info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

#9 Demi Pulsa Listrik

agung cahya nugraha 15 Desember 2012

Di tempatku, listrik hanya ada dari jam 5 sore hingga jam 7 pagi. Anak-anak sini, kalau listrik nyala, mereka lebih bahagia dari berbuka puasa. Beneran deh. Soalnya mereka hobi nian nonton sinetron remaja yang jam 6 sore itu. Setelah listrik nyala, anak-anak akan khusyu di depan TV. Sampai ibu mereka menyuruh mereka sholat magrib di langgar.

Sayangnya sejak jumat malam kemarin, rumah ini redup. Pulsa listriknya habis--sistem PLN di dusunku kaya pulsa HP, kalau habis harus isi ulang--sehingga  pasokan listrik rumah berpindah ke jetset berbahan bakar bensin, karena kantor PLN di dusun sebelah Sabtu Minggu libur, baru Senin ini lah kami bisa membeli pulsa.

Aku menawarkan diri untuk mengantar cecep (anak Cek Mat) membeli pulsa, sekalian menjelajah kawasan Karang Agung. Bosen di Sungai Kubu terus.

"Siap bang?" kata Cecep, aku sudah duduk manis di belakang motornya. Motor ajaib, tanpa rem depan, tanpa klakson, tanpa lampu dan tanpa plat nomer. Hanya Cecep seorang yang bisa mengendarai motor ini.Saya takjup, sekaligus khawatir. 

"Siap bos," kataku mantap. Saya menelan ludah.

Perjalananpun di mulai (jam dua siang lewat sedikit).

Bagian pertama perjalanan kami adalah menyusuri dusun Sungai Kubu ke arah ilir (daerah sebelah hilir sungai) menapaki jalan cor yang lebarnya hanya satu meter, yang artinya kalau ada motor di depan kita harus memelankan diri dan minggir sedikit. Kalau ada gerobak, kita benar-benar harus keluar dari jalan.

Setelah di Ilir, kami ke dermaga, menaikkan motor ke atas getek (semacam perahu dengan mesin tempel) dengan diangkat (motor ini benar-benar diangkat ke atas perahu dengan tangan kosong—memang hebat benar orang-orang sini) lalu menyebrang ke P19.

Oh iya, dusun-dudun di sini (selain Sungai Kubu) diberi nama dengan kode P, contoh : P1, P2, P20 dst. Nah dusun di seberang di sebut P19. Kantor PLN nya di P16, artinya kami akan melewati 3 dusun untuk sampai ke sana.

Setelah menyebrang, kami bertemu dengan 'jalancorselebarsatumeter' lagi. Bedanya, di kanan jalan rumah-rumah sudah nempel ke tanah, tidak seperti sungai kubu yang hampir semua rumahnya adalah rumah panggung dari papan (karena malam air pasang) dan rumah di sini jarang-jarang. Jarak antara satu rumah dengan yang lain sekitar 5-10 meter.

Sayangnya jalan cor ini tidak lama, beberapa menit saja jalannya habis dan kami harus melalui jalan tanah yang tak pernah rata, yang gujlag-gajlug dan lengket kalau hujan (tanahnya tanah lumpur—kalau hujan, sulit sekali dilewati—banyak korban jatuh) menembus kebun-kebun dan nembus padang rumput.

Padang rumputnya bukan sejenis savana, tapi lebih mirip ladang super luas dan lebar yang sudah tidak (belum) ditanami lagi, sehingga rumputnya sudah tinggi-tinggi, setinggi pinggang. Pada hamparan ini kita bisa memandangi langit selebar-lebarnya, karena tanahnya yang lapang. Habis padang ruput, kami menembus kebun sawit, dan terakhir menembus kebun karet.

Di padang rumput beberapa kali kami menemukan burung sebesar burung puyuh yang sayapnya berwarna biru, juga burung perkutut.

Beberapa kali kami melewati bapak-bapak yang sedang berstirahat, berteduh di bawah pohon besar, ada juga bapak-bapak yang sedang memancing ikan di parit-parit sungai, pulang dari ngebun, juga anak kecil berkupiah yang bersepeda, pulang dari mengaji.

Setelah itu, barulah kita sampai di pemukiman lagi. Nampaklah rumah-rumah penduduk. Beberapa kali menaiki jembatan berbentuk setengah lingkaran—seperti di Venice, tapi yang ini versi indonesia—  menyebrangi sungai, akhirnya sampai juga kami di kantor PLN.

Alhamdulillah, kami sampai dengan selamat, walau ketika turun, aku sudah tidak bisa merasakan pantatku lagi—saking pegalnya. Kutengok jam, sudah ke angka3 lebih. Sekitar satu jam perjalanan kami menuju kantor PLN.

Ada kabar baik, langit mendung. Artinya perjalanan akan sejuk, tidak seperti berangkat yang teriknya minta ampun.

Kabar buruknya, kami harus buru-buru pulang dengan rute yang sama, agar tidak kehujanan di tengah jalan. Tidak ada shelter untuk neduh soalnya.

Dan aku baru tahu kalau rute ini adalah rute yang harus dilewati semua anak dusun kami, kalau akan bersekolah ke SMA. Hanya ada satu SMA negeri di kecamatan ini, yaitu di P16 ini. SMAN 1 Lalan, namanya.

Mungkin ini salah satu sebab jarang ada anak dari dusunku yang meneruskan sekolah ke SMA. Mungkin yang punya motor masih tahan. Tapi apa kabar anak-anak yang berjalan kaki? []


Cerita Lainnya

Lihat Semua