Aku Selalu Suka Senja di Ujung Sana

Dyah Ayu Kusumaningrum 2 Juli 2017

Semburat jingga sesaat menepi ke sebelah barat. Menampakkan keindahan. Hangat. Memberi aroma rindu pada setiap titik cahaya yang ia hamburkan. Di sini, di bawah Terminalia catappa yang tumbuh rindang meneduhkan, aku selalu menghabiskan waktu untuk menunggu senja datang.

"Ibu guru, ibu Islamkah?" tanya muridku tiba-tiba sambil menatap kain yang menutupi kepalaku.

Bibirku kemudian mengulum senyum. Kupandang wajah muridku itu lekat-lekat. Belum sempat aku menjawab, tiba-tiba suara dari belakang cukup mengagetkan, sengaja dikeluarkan dengan nada sedikit tinggi hanya untuk menekankan suatu keadaan.

"Hei iyo ibu Islam!", gertak muridku yang lain.

"Iya, ibu Islam", tegasku lirih dengan senyum yang tetap mengembang.

Suara desiran ombak sore itu justru menambah ketenangan. Muncul bersusulan di sela-sela perbincangan yang sedang kami ciptakan. Memberi nada. Menambah hikmat.

"Ibu, Ibu su makan kumer kah?", tanya muridku.

"Kumer? Hmm belum, ibu belum pernah makan kumer", jawabku sambil sedikit berpikir apa itu kumer.

"Pak guru Jarwo suka sekali makan kumer, kitong cari-cari kumer lalu bapak guru masak untuk makan. Pak guru Jarwo makan banyak" Jelas muridku.

Sesat kemudian, murid yang berambut agak sedikit panjang itu melesat, berlari ke pinggiran pantai. Hermanus namanya. Entah apa yang sedang ia lakukan. Ketika ombak turun, ia cepat-cepat menggali pasir, mengamatinya sejenak, lalu membiarkan butiran-butiran hitam itu jatuh ke tempat yag seharusnya.

Cuaca sore ini sangat bersahabat. Angin darat mulai sejuk merapat. Sepoi, memanjakan. Sejak pertama kali datang, desa ini tak hentinya membuatku terpana. Mungkin ini juga yang disebut cinta pertama? Setiap apa yang dilihat selalu membuat jantung berdebar. Bukit-bukit hijau membentang. Pohon-pohon tumbuh sekenanya, menantang, meminta burung-burung untuk bertandang. Di bawahnya mengalir sungai yang cukup besar, airnya segar, tempat ikan beranak pinak menghasilkan keturunan. Batu-batu tersusun tidak rata di dasarnya. Jika sungai agak surut, batu-batu itu yang kami gunakan untuk menjemur pakaian. Orang-orang biasa menyebutnya kali Weken. Sungai yang nantinya akan menjadi tempat kami bertukar canda, menjamu diri, atau hanya sekedar untuk bercengkrama. Jika kita susuri sungai itu, maka ia akan membawa kita pada pantai ini. Pantai dengan air biru. Ombaknya tidak terlalu besar, tidak juga tenang, tapi ia selalu mengajak berkawan. Ikan-ikan juga tidak pernah malu untuk berloncatan, menyapa anak-anak yang sedang menghabiskan waktu untuk berenang.

Kontras dengan dinginnya air dan sejuknya aroma pantai, pasir di sekitar yang setia digulum ombak jika pasang itu, justru mengeluarkan air hangat jika digali. Tak jarang, kami menggunakannya untuk berendam, berusaha mengeluarkan lelah yang menyerang.

"Ibu, ibu ini kumer", Hermanus datang sambil menunjukkan binatang yang mirip seperti perpaduan antara kepiting dan udang.

"Wah, ini kumer semua kah?", tanyaku.

"Iya ibu", jawab Hermanus singkat sambil memainkan kumer yang diletakkan pada telapak tanganku.

"Lalu, kenapa bentuknya berbeda?", aku penasaran.

"Ini kumer lelaki ibu, ini kumer perempuan" sambil menunjukinya satu per satu. "Ibu guru goreng boleh", lanjutnya.

"Iya, nanti ya, setelah ibu buka puasa ‒istilah yang mereka gunakan untuk menyebut hari raya idul fitri‒ kitong masak kumer sama-sama ya? Ibu masih puasa. Sekarang, tolong kembalikan kumer ini ke laut ya", pintaku. Ia membalas dengan seyum, lalu kemudian bergegas, berlari ke bibir pantai.

Dari kejauhan, ku lihat perahu nelayan sedang berjalan mengarah pulang. Para mama berjalan beriringan, menggendong noken dengan kayu bakar di dalamnya. Mereka tersenyum renyah, mengucapkan selamat sore ibu guru. Lalu ku balas dengan sapaan yang tak mau kalah hangat.

Bunga-bunga Ipomoea pes-caprae yang sedang bermekaran, bergoyang dengan ria diterpa angin yang selalu ingin mengajaknya berdansa.

"Ibu guru, ibu bisa makan rambutan kah?", tanya Yohan, anak bapak piaraku yang juga ikut duduk manis menyapa senja sore ini.

"Bisa", jawabku singkat sambil mengamati kawanan burung yang terbang di atas kepala.

"Ibu guru bisa makan langsat?", tanyanya lagi.

"Bisa", kali ini sambil menoleh ke arahnya.

"Alpukat?", tanyanya masih penasaran.

"Bisa, ibu suka sekali Alpukat", sedikit menerangkan.

"Babi?", lanjutnya.

"Ibu tidak bisa makan babi", jawabku dengan senyum yang dibuat agar tidak menimbulkan kekecewaan. Lalu ekspresi wajahnya menunjukkan bahwa ia sedang berpikir.

Bocah lelaki lucu yang berusia lebih dari enam tahun ini, ia yang selalu menutup pintu kamarku ketika aku sedang sholat, memperhatikanku ketika aku sedang berwudhu, dan menemaniku ketika aku berbuka puasa. Pertanyaan yang terlihat receh tersebut, selalu muncul untuk memastikan apa yang bisa dan yang tidak bisa ibu guru mereka ini lakukan. Wajar memang, aku tinggal di desa yang seluruh penduduknya Kristiani. Bagi mereka, aku tidak hanya orang baru, tetapi juga hal baru.

Detik berselang, suara binatang malam sudah nyaring terdengar, mengingatkan bahwa terang akan segera berganti malam. Matahari sore meninggalkan wajahnya sebagian, mengajak berpamitan. Ini pertanda bahwa waktu berbuka akan segera tiba. Lonceng gereja sayup terdengar. Lagu-lagu mengalun dari arah rumah. Aku harus segera beranjak, mengucapkan selamat tinggal pada senja yang membuncah jingga. Menawan. Menambah warna.

So, how can you not fall in love? Kesederhanaan tempat ini telah berhasil membuka pintu hati yang sengaja kututup rapat-rapat. Menembus teralis besi yang sengaja dibuat oleh sang tuan rumah. Mungkin karena cinta itu sederhana. Sesederhana menyukai senja di ujung sana.

 

Lalu kemudian, pada buka puasa selanjutnya, sering kudapati buah alpukat tersedia di meja makanku.


Cerita Lainnya

Lihat Semua