In Cried, In Smile
dela anjelawati 27 Oktober 2012Pagi ini, mentari menyambut cerah saat aku melangkahkan kaki menuju sekolah. Ditemani beberapa muridku, kami berjalan menaiki bukit dan menyusuri jalan setapak diselingi nyanyian khas kami, Pagiku Cerah. Tak dipungkiri, jalan menuju sekolah tempat aku mengajar memang sesuatu buanget. Bukan persoalan jaraknya, tapi karena jalan yang ditempuh berbukit-bukit. Meski udara pagi begitu segar, meski bonus pemandangan desa yang Subhanallah, tapi tetap tak sanggup menghentikan keringat yang menyucur dan nafasku yang mulai kembang- kempis. Bersyukur, selalu ada anak-anak muridku yang setia menemani baik pergi maupun nanti saat pulang sekolah.
Sesampai disekolah, senyum mulai merekah diwajah kelelahanku. Biar peluh belum kering, aku bahagia saat melihat halaman sekolah yang bersih. Kuperiksa kelas per kelas anak-anakkku, hmmmm harum. Murid perempuanku sibuk mengepel lantai kelas dengan pengepel lantai wangi jeruk yang beberapa waktu lalu kami beli dari uang urunan. Ya, aku bahagia. Tapi bukan hanya tentang sekolah yang bersih melainkan karena melihat kemajuan sadar kebersihan mereka. Tentang semangat gotong royong yang acap kali kuulangi setiap apel pagi. Bahwa kebersihan adalah tugas bersama. Dan itu baru terlihat perkembangannya setelah 3 bulan lebih aku menjadi guru disini. Hingga entah sampai berapa lama kemandirian mereka akan bertahan.
Kebahagiaan terasa lengkap pagi ini. Entah mengapa anak-anak begitu 'manis'. Jam pelajaran pertama adalah bahasa inggris. Kali ini aku mengajar dikelas 5. Kami belajar tentang adjective dengan menggunakan beberapa metode. Mulai dari menggambar, bermain kartu hingga senam adjective. Aku memang sengaja meluangkan waktu untuk membuatkan beberapa metode untuk mengajar dikelas ini. Daya tangkap anak-anak akan lebih cepat jika aku menggunakan beberapa metode saat mengajar. Kelas berjalan cukup mulus. Beberapa anak yang biasanya tidak betah duduk ditempatnya sekarang lebih bisa dikondisikan. Apalagi saat mempratekkan senamadjective, anak-anak terlihat gembira. Mereka bahkan memintakku untuk mengulanginya hingga beberapa kali. What a nice class...
Waktu menunjukkan pukul 9 pagi. Saatnya jam istirahat. Anak-anak berhamburan keluar kelas. Berlari menuju kedai makanan untuk mengisi perut mereka. Kali ini aku lebih memilih berdiam diri dikelas. Menyelesaikan beberapa ulangan harian anak-anak yang belum kukoreksi. Seorang murid perempuanku bernama Ana menemani dikelas. Dari kaca terlihat salah seorang guru ditempatku mengajar sedang berbincang dengan yang lain. Tempatnya sangat dekat, hanya dipisahkan dengan dinding kelas dan kaca. Aku tak begitu menyimak pembicaraan mereka. Namun jarak yang dekat membuat suara mereka terdengar jelas dari tempat dudukku. Awalnya kupikir hanya perbincangan biasa. Ya, seperti halnya jika guru-guru perempuan sedang berkumpul. Mulai dari berbagi gossip terbaru hingga urusan rumah tangga.
Saat tinggal beberapa lembar ulangan lagi yang harus kukoreksi, konsentrasiku tiba-tiba beralih pada suara seorang guru yang masih duduk berbincang diluar kelas. Terdengar namaku dan Indonesia Mengajar beberapa kali disebut. Aku mulai menyimak pembicaraan seorang guru perempuan itu. Ia adalah wali kelas 5, kelas favoritku - tanpa mengurangi kasih sayangku untuk kelas lainnya-. Kelas dimana aku lebih banyak mendapat jam mengajar yakni 4 bidang studi sekaligus; IPA, Matematika, Bahasa Inggris dan Olahraga. Hal ini membuatku lebih banyak berada dikelas 5.
