#8 Ada Gajah ke Desa!!

agung cahya nugraha 9 Desember 2012

 

“Pak mau nonton gajah nda pak?” kata salah satu muridku di minggu siang yang panas. Kami baru saja selesai latihan pramuka.

“Gajah? Di mana Karang Agung ada gajah?” kataku heran.

“Ada pak, nanti kami jemput pak. Gajahnya pacak (bisa)  joget, men bola pak,”

“Ohh, sirkus kali?”

“Iya pak, sirkus.”

Rasa ingin tahu saya bangkit. Sejauh yang saya tahu, binatang yang ada di tanah Karang Agung ini adalah ayam, bebek, burung walet, sebangsa ikan (itu juga adanya di sungai bukan di tanah), yang agak aneh paling rusa, babi hutan, dan harimau. Untuk binatang terakhir ini baru suara raungannya saja yang sudah sampai ke kampung, fisiknya belum (jangan sampe deh).

Siang itu, setelah tidur siang sejenak akibat lelah melatih pramuka, anak-anak telah ramai di bawah (maklum rumah tingkat, saya kebagian di kamar atas).

“Nah, katanya jam dua?” saya mengucek mata sambil memeriksa jam. Jarum panjangnya belum genap menyentuh 12.

“Sudah mulai pak, lah (sudah) ramai di lapangan sana?” kata mereka.

Sesampainya di sana, ternyata tempat itu benar-benar ramai. Tanah datar yang debunya luar biasa tebal saat tertiup angin di sulap menjadi stadion gladiator mini. Hanya saja stadion ini dibuat dari batang seng. batang-batang seng ini digunakan untuk memagari arena tempat gajah beraksi.

Dengan tiket seharga 5000 untuk anak-anak dan 10000  untuk dewasa, kami sudah bisa masuk menikmati petunjukan gajah itu.

Saya melangkah masuk bersama anak-anak, dengan selembar uang merah 10000, saya sudah bisa melewati dua satpam dengan leluasa, plus mendapat senyuman mereka. (jarang-jarang lho ada security yang ramah seperti itu). Di dalam ternyata ramainya minta ampun.

Tidak ada kursi untuk duduk. Area atraksi dengan area penonton hanya dibatasi tali rafia plastik berwarna merah yang dibentangkan panitia. Ratusan warga desa telah memenuhi stadion seng ini, beberapa bahkan membawa payung dan menggelar karpet di atas tanah.

Fasilitasnya minim tidak mampu membendung antusias warga untuk menyaksikan empat gajah yang panitia bawa. Pertunjukan pertama adalah tunggang gajah, yaitu dengan menukar uang 5000, seseorang sudah mendapat hak untuk menunggangi punggung gajah yang berjalan satu kali putaran stadion (dilihat-lihat mirip tawaf). Pertunjukan selanjutnya katanya, gajah main bola, gajah joget, gajah main basket dan terakhir gajah upacara bendera.

Beberapa anak murid SD saya berteriak dari atas punggung gajah, “Pak Agung!!!” sambil tersenyum puas dan bahagia. Yang naik bukan saja anak-anak, tapi ibu-ibu, bapak-bapak bahkan yang kakek pun naik. Saking semangatnya (atau mungkin karena ini kali pertama mereka boleh menaiki punggung gajah betulan) ada beberapa murid saya yang naik bulak-balik sampai 5 kali, kalau uangnya belum habis, saya yakin dia masih akan terus naik.

Sekilas saya melihat gajah itu menangis, atau mungkin terlihat menangis, karena ada air yang menetes dari matanya.

“Pak nda naik?”

“Nda ah, pak kasihan,” kataku sambil tersenyum.

“Aku nak (mau) naik lagi pak ah, jingok (lihat) aku pak ya!” Anak itu berlari menuju antrian sambil memamerkan giginya.

Antrian makin panjang, penonton makin antusias, raut pawang makin bersemangat, artinya sang Gajah masih lama waktu istirahatnya. Raksasa itu nampak makin letih, mata mereka makin basah.

Saya menemukan ada segitiga dalam parade gajah ini.

Sudut pertama: Gajah itu jelas-jelas menderita, dengan rantai yang berat mengikat kaki-kaki mereka dan punggung yang lelah entah sudah berapa ratus keliling mereka memanggul manusia. Harusnya ia sekarang tengah berjalan melintasi hutan Sumatera bersama gerombolannya, bebas.

Sudut ke dua : Sayangnya, pawang-pawang ini, mereka makan dari gajah ini. Terlihat jelas bahwa jarang sekali mereka mendapat animo masyarakat yang tinggi seperti ini. Mereka senang sekali—pawang-pawang itu—jelas dari raut mereka.

Sudut ke tiga : Warga desa kami, jelas-jelas mereka kekurangan hiburan, mungkin gajah ini adalah hiburan terasyik mereka selain orgen saat hajatan. Mereka begitu bersemangat naik gajah, antrian makin panjang, walau matahari makin terik. Payung-payung warna-warni bermekaran.

Segitiga sama sisi yang saling berhubungan.

“Paaaaak!!!” anak tadi mendadahi saya penuh semangat.

“Hati-hati, pegangan yang kuat!!” kataku. []


Cerita Lainnya

Lihat Semua