Mengemas Ketakutan

Deti Triani 13 September 2015

Kejadian ini terjadi hari senin minggu lalu. Hari itu, suasana sekolah lebih lengang dari biasanya. Setengah dari jumlah siswa sedang dibawa ke kecamatan untuk mengambil BSM. Dalam hati sejak pagi hari saya sedang ingin sekali turun, minimal ke dusun bawah. Lalu saya pun berharap saya menjadi guru yang mendampingi anak-anak ke kecamatan. Saya juga penasaran ingin tahu bagaimana proses pencairan dan penerimaan BSM. Sambil mengisi jam istirahat, saya mencoba mengetik ulang teks-teks yang dipakai dalam upacara hari senin yang sudah usang. Bosan dengan suasana ruang guru, saya mengerjakannya sambil duduk di atas tembok rendah di pinggir lapangan bersama salah satu guru yang sedang mengawasi siswa dalam mengerjakan tugas di luar ruangan yang ia berikan. Seketika anak dari guru tersebut yang sekarang duduk di kelas 6 melintas membawa motor milik sang ayah membonceng 3 orang adik kelasnya di kelas 3. Sang ayah, yang juga rekan guru, berteriak memperingati supaya berhenti. Tak sampai 10 detik tiba-tiba…..

 

BRAAAAAAAAAAAAAAAAKKKK

 

Terdengar suara motor terjatuh di dhurung samping sekolah. Selang beberapa detik seorang anak berteriak histeris. Saya loncat dari tembok berlari ke arah kantor guru mengambil P3K. Untunglah sekarang kotak P3K sudah terisi atas instruksi kepala sekolah. Lalu saya berlari menghampiri. Ternyata itu Nasarudin, murid kelas 3, sedang menangis hebat disamping dhurung memegang kaki kirinya. Saya lihat sekilas temannya yang lain terlihat baik-baik saja. Teriakan Nasar, awalnya tidak membuat saya panik. Tapi setelah melihat luka di kaki kirinya. Astaga!. Ini pertama kalinya saya melihat luka sobek pada kulit begitu dalam dan lebar. Darah mengucur tak berhenti. Ah, tak mungkin cukup P3K yang saya bawa. Lagipula saya pun jadi takut untuk sembarangan mengguyurkan alkohol dan obat merah untuk luka yang cukup dalam. Saya pun gemetar melihatnya, yang terlintas hanya bagaimana caranya supaya darahnya berhenti dulu. Semua kassa saya keluarkan. Tak berhenti!

Saya tidak boleh panik, saya harus tenang.

Anak-anak yang tadinya di sekolah, semua menghampiri. Kemudian semua ikut histeris melihat luka temannya itu. Tangisan anak-anak mengundang para warga untuk mendekat ke lokasi kejadian. Dan mereka juga ikut menangis. Rekan-rekan guru bekerjasama mengangkat Nasar ke dhurung. Saya mencoba meminta tolong anak-anak untuk mencari kain supaya darahnya terserap dan bisa menutupi luka sementara. Tapi anak-anak menolak dan ketakutan. Saya coba lari ke ruang guru mencari kain apapun. Begitu menemukan kaos entah bekas apa, saya langsung kembali dan menutup lukanya. Warga yang semakin berdatangan tidak saya izinkan untuk mendekat apalagi sampai membuka kain balutan. Saya meminta salah satu guru untuk segera membawa Nasar ke tenaga kesehatan terdekat di dusun bawah. Tapi Nasar menangis minta pulang. Lalu dijemputlah Ibundanya. Sambil menunggu, saya coba membersihkan darah di luar balutan dan bagian lain yang lecet. Baru kali itu saya menembus batas diri saya dalam hal mencoba terlihat tenang menghadapi sesuatu yang mencemaskan.

Saat sang Ibu tiba, beliau menghampiri anaknya sambil menangis. Suasana semakin membuat saya gemetar. Tapi harus tenang. Tak ada yang berani membersihkan darah selain saya. Semua yang datang hanya berani menonton. Sambil menangis, sang Ibu mengucapkan dalam bahasa Bawean yang intinya sudah beberapa hari ini memang beliau punya firasat akan terjadi sesuatu yang buruk. Langsung saya meminta tolong rekan guru menyiapkan 2 motor untuk Nasar dan sang Ibu. Pick up milik salah satu orangtua murid yang biasa disewa sekolah sedang mengantarkan murid penerima BSM. Namun satu guru berpendapat bahwa terlalu kasihan jika dibawa pakai motor, selain panas, jalanan ke bawah memang merepotkan. Ya, dusun saya terletak di tempat paling tinggi sebuah desa. Tak ada perkampungan lagi sebelum dusun saya. Untuk mencapai dusun saya, yang dilewati hanya hutan di kanan kiri jalan. Naik motor untuk turun saja bisa lebih dari 30 menit. Cukup memakan waktu jika harus turun dulu mencari mobil dan menunggu mobil itu naik. Iya kalau bidan di bawah bisa menangani, kalau harus ke puskemas Tambak, akan semakin makan waktu lagi. Ah, untunglah darah sudah berhenti. Nasar dan Ibunya pun sudah mulai tenang. Ketakutan lain muncul, kain yang saya gunakan untuk membalut lumayan kotor dan kotoran pada luka yang di dalam belum terlalu bersih. Apalagi lokasi jatuhnya ditempat berpasir. Saya takut jika itu nantinya akan menimbulkan infeksi. Ah, sudahlah, terlalu lama menunggu mobil.

Saya dan guru bahasa inggris berinisiatif membawa ke bawah tanpa menunggu mobil. Disiapkan 2 motor dan untungnya setelah sampai di bawah kami langsung mendapat mobil untuk membawa Nasar ke puskesmas kecamatan Tambak. Di puskesmas Tambak, Nasar langsung ditangani oleh dokter dan mendapat 15 jahitan di kakinya. Saat proses penjahitan, 2 guru yang ikut mengantar tidak kuasa melihat prosesnya dan meminta tolong saya yang masuk ke ruangan membantu memegang kaki Nasar yang sedang dijahit. Lagi-lagi saya harus mengemas ketakutan saya yang saat itu sebenarnya tidak mau melihat proses penanganan pada lukanya. Syukurlah semuanya berjalan lancar. Walaupun sesekali berteriak kesakitan, dan saya harus menenangkannya, Nasar cukup kuat dan cukup kooperatif, sehingga hari tersebut juga Nasar diizinkan pulang. Saya menyesal tadi pagi berkeinginan untuk turun, tapi ternyata turun ke kecamatannya untuk hal seperti ini.

Kalau kata alumni-alumni Pengajar Muda, jadi PM memang justru PM lah yang lebih banyak belajar. Hari ini saya belajar mengemas ketakutan, bersikap lebih tenang supaya bisa berpikir tindakan apa yang lebih tepat, dan saya belajar bahwa sebenarnya kitalah manusia yang membuat batasan-batasan dalam diri yang seharusnya bisa dikembangkan untuk hal-hal yang baik.

Nasar, cepat pulih ya. Ibu tunggu di lapangan, kita main bola!.


Cerita Lainnya

Lihat Semua