Ketika Musim Tanam Tiba di Doro Le’de

morinta Rosandini 7 Desember 2012

 

Bulan dua belas, saatnya musim barat bertiup di bumi Tambora. Itu pertanda sudah datangnya musim penghujan. Saat pertama kali saya tiba di desa ini, tidak sedikit orang yang mewanti-wanti saya untuk berhati-hati saat datangnya musim barat. Mereka bercerita tentang dahsyatnya musim barat dan berbagai cobaan yang akan saya hadapi dikala musim tersebut tiba. Salah satunya adalah cerita tentang jalan menuju dusun doro le’de, kelas filial SD saya. Kabarnya kalau sudah musim barat jalan menuju dusun tersebut akan menjadi sangat licin dan banyak lubang, ditambah lagi dengan kondisi jalan yang menanjak, menambah tantangan bagi siapapun yang akan menuju dusun tersebut.

Kamis ini adalah giliran saya naik ke kelas atas, dengan mengunakan motor pak Kepala Sekolah saya diantar ke dusun doro le’de pagi-pagi sekali. Baru kali ini saya merasakan jalan menuju dusun begitu berbeda dari biasanya, jalan yang berpasir tersebut kini sudah mengeras karena diguyur hujan lebat beberapa hari ini. Di awal perjalanan terasa sangat mudah karena jalan masih mendatar, namun seiring tanjakan demi tanjakan yang dilalui cobaan pun semakin berat. Jalan berlubang membuat pak Kepala menyetir motornya ke kanan dan ke kiri bergoyang begitu cepatnya, sesekali hampir terjatuh. Saya sebagai penumpang dibelakang hanya bisa berdoa semoga cepat sampai di sekolah.

Dusun doro le’de terpisah menjadi tiga bagian, bagian pertama adalah kampung bawah, tempat 6 kepala keluarga tinggal, disana tinggal lima anak murid saya. Bagian yang kedua adalah kampung atas, disana tinggal sekitar 11 kepala keluarga, jaraknya dengan kampung bawah sekitar tiga kilometer. Bagian yang ketiga, yang mereka sering sebut sebagai ‘ladang’ adalah tempat warga dusun mencari nafkah, jarak dari ladang kerumah bermacam-macam, jauhnya sekitar dua sampai lima kilometer. Di ladang mereka menanam berbagai tanaman bergantung pada musimnya, di ladang pula terdapat rumah-rumah tempat mereka tinggal, bagaikan sebuah vila, rumah di ladang merupakan tempat mereka tinggal sementara pada musim tanam tiba, beberapa bahkan tinggal menetap di rumah ladang sepanjang tahun. Begitulah kira-kira pemetaan kondisi dusun doro le’de tempat saya mengajar di kelas atas, lalu sebuah pertanyaan pun muncul, dimanakah letak sekolah?.

Sekolah filial SD saya terletak di kampung atas, di antara ladang jambu mete milik sekolah dan beberapa rumah lainnya. Sekolah yang sangat sederhana hanya ada satu gedung, satu kelas, tanpa daun jendela dan tanpa daun pintu, akan terasa sejuk sekali ketika siang hari, dimana angin berhembus bebas ke dalam kelas membuat penghuninya nyaman berada di dalamnya. Saya berada di dusun ini dua kali dalam satu minggu, setiap kamis dan jum’at, menginap di rumah orang tua angkat yang merupakan orang tua salah satu murid saya di sekolah. Dengan kondisi jalan yang sulit tidak banyak guru yang mau naik ke atas, sehingga jarang sekali anak-anak mendapatkan pelajaran di sekolah.

Kamis ini nampak berbeda dari kamis biasanya, musim tanam sudah tiba, sesampainya di kampung bawah, sepi menyambut saya. Jalan menuju sekolah yang semakin licin dan berlubang membuat pak Kepala Sekolah tidak berani melanjutkan perjalanan sampai depan sekolah, dengan terpaksa saya turun dari motor dan berjalan kaki menuju kampung atas. Jalan mendaki dan tas ransel berisi buku dan baju yang tidak ringan membuat langkah saya sedikit melambat, namun keceriaan pagi itu tidak berkurang karena saya ditemani oleh beberapa anak murid saya yang tinggal kampung bawah dan di ladang mereka. Menyusuri jalan tanah dikelilingi oleh rimbunnya tumbuhan di kanan kiri jalan semakin menambah kesegaran dan semangat saya untuk sampai di sekolah. Sesampainya di kampung atas, kondisinya tidak jauh berbeda dari kampung bawah, sepi menyapa kembali. Hanya ada anak-anak yang berlarian menyambut gurunya yang sudah datang di sekolah.

