Lahir Besar Tua di Philipina, Meninggal di Matutuang

Muhammad Ulil Amri 26 Oktober 2012

Kali ini saya ceritakan pengalamanku menyaksikan kisah kematian pertama orang islam yang meninggal di Pulau Matutuang dan antusiasme masyarakat Matutuang yang ingin menyaksikan prosesi pemakaman secara langsung.

Pagi itu hari Sabtu, 15 September 2012. Saya masih di kamar untuk mengecek perlengkapan dan bahan ajar di kamar. Tiba-tiba dari luar murid-muridku memanggil-manggilku.

“Pak guru...., Pak guru...” hari ini berangkat sekolah atau tidak? Ada orang meninggal...

Sejenak saya bicara dalam hati. “Kok ada pertanyaan sekolah atau tidak. Kalau ada yang meninggal ya sekolah tetap sekolah”. Namun rupanya ini menjadi semacam “tradisi” di pulau ini. jika ada orang meninggal, maka sekolah libur. Saya menghela nafas.

Kemudian saya keluar. Ada lima anak berkerumun di depan rumahku. Dari kejauhan anak-anak yang lain menuju rumahku. Jadilah rumahku seperti suasana pembagian sembako.

“Ada oma meninggal pak guru. Kita nyandak mau sekolah.”

 “Kalian harus sekolah. Ndak ada libur hari ini. Ayo sekolah.”

“Tapi kata Pak Wawo nya ndak masuk hari ini.” Kata salah seorang muridku.

Saya tak percaya begitu saja. Saya, yang sudah memakai pakaian rapi langsung menyambar  tas.

“Yuk berangkat sekolah”

Sebagian anak mengikuti langkahku. Sebagian lain tidak mau beranjak. Sesampai di atas (sekolahku terletak di atas bukit pulau) saya tidak mendapati seorangpun di sekolah. Sayapun menuju rumah pak wawo yang juga suami dari ibu kepala sekolah itu. Saya tanyakan perihal berita sekolah diliburkan. Pak wawo jawab “Iya pak guru, sekolah diliburkan saja. Lagi pula yang meninggal adalah mama dari Bu Malbia.”

Bu Malbia adalah salah satu guru honorer di sekolahku yang lahir dan besar di Philipina.

Saya pun tidak bisa membantah.

“Kapan pemakamannya pak?” tanyaku.

“Katanya jam 3 sore sto. Menunggu keluarga yang dari Philipin.”

Hatiku bergemuruh. Kenapa harus libur kalau pemakaman jam 3 sore?”. Saya hanya bisa membatin.

Anak-anak yang terlanjur sampai di sekolah sedang asyik main bola.

Lalu  saya mengajak anak-anak untuk belajar. Hanya satu anak yang mau. Delon. Anak kelas tiga ini belum bisa baca. Saya ajari dia membaca.

Agak siang, saya turun ke rumah tinggal. Memasak lalu istirahat.

*

Pukul 14.30 prosesi pemakaman dimulai. Jenazah sudah dimandikan dan dikafani. Keranda yang dibuat dadakan juga sudah siap. Serba mendadak. Payung yang digunakan pun payung hujan yang dikerubungi dengan bawahan rukuh.

Pertama-tama pembawa acara menyampaikan susunan acara. Kemudian sambutan dari pemerintah kampung. Setelah itu ada pembacaan riwayat singkat almarhumah.

Almarhumah lahir di Philipina, besar di Philipina, tua di Phiipina. Hampir seluruh hidupnya dihabiskan di Philipina. Sebelumnya tidak pernah kemana-mana.  Anak-anaknya sebagian di Philipina, sebagian di pulau matutuang. Dua belas hari sebelum kematiannya, Oma yang masih di Philipina hendak mengunjungi anak dan cucunya di pulau Matutuang.

Jangan bayangkan jika bepergian lintas negara di sini seperti seharusnya menggunakan paspor,bayar  visa, dan naik pesawat terbang. Tidak. Di wilayah perbatasan ini masyarakat bebas menerjang batas wilayah negara tanpa paspor, tanpa bayar visa. Tidak perlu pesawat terbang. Cukup pumpboat kecil, sejenis perahu kecil bermesin  yang biasa digunakan masyarakat perbatasan dua negara ini. Waktu tempuh hanya 5-6 jam, tergantung gelombang laut.

