. Namun Pikri berhasil kabur sambil berteriak di tengah kampung “Ada pak guruuuuuuu!”.
Kali ini barisan kacau. Anak-anak berpencar mengejar Pikri tapi mereka bertemu dengan anak-anak lain kelas V yang tidak sekolah. Kejar-kejaran pun tak terhindarkan, semua murid ikut menyergap teman-tamannya yang lain yang tidak ke sekolah. Saya ditinggal sendiri, mematung sambil melongo melihat ulah anak-anakku.
“Ya ampun anak-anak, tidak usah di kejar sayang!” aku berteriak memberi perintah ke anak-anak.
“Eta kabuuuur Pak!” ujar Hikal muridku yang terkecil di kelas tidak peduli tetap saja mengejar temannya sambil membawa kayu.
Aku hanya garuk-garuk kepala melihat ulah anak-anak. Mereka yang di kejar ada yang jatuh di selokan, manjat pohon kelapa untuk bersembunyi, bersembunyi di kolong rumah, dan di kandang kambing. Ada dua muridku yang manjat pohon kelapa, tapi mereka akhirnya turun dengan selamat setelah ditunjuk-tunjuk oleh anak yang mengejar sambil menyanyikan lagu ‘Hallo Apa Kabar Teman’.
Yang lucu ada seorang muridku yang tidak ke sekolah sedang berak di kali. Saat di sergap dia hanya melongo di tempat, keheranan melihat teman-tamannya yang menunjuk-nujuk ke arahnya sambil menyanyikan lagu “Hallo Apa Kabar Teman!”. Dia cuek sambil melanjutkan berak-nya dengan khusyuk. Ulah anak-anakku membuat aku kikuk berjalan di depan Ibu-ibu yang keluar dari dapur untuk melihat apa yang terjadi. “Punten Ibu! Punten! Permisi!” aku menyapa ibu-ibu itu dengan muka tebal menunduk.
Bukan hanya anak-anakku yang mengejar teman-temannya. Anak-anak muda pengangguran juga ikut mencari sambil membawa kayu bakar berukuran besar sebagai alat untuk mengancam anak-anak yang coba-coba kabur. “Ini pak, adik saya, sembunyi di bawah kolong tempat tidur. Hukum saja pak di sekolah nanti” ujar seorang pemuda dengan garang.
Setengah jam kemudian kejar-kejaran berakhir. 25 orang lebih muridku yang tidak ke sekolah sudah ganti baju untuk bergabung bersama kami lalu menuju ke sekolah. Anak-anakku sudah berhasil mengajak teman-temannya untuk ke sekolah. Kami berjalan ke sekolah sambil menyanyika lagu ‘Salam-salam!’ dengan riang. Di jalan, ibu-ibu yang sedang duduk-duduk di teras rumah menyapaku. “Paak Pandi! Bagus pak kalau begitu! Hukum saja pak!” ujar ibu-ibu dengan PD-nya tapi malu-malu. Aku semakin kikuk, karena penyergapan yang diharapkan berjalan dengan tertib-menyenangkan menjadi berantakan. Menjadi perhatian ibu-ibu. Ya, semoga besok mereka bisa menyuruh sendiri anak-anaknya ke sekolah.
Saya menganggap anak-anak harusnya ke sekolah untuk mendapatkan pelajaran yang menyenangkan. Bukannya tinggal di rumah melakukan hal-hal yang bukan bagiannya. Kami terus melangkah ke sekolah. Pencarian disudahi karena separuh anak-anak lainya yang tidak ke sekolah tinggal di kampung sebelah yang jaraknya sekira 2 Km.
Kami pun sampai di sekolah. Saya memberi salam kepada anak-anak dan memulai pelajaran Matematika kreatif yang menyenangkan. Anak-anak antusias belajar, mereka bertanya dan menjawab. Tidak seperti orang mabuk. Kelas riuh-ramai, di Bulan Puasa!
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda