Rahasia Para Jagoan Cilik

Egisa Tarwina Maris 30 September 2012

Selesai olah raga, murid-muridku duduk bersantai di depan perpustakaan. Beberapa diantaranya ada yang memainkan bawahan seragam pramukanya, celana pendek itu ditutupkan di kepala sehingga menyerupai wig. Ada pula yang sedang memainkan keroncong (gitar dengan 4 senar), ada yang bermain skiping, ada pula yang hanya termenung.

Meldy namanya, jagoan kecilku ini, memcoba membuatku marah dengan cara menyanyi sekencang-kecangnya di depan perpustakaan. Dengan rambut diberi wig dari celana pramukanya, dan gerakan tangan melambai-lambai yang mengiringinya menyanyi.

“untuuuukk ayah tercintaaa, akuu ingin bernyanyiii, walau air mata di pipiku. Ayaaahh dengarkanlahh, aku ingin berjumpa, walauuu hanya dalam mimpii”, begitu pekiknya keras-keras.

Bukannya marah, aku langsung menghampirinya keluar perpustakaan dan bernyanyi bersama Meldy. Melihat Meldy menyanyi sambil tertawa, serta mengibas-ngibaskan rambut celana pramukanya ditambah dengan air mukanya yang membuat orang lain ingin menjitak kepalanya, membuatku mengikik serta ikut menyanyi. Tapi tak lama kemudian air mataku tumpah. Walau nada nyanyian yang dilantunkan Meldy terdengar asal, namun di wajahnya aku melihat suatu perasaan yang jujur, sampai akupun terbawa perasaan “ingin berjumpa ayah”. 

“jiaaahhh ibuuu, jangan menangis. Ibu rindu ibu punya papak, ibu?”, sahut beberapa murid. Kemudian dalam hitungan detik, semua anak disitu mengganti lagu. Kali ini lagu daerah sangihe atau manado begitu,lagunya tentang kerinduan pada ibu. Wooaahh, semakin deras air mataku mengalir. Dengan sigap Meldy menyanyi sekencang kencangnya, “becakkk becaaakkk....aku ingin tamasya keliling-liling kota.......”. Hahaha air mataku tersumbat berhenti.

Pito kemudian menghampiriku, “ibu pe orang tua ada? Ato so mati?”. “ohh, adaa”, jawabku. “ohh, kita kira so mati, mar ibu rindu e ibu? So lama nyanda bertemu?”.

“iyaaa.. Hehehehe”, ucapku sambil tertawa. “kalo Meldy punya papak so meninggal ibuu, diserap setan merah di air masin”, celetuk Aprisye.

HAAAHH? Ayah Meldy sudah meninggal?? Jadi ini alasan kenapa data di buku penghubung Meldy tidak diisi, karena aku menyuruh ayah mereka yang mengisinya, seperti yang ayah lakukan ketika aku masih SD. Meldy bahkan tidak tau kapan hari ulang tahunnya.

“Meldy, betul Meldy pe ayah so meninggal?”

“Iyaa, ibuu”, jawabnya tertunduk sambil menggoyang-goyangkan badannya.

“Kiapa meninggal?”

“Dimakan setan ibuuuu di air masin, iyooo betulll. Ada menyelam lalu kembali ke pantai so mati, di dalam air diserap setan merah, kong.......”, begitu cerita anak-anak bersahut-sahutan

“Kiapa Meldy?”, tanyaku lagi

“Iyo ibuu, betull. Dimakan setan”, ucapnya lirih

Sepulang sekolah, Meldy mengantarku pulang. Kami dan anak-anak lainnya mampir sejenak ke pantai. “ibuu, kita mau cari kepiting e buu. Ibu mau kelapa muda? Nanti kita ambil kita punya kelapa kalau ibu mau mar ibu puasa e”, tutur Meldy.

Di pantai kami bermain kepiting, keong, membuat kuku-kuan palsu dari tangkai bunga, bahkan mereka membuatkanku tikar dari daun pisang dengan cara menganyam. Aku terus mengamati jagoan kecilku ini. Ayahnya meninggal, dimakan setan katanya. Jagoan cerdik yang jago menyanyi ini, menceritakan padaku tentang kakaknya, yang kini duduk dibangku SMA. “kita pe kakak nanti hari raya mau datang, ibu”, ceritanya dengan penuh antusias. “biasa kita ada buat layang-layang, mar kalo ada kakak”. “kita pe kakak kalo bersekolah selalu juara,ibuu”. “kita sennangg, kita pe kakak so mau datang, nanti ibu berkenalan bu nee”. Begitu lah cerita-cerita Meldy tentang kakaknya. Kakak yang selalu mengingatkannya pada ayahnya. Kakak yang selalu menjadi kebanggaannya.