 Sesampai di Matutuang, oma jatuh sakit sampai akhirnya menemui ajal.

Nah, ini yang menarik. Oma tercatat dalam sejarah sebagai orang muslim pertama yang meninggal dan dikubur di pulau penghasil sirip hiu ini. Sebenarnya sebelum Oma, ada orang muslim yang meninggal di pulau ini. Akan tetapi orang tersebut dikebumikan di pulau Lipang (pulau terletak di selatan Matutuang, sekitar 4-5 jam perjalanan pumpboat, pulau pengajar muda Muhammad)  yang mayoritas muslim. Tentu saja prosesi pemakaman Oma  menjadi pemandangan langka bagi masyarakat Matutuang yang mayoritas beragama kristen. Tua, muda,dan anak-anak antusias menyaksikan prosesi pemakaman. Tidak ketinggalan murid-muridku mulai dari kelas satu sampai kelas 6.

*

Kembali ke proses pemakaman.

Setelah pembacaan riwayat selesai, kemudian dilanjutkan dengan pembacaan doa. Kira-kira mirip dengan pembacaan tahlil di Jawa. Setelah selesai, jenazah yang semula disemayamkan diatas balai-balai dipindahkan ke keranda. Jenazah yang sudah di keranda kemudian diangkat. Sebelum keluar dari rumah duka, seluruh anggota keluarga berjalan melewati bawah keranda. Dalam hati, “kok mirip di jawa ya?”. Kemudian jenazah di bawa ke masjid untuk dishalatkan. Ratusan orang mengantar sang jenazah.

Namun, yang ikut shalat hanya beberapa saja. Maklum sebagian pengantar beragama kristen. Yang islam pun, sangat jarang melaksanakan shalat. Setahun mungkin hanya dua kali waktu hari raya. Bahkan ada yang tidak sama sekali.

Selesai shalat, jenazah dibawa ke tempat yang sudah disiapkan. Tempat istirahat yang dipilih terletak di samping jalan menuju Pantai Sarasuge. Di sinipun masyarakat banyak yang menyaksikan proses pemakaman. Banyak pula warga yang hanya memakai kaus dan celana pendek sobek. Waduuuh.... suasana khidmad dan syahdu yang biasa terasa dalam pemakaman yang pernah saya ikuti tidak bisa saya rasakan. Yang terasa adalah antusiasme warga  untuk memenuhi rasa ingin tahu mereka. Bahkan masih ada yang sempat bercanda dalam bahasa sangir yang membuat warga tertawa. Alamaak.... macam mana pula ini.

Prosesi penguburan jenazah tidak jauh beda dengan di tempat lain di Jawa. Semuanya berlangsun dengan lancar. Sang Oma pun istirahat dengan tenang di bawah rerimbunan pohon kelapa, ditemani hembusan angin laut yang membawa bulir-bulir garam. Oma Philipina beristirahat di bawah ribaan sang merah putih. Halah lebay..hehe.. ups.

Cerita pemakaman Oma ini tidak berhenti sampai disini. Entah mengapa, sore itu tidak banyak warga yang mandi di mata air Pantai Sarasuge. Usut punya usut, ternyata banyak warga yang takut melewati makam Oma. Tidak hanya anak-anak, bapak-bapak dan ibu-ibu pun banyak yang takut. Bahkan banyak pula yang tidak berani melintas di jalan yang gelap meskipun jauh dari makam Oma.

Ternyata, mereka punya keyakinan bahwa malam pertama setelah pemakaman, orang yang meninggal akan bergentayangan.

“Pak guru nyandak takut?” tanya Selly, murid kelas 5.

Kaiapa takut (kenapa harus takut)? Kalau orang sudah meninggal ya tidak bisa pasiar-pasiar (jalan-jalan) lagi.” Jawabku santai.

“Tapi dorang bilang Oma sebantar pasiar.” Timpal Selly.

“Ah, nyandak. Takut jo sama Tuhan. Jangan takut sama cerita dorang” jawabku diplomatis.

Tetap saja Selly takut. Tidak hanya Selly!

Aiihhh... ada-ada saja matutuang ini.

                                                                                       Tahuna, 25 Oktober 2012

 

 

 


Cerita Lainnya

Lihat Semua