Entah mengapa pagi itu anak-anak berebut menawarkan saya untuk menginap di rumah mereka. Kata mereka ibu angkat saya saat ini sedang berada di ladang, ladangnya jauh sekali, sehingga di rumah tidak ada orang yang temani saya tinggal dan bantu memasak. Anak-anak di kampung bawah bilang, “Tinggal saja di ladang saya Bu!”, sedangkan anak-anak di kampung atas bilang, “Tinggal di rumah saya saja Bu!”. Berebutnya anak-anak membuat saya bingung, dimana saya akan tidur nanti malam?. Benar ternyata hampir 80% dari keluarga yang tinggal di dusun ini semua sudah berpindah tinggal ke ladang. Hanya tertinggal dua sampai tiga kepala keluarga yang bertahan di rumahnya. Sepi sekali, semua orang sudah pergi, termasuk orang tua anak-anak murid saya dan orang tua angkat saya. Musim barat berarti musim tanam, dan itu juga berarti musim berpindahnya warga di dusun ke ladang. Saya harus memutuskan segera dimana saya akan menginap, tapi pagi itu saya belum bisa memilih, saya lebih memilih mengajar dulu saja, untuk menginap saya pikirkan nanti saja.

Walaupun kampung terasa sepi, namun saya bersyukur ternyata anak-anak murid saya tetap semangat untuk masuk sekolah, 90% dari mereka masuk sekolah, sisanya tidak datang karena sakit. Syukur Alhamdulillah ternyata kesadaran mereka untuk mau sekolah cukup tinggi, pada awalnya saya khawatir sedkit anak yang akan masuk sekolah saat musim tanam, karena terkadang orang tua mereka mengajak anak-anak pergi ke ladang untuk membantu mereka. Ternyata kekhawatiran saya tidak terbukti.

Selesai sekolah kebingungan saya kembali datang, dimana saya akan makan dan beristirahat menunggu datangnya waktu les. Namun tiba-tiba, seorang murid saya, Mala, berkata: “Bu, ayo ikut ke ladang saya, Ina (ibu) saya suruh Ibu makan disana”. Wow sebuah ajakan yang menarik pikir saya, “Dimana ladang Mala?”, tanya saya. “Di atas sana bu”, jawab Mala, sambil menunjuk bukit nun jauh disana. Sudah lama saya ingin berkunjung ke ladangnya anak-anak, bertemu orang tua mereka dan melihat keindahan bentang alam kaki gunung Tambora dari dusun Doro Le’de. Saya pun berpikir, “Mmmh...boleh yuk”. Kami pun berangkat dari sekolah menuju ladang Mala, saya tidak sendiri dan tidak juga berdua, saya ditemani rombongan anak-anak yang juga akan pulang ke ladang mereka masing-masing, yang dimana jaraknya berdekatan dengan ladang Mala.

Berjalan menuju ladang Mala, merupakan sebuah perjuangan tersendiri dan pengalaman menakjubkan bagi saya. Jalannya yang naik turun, bagaikan mendaki gunung Tambora. Diperjalanan saya dapat melihat dengan jelas bibir pantai laut Flores dari kejauhan, terbentang luas sampai batas cakrawala bumi. Sebelum tiba di ladang Mala, saya di ajak mampir di beberapa ladang lain, salah satunya adalah ladangnya Suhar, murid kelas V. Ladang Suhar sudah subur di tumbuhi padi kering yang berjajar rapi di lereng-lereng bukit ladangnya, di ladang tersebut terdapat gubuk kecil yang merupakan tempat tinggal Suhar dan kakaknya. Suhar tinggal bersama kakakknya karena ibunya sudah meninggal semenjak Suhar kecil dan saat ini ayahnya sedang bekerja di Malaysia sebagai TKI, disana Suhar memperlihatkan foto ayahnya yang dipajang di dinding kayu. Dia bilang: “Ayah bulan dua belas ini akan pulang, Bu. Dua puluh hari lagi”. Sambil tersenyum dengan gingsulnya, Suhar terlihat senang sekali. Sebuah berkah musim tanam, ayahnya Suhar akan pulang bertemu dengan anaknya.

Setelah beristirahat sebentar di gubuk yang teduh, perjalanan kembali dilanjutkan. Anak-anak berebut membawakan tas saya, lucunya mereka saat berebut membawakan tas yang saya bawa, satu sama lain tak mau kalah membawakan tas yang paling besar. Katanya: “Biar ibu, nanti ibu capek, biar kami yang bawa.”. Jika sudah demikian maka saya akan memberikan tas saya untuk di bawa mereka, namun terkadang saya bawa sendiri, buat latihan naik gunung nanti saya pikir.

