Afis pun Jadi Suka Menulis

DaryantiSeptiyani 29 September 2015

Namanya Muhammad Yafis. Ia duduk di kelas VI Sekolah Dasar. Sebelum mendapat kesempatan mengajar di kelas VI, aku tak terlalu mempedulikan anak itu meskipun setiap pulang sekolah ia suka menungguku di dekat tempat parkir motor. Terkadang, diam-diam ia duduk di jok belakang sebelum akhirnya aku selalu menyuruhnya turun. Saat itu aku hanya fokus dengan siswa-siswi kelas IV karena menjadi wali kelas mereka.

Sekitar beberapa minggu berlalu, aku mendapat kesempatan mengajar kelas VI dengan mata pelajaran Bahasa Indonesia. Di hari pertama mengajar, aku ingin mengetahui kemampuan baca, tulis, dan ketepatan penggunaan tanda baca anak-anak yang tak lama lagi akan lulus SD. Dari 21 orang siswa, ada empat orang yang ejaannya belum benar. Muhammad Yafis adalah satu di antara anak dengan ejaan tulisan yang paling tak dapat dibaca. Mengherankan memang, kelas VI belum pandai membaca dan masih salah menulis ejaan kata. Namun jika melihat tingkah Afis yang tak dapat duduk tenang selama di kelas, mungkin wajar jika ia belum dapat lancar membaca dan menulis.

Saat teman-temannya mengerjakan tugas, ia justru melamun atau jalan-jalan ke bangku lain. Selain biang onar di kelas, hampir setiap hari ia selalu dipanggil ke kantor guru karena berkelahi dengan siswa lain. Sebagian guru-guru dibuat mengeluh menghadapi Afis, tetapi sebagian lainnya berusaha memaklumi karena kondisi orang tuanya yang sudah bercerai. Ia tinggal bersama ayah dan neneknya, sedangkan ibunya sudah menikah lagi dan mempunyai anak serta tinggal di desa yang sama. Mungkin karena kondisi tersebut, pendidikan dan sikap Afis menjadi kurang mendapat perhatian dari orang tuanya. Entah mengapa, Afis juga jarang terlihat bermain dengan teman-teman sebayanya.

Beberapa permasalahan Afis dan kondisi keluarganya membuatku tertarik untuk dapat mengenal anak itu lebih dekat, dan bagai gayung bersambut, suatu malam anak itu  naik sepeda menghampiriku. Itu adalah pertama kalinya ada anak muridku yang datang di malam hari ke rumah. Padahal rumah hostfam yang aku tempati berada di ujung desa dan perjalanannya harus melewati hutan yang cukup panjang serta tanpa penerangan lampu.

“Assalammu’alaikum. Bu Anti! Bu Anti!” panggil sebuah suara dari depan rumah ketika aku masih bersiap-siap di kamar. Aku pun segera keluar dan terheran melihat anak kelas III datang malam-malam. Saat kutanya ia dengan siapa, ia menjawab dengan Afis.

“Terus, mana Afisnya?” tanyaku. Lalu perlahan anak itu muncul sembari tersenyum malu-malu, ia bangkit dari jongkok dan keluar dari balik sepeda lalu menyapa. “Halo Ibu Anti. Ibu tak melihat MTQ di masjid?” tanyanya. Sejak saat itu, sedikit demi sedikit aku mulai mengenal sisi lain kehidupan Afis, salah satu muridku yang kata orang adalah biang onar, tapi aku yakin semua itu beralasan.

Sampai suatu hari aku tak dapat pergi ke sekolah karena harus ke Bengkalis kota untuk bertemu dengan orang-orang Dinas Pendidikan dan DPRD membahas tentang keberlanjutan dan wahana FGIM 2015. Hingga siang hari urusan di kota kabupaten baru selesai, dan kembali di Ketam Putih menjelang Maghrib. Hanya ada waktu istirahat sebentar, sebelum anak-anak ramai datang untuk les pukul 19.00. Afis adalah salah satu anak yang tak pernah absen. Ketika aku sedang menjelaskan cara menjawab soal Matematika ke anak lain, Afis menyodorkan kertas padaku. Sembari tersenyum malu, ia memintaku untuk membacanya.

'Ibu tidak penat? Semoga tidak penat.’

‘Ibu, Afis sayang sama Ibu Anti.’

Itulah kalimat yang kutemukan dalam lembaran kertas manila putih dengan tinta spidol warna hijau yang membuatku tertegun sejenak karena rasa haru. Afis yang selama ini tak pandai menulis, Afis yang selama ini dinilai sebagai anak bandel, pembuat onar, dan malas, menulis surat yang membuat hati bergetar.

Selain rajin datang les malam, Afis juga sering datang sepulang sekolah untuk belajar membaca dan menulis. Salah satu metode yang kupakai untuk melatihnya rajin membaca dan menulis adalah dengan berbalas surat. Metode yang disarankan oleh seorang kawan Pengajar Muda penempatan Sekodi. Dari situ Afis menjadi bersemangat belajar, bahkan sering menanyakan surat dariku jika aku belum sempat membalasnya.

Dari kedekatan itu pula, Afis menjadi salah satu anak murid yang dapat diandalkan. Ia suka membantu guru-guru berkebun termasuk mencangkul di sekolah ataupun tugas lain yang dapat ia kerjakan seperti angkat meja dan kursi, serta tak lagi jadi siswa yang sering dipanggil ke kantor karena berkelahi. Selain itu, salah satu hal yang paling membanggakan adalah Afis mulai mau, bahkan senang mengerjakan soal sendiri tanpa mencontek. Ada tawa riang saat ia berhasil menjawab soal dengan benar atas kemampuannya sendiri. Apapun yang dikatakan orang-orang tentang kelakuan buruk Afis, aku yakin bahwa anak itu dapat diarahkan menjadi anak yang lebih baik, membanggakan orang tuanya, dan dapat mewujudkan cita-citanya menjadi pemilik bengkel atau bahkan lebih dari itu.

Terima kasih, Nak. Penat Ibu seketika hilang karena Afis mau belajar.

***

Ketamputih, 10 Maret 2015


Cerita Lainnya

Lihat Semua