Tak terasa degup jantungku makin kuat. Aku hanya mematung mendengar pembicaraan guru perempuan itu. Demi Allah, jika tak mempertimbangkan kalau saat itu aku sedang berada dikelas dan jika tidak memikirkan wibawaku didepan anak-anak, aku tak kuat menahan air mata. Aku hanya mendengarnya mengatakan beberapa hal. Tapi berhasil membuatku tak memikirkan lain kecuali mengambil tasku dan pulang kerumah. Beginilah sekilas pembicaraannya:
"ah, untuk apa ada indonesia mengajar. Saya bukannya tambah semangat mengajar, malah tambah malas"
" ibu dela cuma ambil muka saja dengan anak-anak"
Dan beberapa hal lain yang sudah tak jelas kudengar.
Saat itu aku hanya memikirkan pulang secepatnya sembari menghindari anak-anak yang sebentar lagi akan masuk kelas setelah jam istirahat habis. Kumasukkan barang-barangku kedalam tas dan beranjak keluar kelas. Aku berjalan menuju kearah guru perempuan itu. Sejurus didepannya,
"kita pendidik, mengapa ibu tidak membicarakan langsung didepan saya. Tidak perlu ibu mengupat saya dari belakang"
Lalu aku berlari meninggalkan sekolah, bergegas pulang kerumah. Beberapa anak melihatku dari kejahuan. Aku yakin mereka pasti bertanya-tanya mengapa aku pulang jam segini. Ah, kuabaikan saja sebelum anak-anak yang lain melihat. Beruntung saat itu hari sangat terik. Tak begitu banyak warga yang berada diluar rumah. Apalagi perjalanan pulang kerumah melewati banyak pesawangan. Air mataku mengalir deras sepanjang perjalanan pulang. Inilah aku yang begitu cengeng. Mengapa pembicaraan seorang guru perempuan itu membuatku begitu sedih. Atau marahkah aku?.. Kesal?.. Ah entahlah..
Aku terbayang bagaimana selama ini aku mengenal guru perempuan itu. Ia yang ku tahu sangat ramah padaku. Kata-katanya baik. Dan selama ini ia juga yang mempersilahkanku untuk berbagi waktu mengajar dikelasnya. Apalagi dengan memiliki 2 anak balita membuatnya sering tidak masuk sekolah. Aku pikir dia akan merasa terbantu jika aku mengajar dikelasnya. Tapi nyatanya, sangat berkebalikan dengan pembicaraannya siang itu. Tentang aku yang membuatknya malas mengajar. Tentang aku yang hanya mengambil muka didepan anak-anak. Ya Rabbi,, inilah ketentuan alam. Tak selamanya padi yang ditanam akan menghasilkan keseluruhan padi, terkadang akan muncul rumput ilalang disekitarnya. Lalu bagaimana jika saat engkau telah berusaha berbuat baik, dan yang muncul bukanlah kebaikan seperti yang diharapkan, tapi pandangan miring terhadapmu...
Sepanjang perjalanan itu, aku hanya terpaku dengan pikiranku. Pembicaraan itu jelas terngiang-ngiang. Air mataku masih mengalir. Tiba-tiba aku dikejutkan dengan suara seseorang yang memanggilku. Suara itu sepertinya datang dari arah belakangku. Ya, suara anak-anak, tapi entah siapa. Aku tak ingin menoleh kebelakang. Aku masih menangis, mataku masih merah. Aku hanya berpura-pura tidak mendengar lalu mempercepat langkah kakiku. Tapi lama kelamaan suara itu kian banyak. Sepertinya mengejar dari belakang. Berteriak; ibuuuuu..ibuuuuu... Aku mulai khawatir kalau- kalau beberapa anak menyusulku dari belakang kemudian menemukanku sedang menangis. Ah mereka pasti bertanya macam-macam.
Segera kuhapus air mataku. Berharap semoga mata ini kembali normal. Aku tetap berjalan cepat tanpa menghiraukan panggilan mereka. Lalu apa yang terjadi kawan. This is the best part when I be a teacher. Tak disangka murid laki-lakiku berusaha menghentikanku dengan memotong jalan menuruni bukit. Mereka telah menungguku dibawah, tepat sebelum aku sampai. Mereka benar-benar menghadangku. Sedang siswi putri tetap mengejarku dari belakang. Aku hanya mendengar mereka berteriak.
"hoyyy, tahan ibuuuuu, tahan ibuuuuuu di bawah"
Aku terpaksa menghentikan langkahku. Tak ada jalan lain untuk menghindari mereka. Mereka bukan hanya 5, atau 10, atau 20 siswa. Mereka adalah siswa- siswiku satu sekolah. Entah siapa yang menjadi penggeraknya. Entah mengapa mereka bersepakat menyusulku. Padahal sepengetahuanku tidak ada yang tahu persis kejadianku disekolah. Selain Ana, murid kesayanganku yang menemani dikelas saat mengoreksi ulangan dan saat aku mendengar pembicaraan guru perempuan itu. Ya..mungkin Ana.. mungkin Ana..
