Mutiara Bawean

Deti Triani 20 Juli 2016

Jika putri dari Pak Anies, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bernama Mutiara Baswedan, Saya ingin menamakan murid saya satu ini sebagai Mutiara Bawean. 

Saya bertemu dengannya pertama kali saat saya ikut menjadi relawan yang menemani rombongan finalis Kompetisi Matematika Nalaria Realistik dari Bawean. Meski hanya bertemu sebentar, tapi cukup berkesan di hati saya.

Setelah 2 tahun berlalu ternyata saya ditempatkan di Bawean. Di sekolah yang asal 2 dari 4 finalis. Meneruskan perjuangan Pengajar Muda yang saya kenal yang bisa membawa muridnya menjadi finalis kompetisi nasional. Saat itu juga saya sadar ternyata anak yang sama ini merupakan sahabat pena saya juga 2 tahun yang lalu.

Anak ini kemudian menjadi target utama yang akan pertama kali saya cari begitu saya sampai di dusun penempatan saya. Gayung bersambut, di hari kedua saya tiba, ada seorang ibu yang membawa bak kosong di atas kepalanya dan seorang gadis cilik. Praktis saya berpikir salah satunya pasti adalah murid saya nanti. Mereka berhenti sejenak begitu saya panggil. Sang Ibu menjawab dalam bahasa Bawean yang saat itu saya sama sekali tak mengerti. Saya berharap sang gadis kecil ini bisa membantu saya supaya saya mengerti apa yang dikatakan oleh Ibunya. Begitu saya lihat wajahnya, ah familiar!. Rasanya saya kenal. Untuk memastikan, saya tanya namanya. Ya, benar! Gadis kecil ini Jamaliyah. Salah satu anak yang pernah saya temui di Bogor dan yang pernah mengirimkan surat kepada saya.

Kemudian Jama, panggilan akrabnya, memberitahu bahwa dia dan Ibunya sedang menuju ke laut untuk mencari kerang-kerang kecil karena laut sedang surut. Saat itu sudah sekitar pukul 3 sore, bisa dipastikan jika berjalan kaki akan menghabiskan waktu 1 jam lebih. Pasti mereka akan kembali ke dusun yang berada di puncak bukit ini saat hari mulai gelap. Mereka mengaku kerangnya tidak untuk dijual melainkan untuk dimakan sendiri sekeluarga.

Semakin hari saya semakin tahu bahwa Jama adalah anak kelima dari delapan bersaudara dan kedua orangtuanya hanya seorang buruh tani, menggarap tanah milik orang lain. Berbagai bantuan dari Desa telah diberikan sesuai dengan program yang ada namun tetap tidak mencukupi untuk 9 kepala dalam satu rumah. 

Seiring saya disibukkan beradaptasi dengan anak-anak lainnya, Jama selalu menjadi anak yang bertanya apakah komik sains yang dipesan sekolah sudah datang atau belum. Setiap bulannya dia dengan cepat melahap materi sains dalam komik tersebut. Tak khayal 2 tahun berturut-turut (2015 dan 2016) Jama berhasil lolos hingga semifinal di olimpiade sains tingkat nasional yang diadakan komik tersebut. Jama juga salah satu dari sekian murid yang selalu semangat jika ada informasi lomba datang.

Saya teringat suratnya yang pernah dia kirimkan ke saya 2 tahun lalu dan surat-suratnya untuk sahabat pena, terlihat Jama memiliki potensi dalam hal menulis meski padanan kalimatnya terkadang masih belum beraturan. Tapi saya yakin anak ini bisa diasah sehingga saya selalu tawarkan jika ada lomba menulis. Lomba menulis pertama yang Ia ikuti adalah menulis cerpen yang diadakan oleh Kemendikbud. Saya meminta anak yang saat itu duduk di kelas 5 ini menulis 10 halaman di buku tulis miliknya. Dalam jangka waktu satu minggu Jama sudah memberikan buku tersebut kepada saya. Respon saya seketika adalah menangis setelah membaca ceritanya. Dia menuliskan bahwa dia berani bermimpi karena terinspirasi dari para Pengajar Muda yang hadir di dusunnya. Saya coba kirimkan dahulu kepada seluruh Pengajar Muda sebelum saya, dan sama! merekapun terharu. Namun sayang tulisannya belum bisa menang.

