Nuhun, Mister Hosisora’ Poundasion!

Fandy Ahmad 3 Desember 2012

Pertama saya ucapkan terima kasih kepada Hoshizora Foundation yang telah memberikan beasiswa kepada anak-anak di Sangiang Jaya yang luar biasa! Terima kasih dan apresiasi kepada Pegajar Muda sebelum saya Indarta Kuncoro Adji, dengan semangat dan perjuangannya anak-anak di Sangiang Jaya medapatkan kesempatan untuk diberi beasiswa oleh Hoshizora Foundation. Iya, hampir lupa Mba Main juga, Pengajar Muda sebelumnya yang diberi amanat oleh Adji untuk menginformasikan penerima beasiswa kepada saya. Ya ampun, lupa, Kak Yudi dari Hoshizora Foundation tidak boleh ketinggalan saya ucapkan terima kasih karena kesabarannya menunggu saya naik bukit untuk menelfonnya. Sabar dan menyuntikkan semangat kepada saya tentunya.

Mengurusi beasiswa dari Hoshizora Foundation adalah kehormatan bagi saya. Di beri kesempatan membantu lembaga, yang hati dan pikirannya tulus untuk mendorong mutiara-mutiara Indonesia di pelosok Lebak punya masa depan.

Saya dapat sms dari Mba Main. Isi sms-nya komplit bin lengkap;

 

Mba Main:

“Fandiiiii.....ini ku foward sms terkait beasiswa hoshizora. Langsung dr HP Aji yg dibawa temannya. Si Aji.nya lg ng Itali.”

Mba Main lagi:

“08532569XXXX sila hub. Nomor hoshizora”

Masih Mba Main:

“Dear kak Indarta Kuncoro A. Adik kakak yang bernama armawati, risma wati, sri wahyuni, sumanah, siti aminah, niah solihah, telah mendapatkan kakak bintang dan sehubingan dengan pendistribusian donasi kami mohon no rekening dan nama bank kakak, dan nanti penyerahan donasi ke adiknya bisa didokumentasikan. Hoshizora Foundation”

Saya, Fandy:

“aq telpon mba main g diangkat..mba main telpon aq g eroh lek ono tilpun..wah kita bukan jodoh ternyata..”

 

Saya pun bergegas pulang ke Lebuh. Waktu itu sedang nginap di rumah tinggal Juwita Fitrasari PM sepenempatan Lebak. Rumahnya di Kampung Cilaketan. Dalam rangka membuat Run Down Acara Kemah Budaya kegiatan tim. Sampai di Lebuh magrib. Aku mampir di bukit untuk mengabarkan kepada Pak Muhidin penanggung jawab SD Filial di Kampung Bubur, tempat saya juga mengajar. Meminta Pak Idin (begitu saya memanggilnya) untuk mengumpulkan orang tua murid yang dapat beasiswa. Karena ada murid di sana yang dapat beasiswa juga. Sms terkirim, pulang ke rumah istirahat dulu, tak sabar menanti hari esok yang penuh kejutan.

Paginya ya seperti pagi yang biasa. Yang beda Emakku membuatkan pisang goreng minyak kelapa. Badanku segar, sarapan, lalu berangkat ke sekolah. Disekolah aku sampaikan kabar gembira ini ke seluruh warga sekolah, di kelas atau di ruang guru. Agar mereka termotivasi dan mengisi hari-hari dengan penuh semangat.

Masuk waktu istirahat aku bergegas ke Kampung Bubur SD Filial. Sampai, orang tua murid yang menerima beasiswa sudah kumpul semua. Kami kumpul di teras rumah Pak Komar. Uztads tokoh masyarakat yang juga ngajar di sini. Karena SD ini tdak punya kantor. Tidak ketinggalan gorengan (pisang goreng bukan minyak kelapa, pisang molen, dan bakwan), kopi, sirup, aneka makanan yang melengkapi keakraban kami. Wah, inisiatif sekali Pak Komar, mumpung saya lagi lapar plus doyan gorengan.