Aku mulai diintrogasi oleh siswa- siswiku. Mereka bertanya macam-macam. Tapi yang jelas mereka sangat ingin tahu mengapa aku tiba-tiba pulang. Dan bertanya mengapa mataku seperti baru menangis. Aku berbohong dengan berdalih,
"ibu sedang sakit. Sakit menstruasi. Kan kalian belum tahu. Nanti kalo sudah besar akan tahu"
Ah tetap tak berhasil. Mereka tetap tak percaya.
"ibu bohong. Mana mungkin karena sakit. Pasti ibu dikata-katain"
Siswa yang lain mengamini. Mereka mengancam tidak mau pulang kesekolah jika aku tak kembali kesekolah lagi.
"kalo ibu nggak kesekolah lagi kami bakal mogok sekolah, kami nggak mau masuk kelas"
Kelakuan mereka memang aneh. Beberapa siswa laki-laki yang selama ini kupikir acuh malah memilih bertanya digarda terdepan dan sepakat tidak ingin masuk sekolah jika aku tidak mengajar. Tak ada yang lain. Aku hanya bisa tersenyum dengan kelakuan mereka. Tidak ingin membuat mereka mengikutiku hingga kerumah, siang itu aku membuat kesepakatan.
"kalo kalian tidak mau kembali kesekolah sekarang, senin besok ibu tidak mau kesekolah. Tapi kalo kalian kembali sekarang, InsyAllah ibu mengajar lagi hari senin. Kita akan upacara seperti biasa. Okey "
Kulihat mereka tak begitu banyak berkomentar. Hanya memintaku untuk menepati janji. Mereka satu per satu kembali kesekolah.
Sore harinya, seorang guru laki-laki mengunjungiku dirumah. Beliau adalah guru PNS yang telah mengabdi hampir 25 tahun disekolah dan sangat disegani guru yang lain. Beliau tak banyak membahas tentang kejadian itu. Hanya memilih bercerita tentang masalah yang saat ini dihadapi oleh guru-guru honorer yang ada disekolah kami. Dari 9 orang guru, 6 diantaranya adalah guru honorer. Baru- baru ini tambahan honor mereka yang bersumber dari kabupaten dihentikan. Sehingga dengan itu, at least mereka hanya mendapat honor Rp 200.000,- per bulan, yang memang selama ini telah dianggarkan dari dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Menurut pandangan beliau, para guru honorer (termasuk guru perempuan yang membicarakanku itu) hanya frustasi karena tunjangan honor mereka yang dihentikan. Padahal beban mengajar mereka dengan menjadi wali kelas sangat berat. Sedangkan kebutuhan keluarga sehari-hari terbilang banyak. Beliau kemudian memintaku untuk mengabaikan pembicaraan guru perempuan itu.
Aku tak banyak berkomentar. Aku hanya berusaha memahami dan memposisikan diri jika aku menjadi mereka. Apalagi dengan adanya kejadian bersama anak-anak tadi menyadarkanku tentang satu hal. Their love is more than enough. Setidaknya esok senin aku sudah cukup energi untuk kembali mengajar.
Ini bukan scene dalam salah satu film. Bukan se-dramatik film Laskar Pelangi yang berlatar belakang kasih sayang seorang Andrea Hirata kepada gurunya, Bu Mus. Tidak kawan. Ini hanya salah satu episode paling dramatik dalam hidupku. Saat ketika aku merasa dicintai oleh malaikat-malaikat kecil itu. Kala aku dengan yakinnya membenarkan kalimat pak Anis Baswedan saat training Pengajar Muda dulu. Bahwa menjadi Pengajar Muda bukanlah sebuah pengorbanan melainkan sebuah kehormatan. Bahwa berada jauh dari keluarga dan sahabat serta meninggalkan kesempatanku untuk melanjutkan study dengan beasiswa tidaklah sebanding dengan makna nilai yang kudapatkan selama disini. Akupun sedang menempuh study lanjut, yakni di Universitas Kehidupan. Belajar mengurai makna bahagia dari sesuatu yang sederhana. Dalam tangis dan tawa. Episode ini baru sepertiganya. Allah yang menggerakkanku untuk berada disini. Diapun tahu alasannya. InshaAllah
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda