info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Lebaran dalam bunyi lonceng

Hardy Oktasawira 28 Agustus 2012

 

Ini cerita tentang lebaran saya yang sangatlah berbeda dari sebelumnya. Cerita tentang saya yang Muslim seorang diri di pulau yang semua penduduknya adalah pemeluk Kristen Protestan.

Karena saya ingin mengikuti upacara HUT RI di kampung dan saat itu tidak ada kapal untuk ke Pulau Sangir Besar, sehingga sampai tgl 22 saya menetap di Pulau Para yang berarti juga melewatkan Idul Fitri. Sabtu pagi pada tgl 18 Agustus, ada les di rumah karena sekolah sudah libur beberapa hari sebelumnya. Saya pikir karena hari Sabtu anak-anak lebih suka bersenang-senang, lalu saya pun memutar film Laskar Pelangi.

Di sela-sela pemutaran ada yang memanggil saya, ibu Lina saya biasa memanggilnya. Beliau salah satu pengurus perkumpulan pemuda gereja yang memiliki jadwal beribadah setelah gereja pagi dan saya tergabung di dalamnya.

"Mas Okta, besok ada ibadah tasik di Pantai Sawang..Mas ikut kah?" kata Bu Lina kepada Saya

"Hmm.. Boleh Bu, torang nyanda ada kegiatan besok" Saya menjawab tanpa pikir panjang

Ibadah Tasik adalah kegiatan beribadah di alam bebas, isinya seperti kegiatan ibadah gereja dicampur dengan piknik. Saya sendiripun belum pernah melaksanakan, pengalaman masuk gereja dan mengenal berbagai jenis cara Ibadah umat Kristiani baru saya dapatkan di Pulau Para. Mereka sangat terbuka tentang segala jenis perbedaan kepercayaan ini, begitu juga sebaliknya.

Esoknya sekitaran jam 9 pagi kami pun berangkat ke Pantai sawang, butuh waktu 30 menit dengan berjalan kaki melewati kontur naik turun berbukit. Begitu sampai saya langsung jatuh cinta dengan tempat ini, pantai yang sangat indah. Tempat yang membuat betah berlama-lama hanya untuk sekedar duduk.

Ibadah dihadiri oleh banyak anak,banyak ibu, dan sedikit bapak. Ketika ibadah dimulai, kami pun berkumpul sedikit melingkar di bawah teduhnya pohon kelapa. Ada nyanyian-nyanyian pujian diiringi gitar, pembacaan firman Al-Kitab dan khotbah. Satu hal yang saya sadari bahwa alam juga diciptakan untuk membuat manusia lebih dekat dengan Sang Penciptanya.

Pelaksanaan pun sangat khidmat dan di akhir acara, pembawa acara menyampaikan sedikit pesan. "Bagi kita umat Kristiani hari ini adalah hari minggu, hari kita Ibadah seperti biasanya. Tapi bagi saudara kita Mas Okta hari ini adalah hari raya agama Islam,yaitu Idul Fitri. Minal aidzin wal faidizin Mas"  ujar pembawa acara kepada kami. Pada bagian Minal aidzin wal faidizin, pembacaannya terbata-bata mungkin karena tidak terbiasa tetapi saya menikmati nya. Satu persatu dari mereka menyalami, saya balas menyalaminya dan saya beri bonus senyuman yang ikhlas. 

Kerukunan agama yang banyak ditulis di buku Pendidikan Kewarganegaraan itu nyata terjadi di sini. Merekalah mengajarkan kerukunan dan toleransi agama yang baik ke saya, di kampung yang mungkin tingkat pendidikan rata-rata adalah SD. Tidak perlu sekolah tingi-tinggi untuk bertoleransi antar sesama, sangat tulus tanpa ada niatan ingin di cap baik atau apapun itu.

Acara pun dilanjutkan dengan makan bersama yang di bawa oleh banyak ibu. Satu ibu membawa sedikit lauk, satu ibu membawa sediki nasi dan yang sedikit-sedikit inilah yang menjadi pengganti opor ketupat di hari raya saya. Ah!sangat nikmat..ini lebih dari seadanya dari yang mereka ucapkan.

Sampai menjelang sore kegiatan diisi dengan permainan atau boleh berjalan-jalan jika mau. Saya memilih untuk bermain bersama anak-anak di antara karang pantai yang sedang surut. Ketika mau pulang, salah satu ibu membawakan saya kelapa muda. Tapi cukuplah mereka saja yang menikmati kelapa itu.

Oh iya, di pagi itu Ibu dan Bapak piara saya juga membuatkan ketupat, memotong ayam peliharaannya, dan membuatkan kue jauh hari sebelumnya. Dalam satu minggu itu saya sudah belajar 2 resep kue dan 1 cara membuat ketupat! ilmu melipat-lipat daun kelapa saya agar jadi ketupat didapat dari Ibu piara saya yang seorang Kristiani. Kata mereka, ini kan hari raya makanannya juga harus spesial.

Warga kampung ini mau repot untuk hari besar yang bukan milik kepercayaannya. Memang banyak perbedaan antara saya dan banyak warga kampung Para, tapi kami tidak ambil pusing. Menghargai perbedaan, menyadari bahwa Tuhan itu satu tapi cara menyembah ada berbagai macam. Semoga kerukunan seperti ini bisa saya temui di semua bagian Indonesia.


Cerita Lainnya

Lihat Semua