Rahasia Laut Enggohe

Egisa Tarwina Maris 20 September 2012

Minggu itu tidurku sedikit terganggu oleh suara orang-orang yang berbicara keras dalam bahasa Sangir. Aku melompat ke pinggir jendela kamar dan melihat apa yang terjadi, Varia yang tidur bersamaku juga melakukan hal yang sama. Ia tampak mendengarkan dengan serius, aku menirukan ekspresi wajahnya yang nampak terkejut. “ada apa, varia?” , tanyaku. “Ini ibu, apa dang, ada orang meninggal di laut, ibuu, boas pe papa yang menemukan.”

Aku menghela napas panjang, kembali ke tempat tidur. Tidak lama mamak ke kamarku, memberi tahu hal yang sama, kemudian mengajakku pergi melihat. Bergegas aku berganti pakaian dan meraih kamera digital. Di perjalanan aku bertemu seorang warga, ia menjelaskan bahwa diperkirakan orang tersebut sudah 5 hari di laut, dan telah meninggal 3 hari yang lalu. Aku kemudian mengingat ingat perjalananku dari pulau besar menuju bukide.

Pagi itu aku, Ella dan Muhammad bersama sama pergi dari Tahuna menuju Petta, pelabuhan kecil tempat berhentinya perahu atau pumpboat yang menjadi transportasi antar pulau. Siang itu Muhammad sudah dijemput oleh adiknya, namun tidak bisa pulang saat itu juga, karena arus sedang kecang. Pumpboat, perahu yang memiliki penyeimbang di kanan kirinya itu terlalu bahaya jika digunakan saat arus kencang. Beruntung aku mendapat tumpangan perahu besar dari seorang warga yang ada di pulauku. Berulang kali aku melihat seakan-akan ombak berada di atas perahuku. Beberapa kali perahuku terbanting ke kanan kiri. Jas hujan yang dibekali oleh seorang warga di pelabuhan nampaknya sangat menolongku. Air berulang kali masuk ke dalam perahu. Pak Isak, pengemudi perahu tampak santai dengan kacamata berlensa birunya. Sementara aku duduk di lantai perahu dan berdoa, pasrah kemudian aku tidur. Sekitar 1 jam lamanya atap gereja di pulauku mulai terlihat, aku sangat lega, alhamdulillaahh, batinku. Di pinggir pantai, banyak warga memanggilku. “enciiikkk, so pulang? Kencang begini?” Aku menghela napas panjang tanda syukur dan segera berjalan menuju rumah.

Pukul 6 pagi aku melihat pantai Enggohe sudah dipenuhi warga, salah seorang murid memangilku, “ibuu, itu mangapung, ibuu”. Samar-samar aku melihat sekitar 10 meter dari tempatku berdiri ada benda berbentuk bulat dan kotak berwarna coklat dan krem, aku tidak yakin itu adalah jenazah. Tapi ketika benda itu semakin dekat digiring ke pinggir pantai oleh nelayan dan TNI AD, bau busuk yang tercium semakin meyakinkanku. Aku menjauh sambil tetap mengambil gambar suasana saat itu.

Kejadian seperti ini pernah terjadi sebelumnya, namun jenazahnya tidak pernah utuh. Pernah Cuma badan dan kepala, badan kaki tanpa kepala. Bahkan pernah ditemukan di pulau sebelah, karung yang berisi bayi di dalamnya. Ahhh.. Aku semakin tidak ingin mendengar banyak cerita tentang itu lagi.

Setelah berbincang dengan warga dan TNI AD, di ketahui bahwa jenazah tersebut adalah warga Tinakareng (pulau seberang) yang juga merupakan ABK dari Kapal negara tetangga terdekat. Masih belum jelas penyebab kematiannya, karena jenazah ditemukan dalam keadaan telanjang. Hal ini menimbulkan kecurigaan dari TNI, Polisi maupun warga.

Para petinggi desa nampak berbincang-bincang dengan serius, aku bergabung dengan anak-anak. “ibu, itu jaga perut dia punya tangan, lapar itu so 5 hari nyanda makan, jadi jaga perut begini (ibu, tangannya memegangi perut, lapar itu karena sudah 5 hari tidak makan, jadi pegang perut seperti ini)”, ucap Rimse cekikikan sambil memegang perutnya. “Kong tacabut depe kulit, so lama di air masin, pirua (terus, kulitnya terkelupas karena sudah lama di air asin, kasian)”, “Depe mata, hilang sabelah, ibu”. Begitu laporan anak-anak yang telah melihat jenazah yang sudah dibawa ke pinggir pantai.

Aku sama sekali tidak berani mendekat, atau bahkan melihat. Tapi anak-anak begitu berani, bahkan masih bisa cekikikan. Berbagai pikiran hinggap di otakku, aku bahkan saat itu menghindari air laut yang menyapa melalui ombak, berencana tidak menyebrang dalam waktu dekat, dan tidak main-main di pantai beberapa hari ke depan. Tapi semua warga nampak biasa, tidak seheboh apa yang ada di pikiranku. Untuk menetralisir semuanya aku mendekati kerumunan warga yang berdiri di sekitar jenazah. Aku mengintip dari balik punggung tubuh kekar orang-orang sangir. Aku melihat jenazah yang terbujur kaku dengan posisi tengkurap. Tubuhnya sepertinya sudah membengkak. Benarr, beberapa bagian kulitnya ada yang terkelupas, sehingga nampak uratnya. Dari telinganya juga keluar darah yang mengalir menuju hidung. Ohhh.. Cukup. Aku menjauh lagi.

Karena di pulauku tidak ada dokter, maka di perlukan waktu yang cukup lama untuk menjemput dokter dari pulau seberang yang nampak dekat dengan pulauku tersebut. Rencananya jenazah tersebut akan diotopsi untuk mengetahui penyebab kematiannya.

Pukul 9, pantai sudah mulai sepi, warga mulai meninggalkan lokasi tadi dengan membawa beberapa ikan untuk dibawa pulang, seperti biasa. Kegiatan hari minggu kedua di bulan Juli itu pun berlangsung seperti biasa. Saat aku berjalan pulang menuju rumah, para warga sudah nampak rapi dan necis berjalan menuju gereja. Beberapa ada yang berjalan dengan memikul karung berisi cengkeh dan pala. Bisa ditebak kegiatan sorenya adalah bacode (memisahkan bunga cengkeh dari tangkainya) dan membuat kopra. Beberapa anak muda melihat siaran ulang grand final suatu ajang pemilihan bakat, karena semalam sebelum acara selesai genset sudah kehabisan bahan bakar.

 

 

Enggohe, Bukide, Sangihe

8 July 2012          


Cerita Lainnya

Lihat Semua