Mencari Warna Seindah Pelangi

dela anjelawati 6 Juli 2012

Semilir angin yang sejuk senantiasa menemani kala mentari pagi memulai harinya. Segarnya basuhan air wudhu memang tak tertandingi, karena sumbernya langsung dari mata air yang ada didekat rumah. Diluar sana, suara mesin kapal nelayan penanda aktivitas desa mulai menyeruak. Sedang di daerah perbukitan desa, para petani tengah bersiap turun ke aeral persawahan nan hijau. Sejak ba’da sholat subuh tadi, ibu hostfam-ku sudah mulai sibuk dengan aktivitasnya didapur. Menanak nasi jagung (beras+jagung) diatas tungku menjadi keahlian tersendiri. Ternyata bukan hal yang sederhana, tetapi menjadi mudah karena biasa. Dengan cekatan beliau menghidupkan tungku kayu tanpa menggunakan minyak tanah setitikpun. Hanya bermodal pelepah daun kelapa yang sudah kering sebagai pemicu api. Alhasil, api akan tetap stabil dan lebih hemat energi. Selain itu, menanak nasi di atas tungku kayu, hasilnya memang lebih pulen. Ya, simple but perfect.

Jika mentari pagi menjelang, suara riuh anak-anak mulai terdengar. Para bocah laki-laki sibuk menaikkan layang-layang mereka dan berlomba satu dengan lainnya. Tak peduli dengan teriakan ibu-ibu mereka yang menyuruhnya untuk mandi. Sedang disumber mata air, beberapa ibu rutin mencuci pakaian, lalu pulang dengan seember air minum yang dibawa diatas kepala mereka. Aku hanya cukup membayangkan saja betapa beratnya mengangkat air diatas kepala lalu berjalan kaki melewati bukit hingga tiba dirumah. Lelah pasti. Sesekali juga kulihat para bapak membawa sekeranjang besar rumput untuk pakan ternaknya. Entah dari mana dan seberapa jauh mereka berjalan untuk mencari rumput-rumput segar itu. Yah, begitulah nuansa pagi Dusun Langgetan yang akan terus menemani hari-hariku selama 1 tahun kedepan.

Baru minggu lalu kami melepas kepulangan Pengajar Muda II yang telah selesai masa pengabdiannya. 11 hari masa transisi terasa terlampau singkat. Tapi adalah sebuah kehormatan sekaligus tanggung jawab untuk mempertahankan dan melanjutkan hasil pencapaian mereka yang luar biasa. Tak terasa hari ini adalah pekan ketiga penempatan. Alunan waktu sepertinya mulai bersahabat dengan keberadaanku disini. Suasana desa dan hangatnya keluarga baruku benar-benar begitu membantu selama masa adaptasi. Tak perlu waktu lama, tak perlu usaha keras, desa ini memang mudah untuk dicintai. Bahkan sejak awal kedatanganku disini, ketakjuban itu tak hentinya mewarnai.

Dusun Langgetan berlokasi tidak jauh dari ibu kota Kecamatan Tambak, hanya 20 menit jika menggunakan kendaraan bermotor. Berpenduduk ± 40 kk dengan 100 % beragama islam. Mayoritas masyarakat berkerja sebagai nelayan, petani dan TKI di Malaysia. Memiliki topografi alam yang mempesona; pantai, perbukitan, persawahan, hingga areal perkebunan jati. Dusun langgetan juga memiliki satu mata air yang bernama Petambu’an. Kabarnya, mata air ini muncul dari akar 2 pohon besar. Debit airnya cukup besar sehingga mampu mencukupi kebutuhan air rumah tangga dan mengairi persawahan.

Topografi yang lengkap dari hijaunya perbukitan, bentangan persawahan yang menguning, degradasi birunya laut hingga mentari senja yang jingga mempesona adalah alasan mengapa kukatakan bahwa langgetan adalah “Syurga Allah yang jatuh”. Aku tak perlu menanti redanya hujan untuk menikmati pelangi. Pelangi itu menjadi 1 paket disini, di dusun langgetan. Hijau, Kuning, Biru dan Jingganya senja  menjadi lukisan cakrawala alam yang mengelilingi dusun Langgetan.

Aku bersyukur dalam kesempurnaan...


Cerita Lainnya

Lihat Semua