info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Jagoan Kaki Ayam

Ertina Priska Erlayas Sebayang 28 Agustus 2012

 

Di kelas kami —hanya ada 4 meja dan 8 kursi—, tidak susah untuk melihat semua detil dari anak-anak. Akan tampak semua; lekuk badan mungil yang membungkuk seperti hendak mencium meja ketika sedang menulis, atau kaki-kaki mereka yang berayun bebas karena tidak sampai ke lantai, yang jika dari atas sampai pinggang mereka rapi, tapi di bawah meja, kaki mereka tak bersepatu, dan sepatu mereka bergeletakan sampai ujung kelas, itu (masih tampak) menggemaskan.

“Sakit enciik,”

Kasihan anak-anak ini, keseharian mereka dari kecil biasa kaki ayam alias tanpa alas kaki. Sekarang kaki mereka ya ngikut kaki ayam; ngejeber, terbentuk ‘bebas’ melebar. Serius ini, kalau dikukung dengan sepatu, terasa sakit.

“Sakit enciik, sebantar torang pakai lagi.” Kata Aldo meringis.

“Siapa lagi yang disini sakit kakinya?” Tanyaku ke kelas. Semuanya angkat tangan.

Kulihat lagi ke lantai, hanya Aldo, Lokito, dan Diana yang buka sepatu. Lalu kan pikiran mulai menduga-duga sendiri~

Lokito dan Diana punya bentuk fisik yang lebih tinggi besar daripada teman sekelasnya, mungkin kaki mereka lebih besar, sehingga lebih sakit. Tapi masa iya ukuran sepatunya satu kelas sama? Lantas Aldo apa alasannya? Malas saja? Halah, daripada sibuk berasumsi sendiri, lebih baik

“Keren, Gerevil, Seniman, Eben, Revanli, kaki kalian sakit, kenapa kalian pakasi sepatu?” tanyaku lagi.

“Ditahan aja, encik, namanya juga sepatu.” Jawab Revanli,

“Ya lagi sekolah, encik, kalau di pantai baru lepas sepatu.” Seru Eben membantu.

Dari situ aku meminta mereka menceritakan alasan mereka masih mengenakan sepatunya. Berbagai penguatan bermunculan, mulai dari sekedar jaga kebersihan kaki, memaklumi sepatu, sampai menghormati guru dan teman-teman, sampai “kalau sakit sepatu aja nggak tahan, gimana sakit yang lebih sakit nanti, encik,” jawaban seorang Seniman.

Aku tidak mengajarkan apa-apa, mereka sendiri yang berbagi penalaran atas perasaan masing-masing, kemudian belajar dari satu sama lain.

Tanpa mereka sadari, dari ±15menit kami ngobrol, seisi ruangan kini memakai sepatu properly. Kemudiancengengesan satu sama lain ketika tersadar mereka tetiba tahan dengan sakit sepatu tadi.

“Jagoan pasti tahan sakit. Namanya juga jagoan, to?”

“Iya, enciiiik!” Seru mereka serempak sambil mengangkat tangan meragakan pose jagoan, kami tertawa.

“Mulai sekarang kalau di kelas sedang belajar coba dilatih dirinya sendiri supaya lebih kuat, jangan sedikit sakit langsung nyerah. Jam istirahat, boleh nanti dibuka sepatunya, lepas di muka pintu. Kalau mau baca buku di kelas, bebas tak bersepatu! Tapi lantainya disapu duluu”

“HOOOORREEEE!”

Begitulah siang itu kami sepakat dengan peraturan tentang bersepatu dalam kelas. Tanpa kata “dilarang” tanpa “peringatan” yang ditulis di kertas besar-besar warna merah. Apalagi hukuman fisik.

Aku tidak mengajarkan apa-apa, mereka berbagi cerita dan saling menguatkan. Melaksanakan sesuatu karena paham persis adalah baik melakukannya, bukan karena perintah.

Bukankah itu yang anak-anak harusnya dapatkan? Pemahaman atas apa yang mereka lakukan dan kenapa mereka melakukannya, bukan karena perintah semata.

Lalu kita masih bisa bertanya juga, “encik, tapi sebenarnya kenapa mereka harus pakai sepatu?” Pertanyaan itu kita bahas kemudian :) ♥


Cerita Lainnya

Lihat Semua