Hingga suatu hari ada informasi lomba yang diadakan oleh Kementrian Kelautan dan Perikanan RI. Seperti biasa saya menawarkan kepada semua murid karena ada beberapa kategori lomba. Jama memilih lomba menulis surat untuk Menteri Kelautan dan Perikanan RI. Awalnya dia ragu karena tulisan dia sebelumnya tidak menang. Tapi saya hanya bisa mencoba memotivasi. Akhirnya dia mengumpulkan kepada saya apa yang dia tulis. Saya mencoba memberikan beberapa pertanyaan dan saran supaya Jama memikirkan kembali apa yang harus dia tulis untuk mengembangkan tulisannya. Jama ternyata anak yang pantang menyerah, dua kali dia kembali lagi membawa tulisan terbarunya. Saya pun sudah tidak tega jika harus membuatnya mengulang lagi. Kemudian saya memintanya untuk berdoa dan berpikir positif tentang apapun yang akan terjadi nantinya. 

Betapa kagetnya saya ketika pihak Galuh, kantor Indonesia Mengajar mengabarkan saya bahwa Jamaliyah menjadi finalis untuk lomba yang diadakan KKP tersebut. Panitia lomba kesulitan menghubungi saya karena penempatan saya sulit terjangkau oleh sinyal. Hingga akhirnya panitia menghubungi kantor Galuh dan kebetulan salah satu staffnya, Hety adalah Pengajar Muda angkatan pertama di dusun saya. Hety langsung menghubungi orangtua angkatnya yang di rumahnya ada titik sinyal ‘ajaib’. Saya pun diminta segera turun mencari sinyal. Semakin kaget ketika panitia meminta saya membawa Jama ke Jakarta keesokan harinya untuk menghadiri malam final dan penganugerahan. Sedangkan saat itu semua guru sibuk mempersiapkan Pilkada. Saya sendiri tak mungkin meninggalkan tempat penugasan. Hasil dari diskusi dengan Kepala sekolah akhirnya kami meminta bantuan salah satu teman relawan di Gresik untuk mengantar Jama ke Jakarta. Untunglah ada yang bersedia sehingga Jama bisa layar* untuk kedua kalinya mengharumkan Bawean. Untung juga gelombang laut sedang bersahabat. Meski tiketnya tidak. 

Tiket kapal benar-benar hanya tersisa 1. Saya sudah memohon pun tidak bisa. Apa mau dikata Jama kemudian layar sendirian ke Gresik tanpa ditemani oleh saya ataupun guru lain, hanya dititipkan ke rekan Kepala Sekolah satu gugus yang kebetulan layar juga. Di Gresik, ada Rida relawan yang sudah siap menjemput dan menemani ke Jakarta. Sebelum berangkat ke Pelabuhan, Jama saya minta membacakan dulu surat yang Ia tulis di depan masyarakat dusun yang sedang berkumpul melakukan pemungutan suara untuk Pilkada sebagai bentuk latihan supaya tidak grogi di depan orang banyak saat di Jakarta. Kekurangannya memang dia masih sulit untuk bertemu orang baru dalam jumlah banyak meski sebenarnya rasa percaya dirinya cukup tinggi.

Saya dibohongi oleh panitia. Ternyata Jama sudah ditetapkan menjadi juara 1 untuk lomba yang tingkatnya nasional ini. Saat Jama membacakan suratnya di atas panggung yang ditonton ratusan orang di auditorium, Ibu Susi diberitakan sampai menangis mendengarnya. Suratnya mengalahkan ratusan surat yang masuk untuk Ibu Menteri. Sekejap berita Jama menyebar hingga Bupati sampai kepala UPT. Semua meminta pihak sekolah mengkonfirmasi kebenaran berita yang ada. Ada pula yang tidak percaya bahwa anak gunung kok ya bisa menulis surat untuk Menteri, menang pula!. Kami pihak sekolah hanya bisa bersyukur ada murid kami yang bisa mengharumkan nama Bawean. Dari Bupati hingga Camat Tambak semua ingin memberikan apresiasi untuknya. 

