TAPI dan DAN

Karecka Tira Supratman 27 Oktober 2012

Aku selalu menganggap diriku sebagai orang yang berpikiran positif—orang yang penuh semangat dan optimisme. Aku selalu berusaha menemukan yang terbaik dalam setiap situasi. Baru-baru ini aku tersadar betapa kata-kata dalam kosakataku memiliki dampak yang luar biasa terhadap orang-orang. Sebelumnya aku bahkan tidak menyadarinya.

Belakangan ini, aku berusaha mendengarkan diriku sendiri, bahkan aku tidak suka mendengar apa yang keluar dari mulutku sendiri. Sebagai guru dan mantan trainer, aku tahu bahwa pujian dapat menjadi perangkat motivasi yang luar biasa.  Aku menyadari pentingnya mengembangkan kepercayaan diri seorang anak. Aku dengan tulus menyebarkan komentar-komentar pembangkit semangat ke sekeliling ruang kelasku seolah-olah aku sedang berusaha memupuki bunga-bunga. Setiap hari menyediakan sebuah taman yang dipenuhi beragam siswa dan mereka semua bermekaran dengan pujian dan dukungan. Aku tahu bagaimana caranya berterima kasih kepada murid-muridku, teman-temanku, dan bawahanku bila mereka melakukan pekerjaan mereka dengan baik. Aku melontarkan pujian kepada orang-orang yang tidak menduganya jika aku melihat mereka membutuhkan semangat. Namun, aku juga memantulkan kembali komentar-komentar positif tersebut ketika aku menggunakan sebuah kata yang membuat murid-muridku cekikikan, yaitu kata TAPI.

Ketika salah satu murid kelas satuku berusaha menulis namanya, aku segera mengungkapkan kekagumanku. “Wow! Ini A yang luar biasa, dan huruf D—mu sangat bagus dan tinggi, tetapi huruf E—mu seharusnya pendek, dapatkah kau menghapusnya dan berusaha membuatnya lebih pendek?” pintaku. Dia tidak kecewa dengan komentarku. Dia berusaha memenuhi harapanku. Aku pikir saat ini aku sedang membantunya, mempersiapkan untuk jenjang yang lebih tinggi, menunjukkan kepadanya perbedaan antara huruf besar dan kecil. Aku tidak mengira bahwa komentarku tersebut akan mempunyai dampak yang panjang terhadap harga dirinya. Meskipun begitu, kurasa jika aku mengganti kata TAPI dengan kata DAN, dia akan merasa bangga dengan pencapaiannya alih-alih mempertanyakan “cara yang tepat” untuk menulis namanya. Aku harap pada waktu itu aku mengatakan, “Aku suka huruf-huruf tinggimu yang cantik ini, DAN aku suka usaha kerasmu dalam mencoba membuat huruf E ini.”

Baru-baru ini tentara dari Koramil datang mengunjungi sekolahku untuk bertemu denganku dan anak-anak didikku. Aku segera membariskan mereka dan membual tentang betapa hebatnya mereka. Kukatakan pada Koramil bahwa mereka pintar-pintar TAPI mereka sangat pemalu. Kulihat wajah anak-anak awalnya tersenyum berubah menjadi cemberut mengkerut. Aku telah menanamkan satu ons keraguan, padahal seharusnya aku menanamkan benih keyakinan. Seandainya saja aku mengatakan “Mereka pintar-pintar DAN mereka membutuhkan kepercayaan diri yang lebih tinggi”, mungkin mereka tidak akan cemberut.

Hari ini aku kembali memuji muridku, “Nada pintar menghitung ya...” sebelum aku menyelesaikan kalimat itu anak-anak sudah memotong dengan berkata “tapi...” secara serentak. Spontan aku sadar, aku salah dalam memilih kata.

Setelah kejadian-kejadian itu, aku akan menahan diri untuk menggunakan kata berawalan “T” tersebut. Aku rasa aku dapat melakukannya dan aku akan berusaha semaksimal mungkin. Aku tahu hal ini akan memiliki dampak positif kepada orang lain dan diriku. TAPI jika gagal, aku akan mencobanya lagi, dan lagi, dan lagi untuk menghilangkan kata bandel tersebut dari kosakataku. Aku memutuskan untuk mengganti kata berawalan “T” itu dengan kata DAN.


Cerita Lainnya

Lihat Semua