Saya membuka meeting dengan sepatah dua kata. Menyampaikan harapan-harapan saya kepada orang tua untuk berpartisipasi aktif mendorong prestasi anak. Mereka tidak boleh putus sekolah. Selain partisipasi aktif dalam pendidikan di Kampung Bubur. Tidak ketinggalan teknis penyaluran beasiswa kompak disetujui oleh orang tua murid dengan antusias. Teknis penyaluran yang saya tawarkan tidak terlalu rumit. Sekarang juga anak-anak diminta me-ngelist kebutuhan sekolahnya dengan bantuan orang tua. Dari seragam sampai kebutuhan lainnya yang tidak menyalahi aturan Hoshizora Foundation dan tidak menyalahi kewajaran serta kebutuhan anak.

Melihat orang tua dan anaknya di bantu wali kelas melist kebutuhan sekolah lalu dibelajakan dengan beasiswa dari Hoshizora Foundation itu so sweat sekali! Saya dan guru-guru di sini terharu. Ini (salah satu) capaian dambaan batinku. Yang membuat saya tak bisa menahan haru dan tawa, ada orang tua dengan polos dan terbata-bata bilang; “Pak Pandi, tolong sampaikan ucapan nuhun urang ka Mister Hosisora’ Poundasion! Nuhun sanget. Boleh nte’ eta budak ngenyampaiken nuhun lewat surat ka Mister Hosisora’ Poundasion? Abdi moal bisa nulis (Pak Pandi, tolong sampaikan ucapan terima kasih kita ke Mister Hosizora Foundation! Terima kasih sekali. Boleh tidak itu anak menyampaikan terima kasih lewat surat ke Mister Hosizora Foundation?)” kata Pak Sobri, orang tua Sumanah muridku.

“Tentu saja boleh Pak Sobri. Mau tulis suratnya sekarang boleh! Tapi Hoshizora Foundation itu bukan nama orang, Bapak! Itu nama lembaga” kataku terharu sambil menahan tawa. Namun, tawa cekikikan pecah dari guru-guru. Pak Sobri terheran-terheran sambil bertanya-tanya; “Apa yang lucu?” tawa semakin meledak termasuk saya juga meledak.

Setelah semua terlist, esok harinya anak-anak (termasuk yang tinggal di Lebuh) saya bawa ke Rangkasbitung untuk belanja ramai-ramai naik mobil Pak Idin. Pak Idin itu solutif sekali. Saat tidak ada angkutan dari Sangiag Jaya menuju Ragkasbitung dia akan merespon dengan dada terbusung; “Tenang, ada muhidin si anak Jampang! Naik mobil Muhidin saja” begitu katanya sambil memukul dadanya.

Belanja ramai-ramai itu sangat menyenangkan. Nilai edukasi yang saya tanamkan saat belanja ramai-ramai adalah anak-anak mampu pintar-pintar memilih kebutuhannya sendiri. Mampu memilih untuk dirinya sendiri. Belajar hemat. Dan saya sisipkan pelajaran Matematika yang melibatkan uang. Anak-anakku ini jago-jago ngitung uang. Sudah tahu nilai tempat hingga milyaran. Ya iyalah, anak-anak berprestasi masak nggak bisa pegang uang 480.000! Oh iya, saya lupa mereka mendapatkan 480.000 per anak per semester. Mereka sangat cermat memilih kebutuhannya. Meskipun ada yang salah memilih ukuran baju ^_^’. Tapi tenang, bajunya sudah saya tukar.

Setelah belanja, saya traktir mereka makan bakso solo yang sudah lama dikangeni perut saya. Kami makan dengan lahap. Lalu pulang magrib. Pak Idin yang nyetir mobil terlihat kelelahan tapi masih semangat meskipun harus balik ke rumahnya di Cimarga yang jaraknya dua jam. Orang tua anak-anakku sudah menunggu di jembatan gantung menuju sekolah untuk menjemput anak-anak. Anak-anak dan orang tua tampak senang.

Aku pulang ke Lebuh membonceng Rismawati yang juga tinggal di Lebuh melewati jalan yang menyeramkan jika malam hari. Jaraknya sekitar 30 menit. Sampai di rumah Risma aku suruh pulang. Aku mandi, ganti baju, ternyata perutku mual. Aku masuk angin. Emakku tahu itu. Malam ini aku lalui dengan penderitaan yang sangat. Karena dipaksa untuk mengikuti perintah Emak yang paling aku takuti. Dikerok!


Cerita Lainnya

Lihat Semua