Semakin jauh saya berjalan, semankin indah pemandangan yang disuguhkan dibukit Doro Le’de. Di kanan kiri saya dapat jelas melihat sawah kering dan ladang kacang yang tunasnya sudah muncul sedikit dipermukaan tanah. Sesekali anak-anak mengambil beberapa buah hasil petikan mereka, untuk yang satu ini, pengetahuan mereka lebih jago dibadingkan gurunya sendiri. Mereka tahu persis setiap tumbuhan yang mereka lalui, mereka hapal betul rasa dan bentuk daun serta buahnya dan yang lebih serunya lagi mereka selalu ikhlas memberikan penemuan-penemuan mereka untuk gurunya yang ikut berjalan bersama mereka. Selama perjalanan mulut saya tak pernah kosong dari makanan persembahan mereka, ada kedondong, jambu mete, singapura (buah anggur) dan masih banyak lagi. Salah satu persembahan favorit saya adalah jambu tumbuh, mereka menyebutnya jambu tumbuh karena sebenarnya itu adalah tunas jambu mete yang baru tumbuh, dan bila dimakan rasanya enak sekali, baru kali ini saya mencobanya. Kapan lagi saya coba rasa tunas jambu mete, kalau di kota harganya akan sangat mahal sekali, disini bisa saya ambil sesukanya. Ternyata musim hujan kali ini membawa banyak air, sehingga banyak jambu tumbuh yang hidup liar di sekitar ladang warga.

Ladangnya Mala, tidak sedekat yang saya duga, jauh juga ternyata. Saya hampir menyerah dibuatnya, tapi saya percaya semua lelah akan terbayar ketika sudah sampai disana, entah karena pemadangan, entah karena orang-orang yang sudah menunggu kedatangan saya disana. Dugaan saya benar, sesampainya di ladang Mala, semua lelah yang tadi sempat menyapa di jalan, hilang sudah. Luasnya ladang, segarnya udara, hingga ramainya orang yang menunggu disana membuat hati ini senang tak terkira. Di tengah ladang terdapat gubuk kecil tak berdinding, disana orang tua Mala dan beberapa orang tua murid sedang menunggu kedatangan saya dan anak-anaknya. Di gubuk tersebut saya duduk sambil menikmati sejuknya pemadangan sambil melihat beberapa anak bermain kejar-kejaran di ladang yang masih belum ditanami padi. Ibunya mala dengan sigap segera menyuguhkan hidangan siang, lauknya adalah gulai ayam kampung, khas Lombok. Rasa kuahnya yang pedas dipadu dengan alotnya ayam kampung membuat saya lahap makan bersama anak-anak lainnya. Sambil berbincang-bincang dengan beberapa orang tua murid, yang mengeluhkan betapa sedihnya mereka ketika tidak ada guru yang naik, padahal mereka sangat ingin anak mereka dapat pelajaran yang layak. Bapak ibu yang ada disana saat ini meninggalkan rumahnya di kampung atas, untuk tinggal selama sekitar empat bulan di ladangnya masing-masing. Menanam dan menjaga ladang mereka dari serangan babi dan monyet yang siap menyerang sawah dan ladang kacang mereka. Sebenarnya saya sedikit malu berada disana, karena datang-datang langsung disuguhi makanan, padahal orang tua mala bukan orang tua angkat saya disana. Tapi dengan lembo ade (besar hati)  mereka menyediakan makan siang untuk saya makan, bahkan memperbolehkan saya tinggal di rumah Mala di kampung atas malam ini, ditemani Mala dan Suhar. Orang tuanya tidak dapat ikut turun karena harus menjaga ladang mereka. Gubuk sederhana itu sudah menjadi tempat tinggal mereka, bahkan untuk empat bulan kedepan. Saya sedikit takjub dibuatnya, sambil bertanya: “Ibu tinggal disini kalau jaga ladang?”. Ibu Mala menjawab: “Ya, disini sudah Bu”. Ketakjuban saya beralasan karena sebenarnya gubuk tersebut kondisinya tidak layak huni, hanya ada sebuah dinding kayu di sebuah sisinya, atap dan lantai yang dibuat tinggi beberapa centi dari tanah, khas sekali gubuk orang Lombok yang merupakan mayoritas penduduk Doro Le’de. Tidak terbayang bagaimana keluarga Mala dapat tidur dalam kondisi hujan dan angin dingin di malam hari, serta godaan beberapa hewan seperti ular dan babi yang berkelana di mana-mana.

Selesai makan siang, anak-anak berkumpul di gubuk untuk beristirahat sambil menonton video Jaka Tingkir dari hape kepunyaan bapaknya Mala. Yap, begitulah mereka menikmati hiburan selama ini, dari sebuah hape sederhana dengan merek abal-abal yang dapat menayangkan beberapa video seperti Jaka Tingkir dan kartun Tom and Jerry. Sembari mereka tertawa karena melihat adegan lucu dari video tersebut saya tertidur dipinggir satu-satunya dinding yang ada di gubuk tersebut, menyandar pada beberapa karung berisi sembako. Angin sepoi-sepoi, cuaca dingin dan tanah basah karena hujan membawa saya jauh meninggalkan alam nyata menuju alam mimpi.

