info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Jaka Arya Sakti, Tepung Tawar, dan Pisah Sambut

Dwima Rizky Rudjito 5 Juli 2012

 

 

Perawakannya tinggi, berbadan kurus dan juga menggunakan kacamata berwarna frame hitam bergariskan hijau dengan lensa yang cukup tebal. Rambutnya lurus, dibawah dagunya terdapat janggut halus yang menghiasi wajahnya. Kulitnya berwarna seperti sawo matang.  Sifatnya ramah, mudah bergaul, rendah hati dan sangat murah senyum. Tinggi badannya sekitar 174 cm. Dia adalah pengajar muda angkatan 2 yang ditugaskan di desa Semalah, kecamatan Selimbau, Kabupaten Kapuas hulu. Namanya adalah Jaka Arya Sakti, bergelarkan S.T, di belakang namanya, gelarnya itu dia peroleh dari Institut Teknologi Bandung, jurusan Teknik elektro. Ia mendapatkan gelar kesarjanaannya itu setelah menyelesaikan kuliahnya dalam 12 semester atau bisa disebut ST 12 (Sarjana Teknik 12 Semester). Ia juga aktif dalam dunia organisasi yang digelutinya. Semenjak SMA ia aktif dalam organisasi pendidikan anak yang dipayungi oleh LPA (Lembaga Perlindungan Anak) Jawa Barat. Karena keaktifannya itulah ia bisa menginjakkan kakinya di negara India dalam rangka pelatihan (Training for Trainers) pada saat ia duduk di bangku SMA. Ketika kuliah ia aktif dalam organisasi yang berkonsentrasi pada pendidikan dan ia merupakan punggawanya. Sangat tepat kalau dikatakan ia adalah legenda ITB, karena menurut kabar burung ia berhasil mengkader orang-orang hebat di kampusnya itu. Setelah lulus kuliah ia mencoba untuk berkarya bersama di perusahaan “Software Farmer Indonesia” di Surabaya. Ketika pendaftaran PM angkatan I dibuka maka ia berusaha keras untuk dapat bergabung, tetapi keberuntungan belum berpihak. Hal itu tidak membuat tekadnya surut, sekali lagi ia mendaftar sebagai fasilitator pada pelatihan intensif PM I dan lagi ia belum beruntung. Akhirnya pada saat PM II di buka ia berhasil menjadi salah satu pengajar muda dari 72 orang yang terseleksi.  Ia adalah anak pertama dari dua bersaudara, adiknya perempuan yang saat ini kuliah di UIN Sunan Gunung Jati-Bandung, Jurusan Psikologi. Ayahnya adalah penduduk asli bumi Parahyangan, Ibunya berdarah Palembang. Kurang lebih itulah yang aku tahu sedikit tentangnya dari sembilan hari bersamanya di desa Semalah. Inilah sedikit coretan kecil tentangnya yang begitu menginspirasi.

 

***

Pagi itu suasana desa terlihat ramai, banyak orang lalu-lalang, banyak anak-anak yang menggunakan seragam putih-merah di hari liburan ini, Ya karena hari ini adalah acara pisah sambut di desa kami, Semalah. Sabtu pagi itu semua masyarakat turut berbondong-bondong mendatangi sekolah. Bapak-bapak, Ibu-ibu, Tua, Muda dan anak-anak begitu bergembira pada saat itu. Hal itu dapat dilihat dari raut wajah yang memancarkan kegembiraan.  Aku dan Jaka pada saat itu sedang menuju lanting untuk mandi. Dalam perjalanan kami melihat bapak-bapak banyak membawa ikan. Ikan air tawar tentunya, seperti ikan Toman, Bawong, Gabus dan Delak. Ikan-ikan tersebut ditusuk dengan kayu yang menancap lewat mulut ikan. Sudah dipastikan bahwa kami akan pesta bakar ikan. Seorang warga desa dengan bangga memamerkan kepada kami ikan yang dibawanya. “Pak Jek, cepat mandi. Nana (nanti) kita mau bakar ikan!”. Ia pun menjawab : “Au(ya),boh (oke) saya mandi dulu”. Ikan tersebut ditunjukkannya dan memang ikannya itu cukup besar. Beruntung ia membawa kamera poket dan akhirnya memotret warga desa tersebut. Kami pun turun ke lanting untuk mandi. Kami mandi sambil diselingi oleh obrolan-obrolan yang isinya adalah pertanyaan-pertanyaan yang timbul akibat rasa penasaranku. Jaka menjawab semuanya dengan menunjukkan raut wajah penuh antusiasme. Inilah kisah tentangnya.

