Menitipkan Harapan

Devi Setianingsih 22 Maret 2018

“Melawan keterbatasan, walau sedikit kemungkinan. Takkan menyerah untuk hadapi hingga sedih tak mau datang lagi.” Ipang, Sahabat Kecil

 

Bagaimana perasaanmu saat dirimu sendiri dititipi harapan anak-anak di pelosok negeri? Bagaimana juga perasaanmu ketika tugasmu tak hanya memupuk harapan-harapan itu tetapi juga menjaganya? Menjaganya sepenuh hatimu.

Ini adalah sepenggal ceritaku dari sebuah ruang kelas kecil yang bernama SD Katolik Perema. Jangan kau bayangkan harapan yang terpupuk disini adalah asa setinggi langit tentang mimpi-mimpi menjadi Presiden atau minimal mengalahkan Bill Gates. Para orang tua cukup dengan anak-anaknya bisa tetap bersekolah dan bisa mengenal teman sepermainan mereka dengan baik.

Aku ingin mengawali kisah ini dengan sebuah nama. Nama salah satu anak didikku. Tabita Mara Lobo. Tabita adalah mutiara kecil yang seharusya dijaga bersama-sama dan bukan diacuhkan sebab ia juga adalah bagian dari warga negara yang wajib dilindungi hak-hak kemanusiaannya. Tabita adalah anak kelas dua. Aku ingin menjelaskan dengan halus tanpa mengurangi keistimewaan dia. Dia tak seperti kebanyakan anak-anak yang ada disekeliling kita. Barangkali logika yang dia punya berbeda dengan logika kita. Jangankan untuk menuliskan namanya di kertas, untuk menulis huruf a sampai z saja dia harus berusaha sangat keras daripada teman-temannya. Hinga detik ini, Tabita belum bisa menulis dan membaca. Tapi setiap datang ke sekolah dan bertemu gurunya, senyum selalu menyembul di bibirnya.

Orang-orang bilang, itu adalah garis keturunan Tabita. Logikanya yang berbeda berasal dari gen ibunya yang konon mengalami schizofrenia. Ayah Tabita menitipkan Tabita ke SD Katolik Perema dengan harapan agar dia mampu bereman dengan teman-teman seusianya. Jika saja  tak terkendala bahasa, aku ingin sekali berbicara banyak kepadanya. Sayangnya, dia tidak mengerti Bahasa Indonesia dan sebaliknya, aku tak mengerti Bahasa Sabu.

Jika ayahnya sudah menitipkan anaknya ke sekolah, maka sabagai guru tugas kita selanjutnya adalah menjaga mimpi-mimpi dan harapannya. Aku tak tahu apa mimpi besar Tabita. Ia datang ke sekolah, bermain lalu pulang dan barangkali tak pernah terbayang bagaimana masa depan itu di benaknya. Tapi Tabita berhak mengetahui bahwa dia tak berbeda. Dia sama dengan anak-anak yang lain hanya saja penerimaan dia mungkin lebih lama.

Lalu kemudian, inilah harapan orang tua terhadap kami guru-guru. Orang Tua Tabita tak banyak berharap, hanya ingin Tabita tetap sekolah dan bisa bermain selayaknya anak-anak yang lain. Dan mimpi itu tak perlu dikhawatirkan lagi. Tabita tetap bisa sekolah sampai hari ini. Tetap berkesempatan bermain dengan teman-temannya. Dan begitu saja untuk menjaga harapannya.


Cerita Lainnya

Lihat Semua