Buka puasa telah tiba. Aku dan mamakku duduk bersama di meja makan menikmati kekayaan alam yang dilimpahkan Allah secara cuma-cuma. Aku menanyakan kembali mengenai ayah Meldy. Mamak banyak bercerita, bahkan melebihi apa yang ingin aku ketahui.

Ayah Meldy adalah salah satu dari 3 orang yang bisa menyelam sampai dasar laut di kampung ini, karena cuma beliau dan 2 orang itu lah yang memiliki peralatan untuk menyelam dan memang mereka bisa.  Pada suatu hari ada warga dari pulau sebelah yang sedang mencari ikan, namun malang perahu mereka dihantam ombak hingga pecah, mesin perahu jatuh ke dasar laut, dan mereka tenggelam. Karena kejadian itu berada di sekitar kampung kami, maka sebagai bentuk rasa kemanusiaan, ayah Meldy lah yang turun untuk menyelamatkan mereka. Namun Akung, ayah Meldy menyelam terlalu dalam ketika akan mengambil mesin perahu. Terjadi pendarahan pada ayah Meldy di dasar laut. Ketika kembali ke darat, telinganya sudah berdarah dan sulit dihentikan, bahkan ia sudah pingsan. Tak lama kemudian meninggal.

Salah seorang dosen Oceanografiku pernah menceritakan pengalamannya dan teman-temannya ketika menyelam. Saat itu, temannya mengalami pendarahan ketika berada di dalam laut, namun ketika di darat pendarat tersebut susah sekali dihentikan. Hal ini disebabkan oleh tekanan yang berbeda antara di darat dan di dasar laut. Kemudian mereka kembali ke dasar laut untuk menghentikan pendarahan tersebut, dan benar saja, pendarahannya berhenti. *cmiiw

Ayah Meldy meninggal 2 tahun yang lalu, saat itu Meldy kelas 2 berarti. Terlalu kecil baginya untuk memahami apa yang menyebabkan ayahnya meninggal saat itu. Namun, aku ingat aku bisa melihat, ada ketangguhan saat tadi siang dia mengatakan, “dulu kita ada punya pumpboat, pamo lagi ada ibuu, mar so di jual”. “kiapa dijual?”, tanyaku. “dijual dang ibuu, kita pe papak so meninggal. Sapa ada pakai?”, jawabnya dengan tegas. “untuuuukk ayah tercintaaa, akuu ingin bernyanyiii, walau air mata di pipiku. Ayaaahh dengarkanlahh, aku ingin berjumpa, walauuu hanya dalam mimpii”, lagu itu dilantunkannya lagi.

Ada cerita juga mengenai Aprisye yang aku dengar dari mamakku. Ibu Aprisye meninggal sesaat setelah melahirkan Aprisye, semua orang satu pulau bukide ini tentu tau akan hal ini.

Saat itu sekitar 3 tahun yang lalu, ibu wali kelas Aprisye mengumumkan, ”anak-anakk, sekarang sudah mau bulan desember, berarti sebentar lagi kita akan liburr,.......”. Belum selesai wali kelas berbicara, Aprisye sontak berdiri dari tempat duduknya, lompat-lompat dan berteriak,”yeeeyyyy desemberrr, berarti kita pe mamak so mau datang”

 *hening sejenakk* ditengah-tengah pembicaraan aku mengerutkan dahi, tidak paham sama sekali.

Ternyata nenek Aprisye, tidak pernah jujur kepada Aprisye mengenai kematian ibu Aprisye. Selama ini sang nenek hanya mengatakan bahwa bulan desember, ibunya akan pulang. Dan selama beberapa tahun itu hanya Aprisye, Cuma Aprisye yang tidak tahu bahwa ibu kandungnya telah tiada, bukan pergi ke manado seperti yang ia dengar dari neneknya.

Aku tidak ingin membayangkan, atau bahkan merefleksikan bagaimana perasaannya. Terlalu menyakitkan tentunya untuk merefleksikan perasaan Aprisye saat ini, disaat aku benar-benar merindukan orangtua Aku. Disaat selama 22 kali hari ke 21 ramadhan selalu kami lewati bersama.

Jagoan kecilku, mereka benar-benar jagoan. Mereka seperti malaikat kecil pelindungku yang dikirim Allah untuk menjagaku disini. Mereka tidak hanya membuatku merasa nyaman disini tapi juga membuatku kuat dan tangguh disini, sama seperti mereka.


Cerita Lainnya

Lihat Semua