Prestasi Jama membuat pola pikir para orangtua di masyarakat menjadi berubah. Anak Panyalpangan bisa memiliki prestasi tinggi itu bukan mitos. Setelah lomba itu banyak orangtua yang mendukung perkembangan anak-anaknya ke arah yang lebih positif. Semuanya berharap anaknya bisa berprestasi seperti Jama. Sampai-sampai tak ada lagi yang merasa berat jika anaknya ingin ikut lomba. Segala dukungan dikerahkan untuk anak-anaknya yang sedang berjuang dalam lomba. Walaupun tidak menang, mereka tetap memotivasi anak-anaknya. Bahkan sampai ada orangtua yang berpikir bahwa pengalaman yang dirasakan oleh anaknya lebih penting daripada predikat prestasinya. Guru-guru juga lebih percaya diri dalam membimbing anak-anak di berbagai kegiatan yang sebelumnya selalu diamanahkan kepada Pengajar Muda. Salah satu perubahan perilaku sangat positif yang patut disyukuri. Hal ini yang membuat saya lebih lega bahwa mereka nantinya akan tetap percaya diri walaupun tanpa Pengajar Muda lagi.

Saya juga tidak lupa mengingatkan kepada anak-anak murid saya di sekolah bahwa dalam perjalanan Jama pun banyak kerikilnya. Jama tak sungkan* les untuk persiapan lomba, Jama sampai berkali-kali menulis surat, Jama juga pernah tulisannya tidak lolos. Saya lihat raportnya nampaknya di kelas 1 dan 2 Jama belum memiliki nilai yang menonjol, tapi saya lihat lembaran berikutnya semakin lama nilai di raportnya naik. Anak ini memang berjuang dari bawah sepertinya tanpa Ia sadari.

Kegigihan Jama menjadi contoh nyata yang disaksikan sendiri oleh teman-temannya bahwa setiap anak itu cerdas apalagi kalau dia mau bekerja keras. Jika ingat tulisan pertamanya yang saya baca, bahwa Ia berani bermimpi karena terinspirasi Pengajar Muda, rasanya bukan kami yang patut diberikan rasa terima kasih. Setiap langkah ada Tuhan yang menuntun kami para pengajar muda. Setiap gerakan banyak doa yang mengiring, banyak dukungan yang selalu ada.

Di Panyalpangan pun sebenarnya tidak hanya Jamaliyah. Saya dipertemukan dengan banyak anak dan orang-orang menginspirasi lainnya dengan keunikannya masing-masing, dengan perjuangannya masing-masing. Saya sendiri tetap yakin kemilau mereka akan terus terasah. Mungkin tidak sekarang seperti Jamaliyah. Tapi saya yakin akan ada waktunya saya mendengar banyak dari mereka menjalani momen-momen bahagia atas kerja keras yang mereka lakukan.  

Sujud syukur untuk Gusti Allah yang telah membawa saya hingga titik ini. Karena disini saya adalah pribadi yang justru yang banyak berterima kasih banyak mendapat inspirasi. Semua anak ajaib dan saya diberikan jalan yang ajaib pula untuk bisa bertemu dengan mereka. 

Kini Jama hanya tinggal fokus belajar di tempatnya yang baru. Menggapai cita-cita setinggi-tingginya. Ada rintangan yang telah dihapuskan oleh Allah. Namun cita-citanya tetap menunggu kerja kerasnya.    Semoga Jama dan anak-anak panyalpangan lainnya suatu saat bisa menjadi sebaik-baiknya manusia, yaitu yang bermanfaat bagi oranglain. Karena Ibu yakin, kalian adalah Mutiara Bawean.

*layar = menyeberang

sungkan = malas


Cerita Lainnya

Lihat Semua