 

***

“Jak, berangkat ke SD jam berapa? “.Ujarku. lalu dijawab “Ya udah kita berangkat sekarang aja”. Kami berangkat ke sekolah. Aku membawa laptop acer warna biru ukuran “14” yang diberikan oleh IM dan juga membawa speaker portable yang nantinya akan digunakan sebagai alat bantu dalam acara perpisahan kelas 6 SD sekaligus acara pisah sambut PM di desa Semalah ini. Nantinya seluruh hadirin akan menyanyikan lagu Tanah airku, sebagai bentuk nasionalisme yang bisa disisipkan dalam secuil agenda yang padat hari ini.  Kami berjalan ke sekolah. Sepanjang perjalanan ke sekolah kami disapa oleh warga desa. Begitu sampai ke sekolah aku melihat di lapangan depan sekolah sudah ada kayu bakar yang bertumpuk-tumpuk, terdiri dari kayu besar, kayu kecil, ranting dan kayu-kayu lainnya tersusun dengan rapih dan melebar ke samping. Tentu saja di atasnya terdapat ikan-ikan besar yang tadi dipamerkan oleh warga, ya ikan toman dan sebagainya. Tidak hanya di atas tumpukan kayu, tetapi ikan-ikan tersebut juga ada di sekitar kayu bakar. Ikan-ikan tersebut ditusuk kayu ranting yang panjang dari mulut. Kayu ranting ditancapkan di tanah dekat kayu bakar. Asap pun berkelebung dari kayu bakar tersebut. Ikan pun dibakar. Aku pun kaget dan terkagum-kagum. Pak Mul, guru SD yang tiba-tiba muncul disampingku berkata: ”ini acara perpisahan yang paling meriah pak!”. Aku merasa mungkin ini wajar saja, karena sekaligus melepas Jaka dari desa. Tidak pernah terbayangkan olehku kalau acaranya akan seperti ini. Aku juga tidak membayangkan bahwa Jaka begitu melekat di hati masyarakat sini sehingga mereka rela mengadakan pesta perpisahan yang besar-besaran.