Siang itu saya terlelap sebentar di gubuk keluarga mala, saya terbangun karena teriakan anak-anak bermain di ladang. Saat terbangun seorang anak menanyakan kepada saya: “Ibu nanti les?” sebuah pertanyaan wajib setiap pulang sekolah. Sambil setengah sadar saya menjawab: “Iyap les, yuk berangkat!”. Sambil melirik jam, ternyata sudah jam 14.00, biasanya les dimulai jam 14.00, waduh bisa-bisa saya terlambat sampai di sekolah nih, mana perjalanan bisa memakan waktu 20 menit dari sini. Dengan sedikit terburu-buru saya berpamitan kepada orang tua Mala untuk berangkat kembali ke sekolah, sembari mencuci piring kotor, ibunya Mala berkata: “Nanti tidur di rumah saya di bawah saja Ibu, ini saya bawakan bekal buat di bawah”. Dirundung rasa tidak enak yang sangat mendalam, saya hanya bisa mengucap ‘terimakasih’ dan ‘maaf telah banyak merepotkan’. Keluarga Mala sudah sangat baik sekali mau menampung saya sementara, karena ibu angkat saya sedang sakit dan berada di ladang yang jaraknya sangat jauh dari kampung. Ibu Mala membawakan Mala, beras, minyak kelapa, bihun, kacang kedelai, hingga telur. Mala berkata: “Nanti sore kita masak sama-sama ya Bu.”, walaupun masih kecil Mala dan Suhar sudah pandai memasak, khususnya masakan Lombok. Akhirnya saya dan rombongan anak-anak turun menuju sekolah untuk les sore. Jalan menurun membuat perjalanan jadi lebih cepat, walaupun menggendong tas besar saya tidak boleh berhenti, karena saya khawatir anak-anak kampung bawah sudah datang dan melihat gurunya tidak ada di sekolah dan pulang kembali ke rumah.

Sesampai di sekolah, untungnya anak-anak masih lengkap hadir di kelas, mereka masih setia menunggu gurunya. Les sore pun dimulai seperti biasanya, bergiliran kelas kecil dulu kemudian dilanjutkan kelas besar, maklum kelas filial ini hanya ada dua kelas, kelas II dan kelas V. Jam sudah menunjukkan pukul 17.00 saatnya pulang kerumah masing-masing. Saya yang biasanya pulang menuju rumah orang tua angkat, sekarang melangkahkan kaki menuju tenpat yang berbeda, yaitu menuju rumah Mala, tidak jauh dari tumah orang tua angkat saya. Bersama Mala dan Suhar saya berjalan pulang, suasana kampung sangatlah sepi, bagaikan kota mati, terdengar sesekali bunyi lonceng sapi dan jangkrik dari kejauhan. Rumah mala rumah berdinding kayu berlantai tanah, tidak seperi rumah lombok biasanya yang berumah panggung. Suhar dan Mala dengan cekatan sudah membagi-bagi tugas mereka sore itu, Suhar yang menyalakan kompor dengan kayu bakar dan mengambil air di mushola, Mala memberi makan sapi dan mengikatnya di dekat rumah. Saya yang berada di tengah-tengah mereka kembali merasa takjub dengan kehidupan yang mereka jalani, mereka sudah sangat mandiri, selagi anak seumuran mereka yang hidup berkecukupan di kota senang bermain ke mall dan merengek meminta gadget yang canggih.

Mala dan Suhar benar-benar memanjakan saya hari ini, tas punggung saya dibawakan, mereka memasak makan malam untuk kami bertiga, bahkan Suhar memaksa saya untuk mau dipijit olehnya. “Kasian bu Morin sudah capek jalan jauh tadi.”, kata Suhar. Pijitan suhar memang dahsyat, kecil tangannya, namun kekuatan tangannya luar biasa keras, saya yang tidak biasa dipijit hanya bisa tertawa kegelian. Malam sudah menjemput, langit cerah malam itu, bintang-bintang bertaburan di langit Doro Le’de, mengobati kesunyian dusun ini yang sudah ditinggalkan warganya ke ladang.  Saya, Mala dan Suhar berbaring didipan kayu milik keluarga Mala, ditemani tarian api dari lampu minyak, kami terlelap dalam kesunyian malam pada musim tanam di akhir tahun ini. Beristirahat sejenak karena esok kan menjemput dan mempertemukan kami kembali dalam sebuah ikatan ilmu.

Ketika musim tanam tiba di Doro Le’de, seribu pengalaman telah menghampiriku walau hanya dalam satu hari.

                Doro Le’de,

Kamis, 6 Desember 2012


Cerita Lainnya

Lihat Semua