info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Pagi Bersama Sukma

DoriGusman 13 September 2015
Perjalanan -- Sejak kita memutuskan untuk memulai perjalanan ini, pastinya kita telah mempersiapkan amunisi masing masing untuk bekal di perjalanan menjemput cerita setahun ini. Kita menyepakati untuk menyebutnya sebagai sekolah kepemimpinan, sekolah Tuhan. Bahwa benar, melakukan sebuah perjalanan adalah hal selalu penuh dengan tanda tanya, perihal kemana nasib membawa, kemana kaki melangkah, kapan dan di mana perjalanan ini selesai. Ada yang pernah mengatakan, "Perjalanan itu bersifat pribadi, kalaupun aku berjalan denganmu, perjalananmu bukanlah perjalananku". Benar adanya , semua perjalanan adalah rahasia bagi para pejalan masing-masing, walau kita menemukan peristiwa yang sama, belum tentu kita memandang melalui sudut pandang dam kebenaran yang sama pula. Begitu pun dengan cerita ini. Adalah Sukma, bocah lelaki dengan kemampuan kinestetik yang sangat mumpuni. Sukma yang duduk di kelas 5 SD Negeri 1 Sangiang Jaya ini merupakan satu dari banyak siswa yang bersekolah di kampung Lebuh, ia berasal dari kampung Roke, berjarak satu kilometer dari sekolah. Di desaku hanya ada satu Sekolah Dasar yang menjadi tempat belajar satu-satunya anak-anak dari empat kampung. Dengan jumlah ruang kelas yang minim dan kondisi ruang kelas yang sudah sangat layak untuk di rehab, anak-anak dari empat kampung di desaku mengenyam pendidikan setiap harinya, jumlah satu kelas yang membludak, terkadang membuatku kewalahan, bayangkan saja, satu kelas ada yang berjumlah 78 orang, paling sedikit berjumlah 56 orang. Pagi itu hari selasa,  28 Juli 2015, hari kedua masuk sekolah, kebiasaan anak-anak lelaki di sekolahku saat pagi sebelum masuk ke kelas adalah bermain sepak bola, melihat kedatanganku dari jauh mereka sudah berteriak memanggilku dan ada yang menghampiriku untuk mengajaku bermain bola, sebagian besar anak-anak sudah mengenalku, sejak kedatanganku 14 Juni lalu, mereka selalu datang ke rumah yang aku tinggali walau hanya mengintip malu-malu dari jendela. Pagi itu aku memilih untuk menjadi penonton yang baik, duduk di depan kelas sambil memberikan semangat anak-anak. "Pak Doriiiiiiii" teriakan keras yang memanggil namaku itu berasal dari pagar sekolah, seorang bocah lelaki melambaikan tangannya dan berlari menghampiriku. Menantikan ia sampai ketempatku aku terus menebak-nebak siapa nama bocah lelaki ini, karena jujur saja, dengan jumlah siswa yang membludak dan berasal dari 4 kampung aku kesulitan untk bisa mengenal mereka semua, hingga ia sudah tiba dihadapanku, aku mengenalinya melalui nama yang tertempel di seragam putihnya, "hai Sukma" sapaku sambil memberikan senyum terbaikku padanya, "sudah sarapankah ?" Pertanyaan sederhana itu selalu aku tanyakan pada siswa saat pagi di sekolah, "atos, pak" jawabnya dengan logat kampungnya yang kental, "anak pintar" kataku sambil menyunggingkan senyum padanya, obrolan kami kemudian berlanjut dengan pertanyaan-pertanyaanku padanya tentang keluarga dan kegiatan yang dilakukannya sepulang sekolah, anak pertama dari enam bersaudara ini sepulang sekolah gemar sekali menyumpit ikan dan membuat perangkap burung di hutan, permainan khas anak-anak. Aku hanya tertawa mendengarkan ia bercerita dengan gaya bahasa daerahnya yang sangat kental. "Sukma, cita-citanya mau jadi apa, nak ?" "Saya mau kerja di Jakarta pak" jawabnya dengan bahasa indonesia, namun logat sunda wiwitannya masih sangat kental, "hebattt, di Jakarta mau kerja jadi apa, Sukma ?" Tanyaku sambil merubah posisi dudukku ke arahnya, membahasakan bahwa aku sangat antusias dan juga penasaran dengan jawabannya. "Saya mau bekerja bangunan pak, seperti bapak saya". Tak ada yang mengharukan dari pagi itu. Air mataku menetes begitu saja saat mendengar jawaban dari Sukma mengenai pertanyaanku tentang cita-citanya. bocah kelas 5 SD yang tinggal di desa kabupaten Lebak, daerah yang berjarak tak begitu jauh dari Jakarta, daerah yang yang sering disebut sebagai penyangga ibu kota bahkan tidak berani untuk hanya sekedar mempunyai mimpi lebih besar dari apa yang sanggup ia bayangkan. Kemudian bagaimana dengan mereka, jutaan anak-anak di pelosok Indonesia lainnya yang letaknya sangat jauh dari ibu kota, bahkan tak pernah tersentuh dengab pembangunan,  jauh dari kemajuan dan akses transportasi. Bahwa benar, lebih baik menyalakan lilin dari pada terus menerus mengutuk kegelapan. Kehadiran seorang guru bagi murid-muridnya bukan hanya sekedar mengajarkan ilmu pengetahuan semata, tapi juga memantik semangat dan memotivasi anak-anak bangsa ini agar berani bermimpi lebih besar. Sukma adalah satu diantara ratusan bahkan jutaan anak lainnya di negeri ini yang membutuhkan sosok guru yang tidak hanya sebagai pendidik, melainkan juga sebagai teman, sahabat yang senantiasa memberikan semangat, dorongan untuk terus berani bermimpi, mengejar setiap cita cita masa depan.

Cerita Lainnya

Lihat Semua