Aku pun masuk ke dalam kelas. Peralatan band terlihat sudah siap pakai. Suasana di dalam kelas begitu penuh dengan dekorasi. Kertas crepe, kain batik yang dijadikan sebagai backdrop yang bertuliskan: “PISAH SAMBUT PENGAJAR MUDA DAN PELEPASAN MURID KELAS 6 SD 12 SEMALAH”. Di bawahnya terdapat sub tulisan lagi: “Selamat Jalan Pak Jaka, Selamat Datang Pak Dwima”.  Warga sudah duduk mengahampar disini. Bapak-bapak sudah duduk di depan, ibu-ibunya sebagian sudah duduk di bagian belakang. Sedangkan murid-murid duduk di bagian paling belakang. Aku dan jaka langsung menuju ke depan. Aku menyiapkan laptop, memasang speaker portable dan memutar lagu yang akan dinyanyikan nanti. Sepertinya speaker kecilku tidak cukup untuk menggemakan lagu ini hingga ke ujung ruangan kelas kayu ini. Akhirnya aku berinisiatif mengambil mic dan menempelkan ke speaker, hasilnya ternyata cukup memuaskan. Lagu bisa terdengar. Setelah itu aku duduk di depan bersama Jaka, para guru, dan kepala sekolah. Pak Man selaku MC hari ini pun membuka acara. Acara bejalan seperti yang dijadwalkan. Pak Man dengan piawai membawakan acara. Sampai tiba dimana Jaka memberikan sambutan. Ia memberikan sambutan memakai bahasa Indonesia yang dicampur dengan bahasa Melayu hulu. Aku hanya cengar-cengir, maklum masih belum paham. Jaka menyampaikan bahwa dia merasa baru kemarin datang ke Semalah, tiba-tiba sudah setahun saja. Kalau dipikir-pikir setahun itu tidak sebentar. Tapi jalani saja nantinya akan terasa sebentar. Ia juga sedih karena harus meninggalkan desa ini yang sudah menjadi kampung keduanya setelah bandung. Jaka menyampaikan perasaannya selama setahun disini, ia juga meminta maaf atas semua tindakannya dan lain-lain sebagaimana umumnya akan berpisah. Acara berlanjut lagi. Tiba giliranku untuk memberikan sambutan. Aku bingung harus berkata apa? Ya sudahlah tinggal cas-cis-cus saja pikirku. Aku menyampaikan bahwa aku disini bukan untuk menggantikan Jaka, aku lebih suka menggunakan istilah bahwa aku melanjutkan perjuangan Jaka. Kalau mengunakan kata menggantikan nantinya seolah-olah aku merubah semua yang sudah baik disini. Kalau melanjutkan berarti aku bisa mengambil hal-hal positif yang sudah dijalankan jaka. Sambutan pun selesai, lalu masuk ke dalam acara yang menurutku unik, yaitu tepung tawar. Apa itu tepung tawar? Aku pikir itu adalah tepung yang berasa tawar, tapi ternyata tidak. Aku dan Jaka disuruh duduk berdua berdampingan. Kami duduk dengan posisi melipat kaki ke belakang seperti posisi duduk diantara dua sujud. Lalu satu persatu warga maju ke depan dan pertama-tama Jaka yang diprosesi. Prosesi dimulai dengan memercikkan air kapur sirih dengan menggunakan sejenis dedaunan. Seusai dipercikkan lalu segenggam  beras kuning ditaburkan ke atas kepala, bawah leher, dan terakhir di kedua tangan dalam posisi menggenggam. Setelah itu pisau yang ujungnya dibalik ditempelkan ke ubun-ubun, bibir, dan tangan.  Ini adalah adat yang biasa dilakukan ketika ada perpisahan atau penyambutan individu, atau ketika individu menikah. Intinya ini diadakan ketika ada sesuatu yang baru di desa ini. Seusai Jaka barulah giliranku. Prosesi berlangsung sama. Secara filosofis aku tidak tahu apa makna dibalik ini semua. Tapi aku hanya tersenyum saja. Para warga yang maju untuk melakukan prosesi didominasi oleh orang-orang tua. Satu persatu warga desa maju ke depan dan seakan-akan tidak ada habisnya. Kaki sudah pegal, lalu aku mengubah posisi duduk menjadi sila. Yang unik lagi adalah setiap warga yang maju maka diminta oleh Pak Man untuk memberikan pantun kepada Jaka. Waww, sungguh unik. Hampir semuanya memberikan pantun yang berbeda-beda dan isinya sebagian besar tentang perpisahan serta jangan lupakan desa