Panen Madu Darurat
Dwima Rizky Rudjito 14 Juli 2012
Sabtu siang selepas shalat dzuhur aku santai-santai di kamarku, aku menyalakan laptop dan mendengarkan lagu dengan santai. Tiba-tiba Jaka datang dan masuk ke kamarku. Jaka bilang:” Dwi, siap-siap”. Aku balik tanya:”mau kemana jak?”. Jaka menjawab:”muar muanyi kita, pake baju tangan panjang, kalau ada sarung tangan terus topi pake aja”. Oke, laptop langsung aku shut down. Aku siap-siap pakai kaos putih lengan panjang yang diberikan oleh sponsor, Indosat dan celana training IM yang hitam garis biru. Setelah pamit dengan ayah-ibu angkatku lalu menuju ke lanting karena perahu disana sudah menunggu. Aku kira sedikit, ternyata lumayan ramai juga ya. Ada pak Man, pak Emuh, pak Mul, Pak Kades dan warga desa lainnya yang aku belum kenal namanya satu persatu (maklum, baru beberapa hari di desa ini,hehe). Aku naik ke sampan panjang dan menuju ke arah sungai batang Leboyan. Dengan menggunakan mesin speed berkekuatan 3,3 pk. Arus sungai batang Leboyan cukup tenang, dan sepertinya cukup dalam, memang kata warga desa disini seperti itu. Perjalanan sekitar 10 menit menyusuri sungai. Ditengah-tengah perjalanan sempat beberapa kali sampan ini terganggu jalannya karena memang didasar sungai banyak kayu-kayu besar yang bersemayam dan mengganggu jalan. Selain itu menghindari kumpay (sejenis alang-alang yang muncul ke permukaan, pada musim pasang nanti tumbuhan ini menjadi komoditas utama makanan sapi) juga bukanlah sesuatu yang mudah. Kalau tidak pandai menghindarinya maka sampan ini akan terbalik. Setelah melalui perjalanan mencari tikung (sejenis papan yang diletakkan di atas pohon, sebagai rumah bagi lebah) akhirnya kami menuju daratan dan menghentikan sampan. Aku dan semuanya turun. Setelah itu kami semua berjalan sekitar 100 meter ke dalam hutan untuk mendekat ke tikung. Begitu sampai maka” tim pemburu” yang akan berada di garda terdepan pun menyiapkan perlatan. Mereka mengeluarkan sejenis alat untuk mengasapi lebah. Seperti teko, tetapi bentuknya lebih kecil dan ramping. Nantinya ini akan di isi oleh ranting-ranting yang dibakar. Di bagian belakangnya terdapat kotak kecil yang berfungsi sebagai pompa yang akan mendorong asap di dalamnya keluar melalui corong di bagian depan. Ranting-ranting pun dibakar, lalu di masukkan. Seorang warga mencoba alat tersebut, sekitar 5 menit barulah asap yang dikeluarkannya sudah cukup banyak. Nantinya sarang lebah akan di asapi untuk mengusir mereka. Persiapan selesai, tim pemburu menggunakan topi, kupluk, sarung tangan dan juga sejenis jaring untuk melindungi bagian kepala dan wajah. Mereka menuju sarang lebah dan salah seorang mulai memanjat pohon lalu mengasapi sarang lebah. Benar saja, dari kejauhan seitar 10 meter aku, pak Man, Jaka dan 3 orang warga lainnya mendengar suara dengungan yang berasal dari ratusan lebah. Lebah-lebah tersebut terbang menjauh karena takut asap. “Muanyi!”, ujar pak Man. Spontan kami yang dibelakang pun langsung lari terpontang-panting. Entah lebah-lebah tersebut kemana yang jelas beberapa saat kemudian suara tersebut tak terdengar lagi. Aku dan yang lainnya berjalan pelan-pelan menuju tempat semula. Akhirnya sarang lebah pun diturunkan dan dibersihkan. Terlihatlah bagian dalamnya yang berbentuk hexagonal. Tetapi kata orang-orang saat itu bahwa sarangnya kosong dan belum ada madunya. Terlihat sorot mata kecewa yang dipancarkan oleh warga desa karena upaya mereka belum membuahkan hasil. Daripada tidak mencicipi sama sekali, aku ditawari untuk mencicipi royal jelly tersebut. Ada sedikit madu di dalamnya. Aku memotek dan memasukkan ke dalam mulut. Sedikit terasa manis dan enak tetapi sayang Cuma sedikit jadinya aku tidak bisa merasakan dengan jelas bagaimana rasa manisnya. Semuanya bersepakat untuk mencari madu lagi di