Kami Janji, Bu!

DaryantiSeptiyani 1 Oktober 2015

Siang itu, seperti biasa anak-anak datang ke rumah. Ada yang berniat belajar ataupun sekedar bermain. Ketika sedang mengerjakan soal Matematika, Imam, salah satu muridku kelas V berkata, “Bu Anti, kelas VI tadi mencuri mempelam.”

Apê, Nak?” aku tak yakin dengan yang baru saja kudengar. Pandanganku yang awalnya tertumpu pada buku latihan soal, kini fokus ke arah Imam.

“Ya Bu, tadi lepas sekolah anak kelas VI ramai curi mêmpêlam kat mesjid.”

“Ramai? Sapê ajê, Nak, yang ikut mencuri?” Aku mulai gusar.

Semuê anak jantan kelas VI, Bu, kecuali Arul.” Arul adalah salah satu anak istimewa yang memiliki kekurangan fisik tetapi hal itu tak menyurutkan semangatnya belajar dan bersekolah.

“Jadi, Afis juga ikut, Nak?” tanyaku seketika pada Afis, murid kelas VI, yang saat itu duduk di kursi sebelah Imam.

“Ramai kok, Bu, yang ikut,” jawab Afis mencoba membela diri.

“Afis tahu kan, mencuri itu perbuatan tak baik?” Afis hanya diam, tak ada jawaban, “Kalau begitu nanti malam tak ada les untuk anak kelas VI, sampai kalian semua tak mencuri lagi.” Kataku memutuskan tanpa pikir panjang.

Para guru di sekolah pernah berkata jika anak kelas VI tahun ini adalah yang paling bandel, susah diatur, dan suka berkelahi. Karena itulah aku ingin mengubah citra kelas VI agar menjadi baik di mata guru-guru. Namun, perbuatan mereka kali ini membuatku sangat kecewa. Aku ingin anak-anak itu sadar jika perbuatannya salah, sehingga perlu cara untuk memberikan pengertian pada mereka. Sayangnya, mencuri mempelam—sebutan orang Melayu untuk menamai buah mangga—telah menjadi kebiasaan anak-anak di desa penempatanku, dan telah dianggap wajar. Aku tak ingin mereka tumbuh dengan pengertian yang salah sehingga mereka menjadi terbiasa dengan mencuri, termasuk mencuri buah mempelam.

Sorenya aku pergi ke rumah Anik, siswa yang pernah mengikuti ajang konfa Bobo dan seminar keselamatan jalan tingkat nasional di Jakarta. Selain untuk menjaga jarak sejenak dari anak-anak kelas VI, aku berniat mendampinginya menulis cerpen untuk dilombakan dan menginap di sana. Kuajak Anik ke kedai desa sebelah agar ia mendapat suasana yang berbeda untuk dapat menulis. Sepulangnya ke rumah Anik, kulihat anak-anak kelas VI yang membawa tas dari jalan gang rumah keluarga angkatku. Saat sampai rumah Anik, ibunya bercerita padaku kalau tadi beberapa anak mencariku ke sana. Sedih mendengarnya. Namun sekali lagi, apa yang kulakukan justru karena aku peduli dengan mereka. Maka malam itu kutulis surat untuk anak-anak.

Keesokan harinya, anak kelas VI try out Matematika. Kebetulan aku menjadi pengawas saat itu. Sembari menunggu mereka mengerjakan soal, kulanjutkan menulis surat untuk mereka. Ketika mereka mengumpulkan lembar jawab ke meja, satu per satu kuberi mereka surat yang berisi tentang hari-hari mereka, obrolan denganku, perkembangan belajar, kesukaan mereka, cita-cita, harapanku untuk mereka, hingga terakhir nasehat tentang apa yang telah mereka lakukan. Sambil menunggu jam istirahat, mereka membaca surat itu. Lalu, tanpa kusangka sebelumnya, mereka maju menghampiriku bersama-sama. Seorang murid mendekat dan mengulurkan tangan.

“Bu Anti, saya minta maaf sudah membuat Ibu kecewa. Saya berjanji tidak akan mencuri mempelam ataupun mengambil barang apapun yang bukan milik saya,” ujar Do yang kemudian diikuti anak-anak lain.

Beberapa anak bahkan langsung membalas surat yang kuberikan setelah meminta maaf dan berjanji tak akan mencuri lagi. Terselip perasaan lega usai mereka berjanji. Meski aku tak dapat memastikan, setidaknya mereka punya niatan yang baik untuk berubah.

Dua hari berikutnya saat aku masuk ke kelas VI lagi, kutemukan sebuah kejutan manis. Sebuah frame kecil berada di atas meja guru dengan tulisan, ‘Kami sayang Buk Anti’. Kalimat tulus dari anak-anak yang membuat hatiku luluh.

“Siapa yang menulis ini, Nak?” tanyaku pada murid yang duduk di deretan bangku depan.

“Kami semua, Buk...” jawab anak-anak serentak. Ah, mereka memang pandai mencuri hati.

Senyumku belum sepenuhnya hilang sampai ada seorang murid yang menghampiriku, “Bu, ini kertas Bu Anti saya kembalikan, kemarin saya ambil diam-diam,” ujar Roni saat aku sedang merapikan buku anak-anak yang mengumpulkan tugas.

“Ya sudah pakai saja, Ron.”

“Tidak, Bu. Saya tidak berani karena sudah janji sama Bu Anti tak akan mencuri lagi.” Aku terdiam sejenak karena rasa haru mendengar pengakuan muridku.

Anak-anak nakal bukan untuk dipersalahkan, tetapi diarahkan menjadi baik. Mereka hanya perlu kesempatan dan perhatian. Tak mudah mengubah karakter mereka, kecuali bagi yang mau berusaha, seperti Roni. Dari surat sederhana dan jabat tangan hari itu, semoga mereka selalu ingat bahwa: ‘Meski di depan mata, jika barang itu bukan milik kita, mata tak patut kita mengambilnya tanpa izin pemiliknya’. Semoga kelak kalian menjadi orang-orang yang berhasil dan jujur ya, Nak.

***

Ketamputih, 21 Maret 2015 


Cerita Lainnya

Lihat Semua