Semalah. Aku kaget setelah membisikkanku karena disini adalah mayoritas suku Melayu dan budayanya tidak lepas dari pantun. Jaka hanya tersenyum karena tidak bisa membalas pantun-pantun yang sudah diberikan. Sekitar 30 menit setelah itu barulah acara tepung tawar selesai dan dilanjutkan dengan foto-foto. Seperti biasanya, Jaka foto bergantian dengan warga-warga desa. Seusai itu lalu kami langsung disuguhkan ikan bakar yang cukup besar. Banyak sekali ikan dengan ukuran besar. Seluruh warga makan secara Tajamu’ (makan bersama, ini istilah yang biasa aku gunakan.hehe). ikan-ikan yang tadi dibakar kini sudah terhidang dihadapanku. Mengundang selera memang, nasi pun tesedia banyak sekali. Kami semua makan. Warga disini sangat baik sekali dan sebagian mereka memiliki prosi makan yang gila. Aku katakan gila karena memang banyak sekali, aku saja tidak kuuat makan sebanyak itu. Aku dipaksa makan sampai aku tidak bisa makan nasi lagi. Akhirnya aku hanya makan ikan bakarnya saja karena ukurannya besar, seolah-olah ikan itu tidak ada habisnya. Acara makan-makan selesai. Lanjut dengan acara yang paling ditunggu-tunggu warga, yaitu Dangdutan. Hiburan warga disini adalah dangdut, dangdut, dan dangdut. Pemain band mulai mengambil posisi dan musik pun dimulai. Semua warga tampak bergembira dan maju kedepan untuk berjoget. Memang disini sulit sekali untuk mengkases hiburan, maka tidak heran kalau hampir semua kalangan disini sangat menggemari dangdut dan tentunya lagu-lagu melayu yang mendayu-dayu. Jaka pun ikut maju dan berjoget. Jaka berjoget dengan lepas tanpa beban. Aku ditarik oleh ibu-ibu untuk berjoget tapi aku tidak pandai joget. 1 lagu selesai, 2 lagu selesai, 3 lagu selesai, 4 lagu selesai tapi warga tetap antusias dan tidak terlihat sedikitpun rasa capek di mata mereka. Anak-anak kecilpun ikut berjoget dan berdendang. Agak miris ketika memang yang dinyanyikan lagu “Belah Duren” tapi anak-anak sudah hafal dengan liriknya. Setiap usai 1 lagu aku langsung duduk kebelakang tapi tetap saja ada yang menarikku untuk berjoget, ampun. Entah bapak-bapak, atau ibu-ibu ada saja yang menarikku untuk berjoget. Jujur saja itu sangat annoying. Aku harus berjoget padahal aku sudah cukup lelah. Tapi demi menghormati adat sekitar, aku maju juga dan joget. Setelah lagu usai, aku langsung keluar ruangan kelas dan menuju ke rumah ibu kepala sekolah untuk mencari suaka, hehe. Aku ke rumah beliau dengan maksud mau ke lantingnya untuk buang air kecil. Aku langsung turun ke lantingnya. Setelah itu aku rumahnya untuk sekedar kandau (mampir ke rumah). Aku disuguhi air dingin oleh ibu kepala sekolah. Aku juga banyak ngobrol dengan suaminya. Setelah ngampur (istilah setempat untuk nongkrong-nongkrong) aku dipanggil Jaka untuk ke kelas karena acara joget-jogetnya selesai, thanks God!. Aku berjalan ke sekolah yang hanya beberapa langkah saja dari rumah ibu kepala sekolah. Aku merapihkan laptop dan tetekbengek lainnya. Setelah itu aku dan Jaka menuju pulang tapi kami dipanggil untuk kandau ke rumah ibu Eva, yang rumahnya disamping rumah ibu kepala sekolah. Jaka pun membelokkan langkahnya dan langsung masuk ke rumah ibu Eva. Begitu sampai kami disuguhi temit atau kerupuk basah. Aku tidak kuat makan lagi. Kami pun berbincang-bincang dengan para ibu-ibu yang sedang ramai disana. Tak lama kemudian kantuk menyerang karena memang aku merasa lelah, Jaka pun demikian. Tuan rumah menyediakan kami bantal dan tanpa basa-basi aku langsung galai (merebahkan tubuhku). Cuaca yang cukup panas, tanpa kipas angin dan pendingin ruangan lainnya aku dan Jaka pun terlelap dalam suasana yang masih ramai dengan ibu-ibu yang masih bergosip ria. Sungguh lelah tetapi mengasyikkan.


Cerita Lainnya

Lihat Semua