tikung lainnya. Kalau tadi menuju ke arah batang sungai leboyan, sedangkan kali ini melewati jalan menuju ke arah danau. Setelah berkendara sekitar 10 menit, sampan berhenti di pinggir sungai. Semuanya turun dan masuk ke dalam hutan. Tikung pun terlihat dan “tim pemburu” melanjutkan tugasnya. Setelah bersiap-siap maka mereka menjalankan operasi. Kali ini Jaka duduk di depan dan seolah tidak ingin kehilangan momentum langka, maka dia berniat merekam semua proses muar muanyi ini dari awal sampai akhir. Kalau aku sih di belakang saja karena takut di munjar oleh muanyi,hehe. Selang beberapa saat kemudian akhirnya sarang lebah pun berhasil didapatkan, dibersihkan dan dipamerkan. Bentuknya seperti yang tadi, hanya saja ini terlihat sedikit lebih gelap karena di dalamnya terdapat madu yang mengisi pipa-pipa hexagonal. Aku mendekat dan orang-orang pun berbicara dengan bahasa hulu yang aku belum mengerti. Aku di panggil, sarang lebah pun di potek. Seperti memotek styrofoam saja karena memang kenyal dan tidak keras. Aku ambil potongannya dan begitu aku masukkan ke dalam mulut, wahhh benar-benar manis dan berbeda dari madu-madu lainnya yang pernah aku cicipi!. Lembutnya madu dan rasa manis yang tidak biasa benar-benar menyatu dalam mulutku dan memberikan sensasi rasa yang berbeda. Selain itu ketika aku mengemut potongan sarang lebah atau royal jelly benar-benar terasa alami, fresh honey from the nest!.
Pak kades pernah berkata kalau madu danau Sentarum ini adalah satu-satunya madu yang bersertifikasi organik, standar internasional. Harga yang dibandrol dari madu ini pun tidak main-main, setelah diolah bisa mencapai Rp300.000 – 500.000 / 250 ml. Ketika musim panen biasanya setiap warga bisa mendapatkan 20 – 50 liter, hanya saja sudah 3 tahun belakangan ini belum panen lagi. Entah karena lebahnya belum menghasilkan madu, atau karena efek perubahan cuaca yang begitu drastis atau karena memang pakan untuk lebahnya sendiri itu sulit. Madu dihasilkan dari sejenis bunga yang tumbuh di hutan. Setiap bunga akan menghasilkan madu yang berbeda rasa dan warna. Ada yang berwarna seperti madu biasa pada umumnya, ada yang berwarna bening dan ada juga yang coklat tua. Rasanya pun demikian, ada yang manis, ada yang agak masam, agak pahit pun juga ada. Ini adalah potensi kekayaan alam yang dimiliki oleh danau sentarum. Setiap individu yang ada disini seharusnya bisa memanfaatkannya. Sepertinya memang benar kalau kegiatan ekonomi penduduk asia lebih banyak didominasi oleh respirasi, ketimbang aspirasi dan inspirasi. Sudah ada “Asosiasi Periam madu Danau Sentarum” (APDS) yang mewadahi pemanfaatan SDA ini. Madu pun sudah sempat di olah dan di pasarkan, hanya saja APDS belum berani melakukan ekspansi pasar karena memang kegiatan ini belum bisa dilakukan secara kontinuitas. Kalau proses produksi bisa dilakukan secara berkala mungkin ceritanya tidak akan begini. Tentunya taraf perekonomian masyarakat Sentarum akan meningkat dan madu Sentarum akan lebih terkenal di dalam negeri. Ironisnya bahwa madu sentarum ini lebih terkenal di luar negeri dibandingkan dalam negeri, tak apa. Masih butuh proses panjang untuk bisa menjadikan madu sentarum ini “Go Public”.
Setelah puas mencicipi madu dan sedikit berkontemplasi sendiri, akhirnya aku dan rombongan pun bergegas pulang karena langit mendung. Nana kita ditimpa ujan, kata seorang warga. Aku menuju sampan, naik dan duduk manis di dalamnya. Sepertinya hari-hariku ke depan akan penuh dengan kejutan-kejutan yang membuatku tetap semangat menjalani kehidupanku di desa kecil yang antah-berantah ini, yang jauh dari pusat kebijakan, yang jauh dari hingar-bingar serta jauh dari manisnya pembangunan. Setidaknya aku masih bisa mencicipi manisnya madu danau Sentarum.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda