info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Piala Primadona di Zamannya

DaryantiSeptiyani 30 September 2015

Kurang lebih satu bulan lagi SDN 57 Ketamputih diakreditasi. Akreditasi nanti adalah yang pertama sejak sekolah ini berdiri lima tahun lalu. Setelah kemarin empat orang dari UPT dan Dinas Pendidikan datang untuk memberikan sosialisasi terkait persiapan yang perlu dilakukan dalam akreditasi, hari ini kepala sekolah dan para guru sibuk kembali dengan kerja bakti. Bersama kepala sekolah, seorang operator, guru olahraga, guru bidang studi agama, dan lima orang guru kelas, saya ikut serta bergotong-royong merapikan ruang-ruang di sekolah.

Salah satu ruangan yang perlu dipersiapkan adalah ruang kepala sekolah yang harus terpisah dengan ruang majelis guru. Selama ini, Bu Darmi, Kepala SDN 57 Ketamputih lebih memilih bekerja dalam ruangan yang sama dengan para guru. Namun demi memenuhi tuntutan akreditasi, meja kerja, lemari, piala-piala, dan medali-medali harus dipindahkan di ruang yang berbeda. Saat membongkar lemari yang berisi puluhan piala untuk dibersihkan, sebuah cerita kenangan manis pun mengalir dari bibir para guru.

“Piala kat sekolah ini banyak betul ya, Kak!” komentar saya kepada tiga orang guru sekaligus yang kebetulan semuanya masih muda dan biasa saya panggil ‘kakak’.

Au’. Padahal baru lima tahun SD ini pisah dari sekolah induk,” jawab Kak Ita wali kelas VI.

“Mulai dari tingkat desa, gugus, rayon, kecamatan, kabupaten, provinsi, hingga nasional semua adê,” Pak Julianto—wali kelas II dan sebagai guru paling kreatifdi bidang musik dan seni—yang dari tadi sibuk memindahkan lemari dari ruangan sebelah bersama Pak Andi, ikut menimpali.

Sembari mendengarkan perbincangan para guru, saya menjajarkan sembilan piala dengan bentuk paling indah dan berbeda dari puluhan piala lainnya. Sebuah piala lomba menyanyi dalam ajang pencarian bakat, 2 buah piala lomba melukis putri dan putra dalam Pesta Pantai, 2 piala Turnamen Catur, piala dari Federasi Panjat Tebing Indonesia (FPTI), piala lomba mendongeng, piala Konferensi Penulis Cilik Indonesia (KPCI), dan sebuah piala dari Panasonic Kid Witness News (KWN), saya pikir adalah piala yang paling dibanggakan. Namun perkiraan saya seketika terbantahkan oleh perbincangan para guru selanjutnya.

“Ini diê, pialê pêtamê kitê,” ujar Kak Bayu wali kelas 1 sembari mengambil sebuah piala kecil yang kemudian menjadi pusat perhatian, mengalihkan perhatian para guru dari seratus buah piala lain.

“Wah...,” gumam saya berdecak kagum, “waktu lomba apê, Kak, dapat pialê itu?” saya bertanya kian antusias.

“Ini pialê dari anak KKN waktu sekolah kitê jadi juara umum,” Kak Ita mengulurkan tangan menerima piala dari Kak Bayu.

“Jadi inilah pialê bersejarah kitê,” kali ini piala berpindah di tangan Kak Nisa’ wali kelas III.

“Bahagia bêtul lah rasê hati saat mendapat pialê ini,” tambah Kak Bayu berkomentar.

“Saat itu cumê satu pialê ini lah yang adê kat lemari. Kami pandang terus, macam film Laskar Pelangi. Lepas itu baru pialê-pialê lain mengisi lemari ini.” cerita Pak Juli mengenang masa lalu.

“Ini adê pialê lomba SKJ guru-guru juga, Kak?” saya kembali bertanya.

“SKJ itu tahun-tahun awal SD ini berdiri. Lomba itulah yang paling lucu garê- garê Bayu,” jawab Kak Ita yang langsung tak dapat menahan tawa saat memandang Kak Bayu.

 “Jadi hari tu adê berita nak tanding SKJ. Guru-guru semangat betul latihan supaya dapat juara, setiap pêtang latihan. Lepas tu dah hari H adê guru yang tak datang sebab sakit mendadak. Karena kurang orang awak pinjam guru dari SD lain satu orang. Kêndian formasi diubah, kênê suruh jadi formasi sikik aje. Akak yang masih teringat formasi lamê, pede dengan semangatnyê, tak mandang kawan. Jadinya tak sado kalau formasi akak salah. Untungnyê masih dapat juara harapan.” Kak Bayu bercerita sambil tertawa, diikuti tawa guru-guru lain saat mengenang lomba itu.

Sekilas saya memandangi satu per satu para guru di sekitar saya. Senyum mereka merekah dalam cerita kenangan indah yang terus mengalir diiringi dengan sorot mata yang berbinar. Betapa bersyukurnya saya ditempatkan di sekolah ini, SDN 57 Ketamputih, Bengkalis. Sekolah yang dibangun dengan semangat kekeluargaan. Sekolah kecil di pelosok negeri dengan guru-guru yang mempunyai jiwa pengabdian dan optimisme yang tinggi. Lagi, saya merasa terinspirasi berada di sini.

 

Ketamputih, 3 Agustus 2015


Cerita Lainnya

Lihat Semua