info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Harapan (dari) Pagar Selatan

Darul Syahdanul 25 Agustus 2012

Tu'U merupakan budaya yang turun temurun telah diwariskan oleh suku-suku yang ada di kabupaten Rote Ndao. Suku di Rote Ndao sendiri berjumlah 19 yang pada awalnya berjumlah 20 (cerita pembantaian satu suku ini belum lengkap aku dapatkan). Pada praktiknya Tu'U merupakan salah satu kegiatan riil gotong royong di tengah masyarakat, gotong royong disini bentuknya dalam hal pelaksanaan pesta (pesta adat, pernikahan, bahkan kematianpun disebut pesta di sini). Hari ini (8 Juli 2012) saya ngobrol dengan bapak angkatku (namanya Yusuf Boboy), karena pagi ini bapak terlihat tidak seperti biasanya. Dia tampak kurang semangat dan agak berat menyelesaikan pekerjaan membuat ranjang dan pintu pesanan dari orang. Ketika ku hampiri dan memulai obrolan ternyata yang membuatnya gelisah adalah banyaknya agenda Tu'U akhir-akhir ini dalam keluarga bapak. Tu'U sendiri dilakukan oleh kerabat yang masih punya hubungan darah, saya juga tidak mengetahui secara mendalam sampai mana batasan silsilah dalam keluarga yang di undang atau dilibatkan dalam prosesi Tu'U.

Bapak memulai dengan perkataan "Tu'U ini lingkaran setan", aku langsung terperanjat kaget dan sedikit mengerutkan dahi. "kenapa bapak bilang (ngomong) seperti itu?" tanyaku untuk mengetahui lebih jelas. "Karena Tu'U ini su (sudah)  banyak sonde (tidak)  digunakan dengan  baik sama orang". Kemudian bapak menjelaskan tentang beberapa kasus yang memanfaatkan budaya itu menjadi sesuatu yang menguntungkan secara pribadi (keluarga). Sejak revitalisasi budaya Tu'U untuk pendidikan digalakkan pemerintah medio 2008/2009, perlahan-lahan masyarakat rote sudah mulai sadar dan mengurangi Tu'U untuk pesta pora. Selain karena aku lihat di spanduk-spanduk yang berseliweran di pinggir jalan, juga ketika cerita dengan bapak-bapak yang ada di sini (Desa Oenitas) mereka juga mulai memahami pentingnya investasi di bidang pendidikan. Menurut Tonce (Kawan Guru yang Alumni UNESA), cara pandang masyarakat saat ini sudah jauh berubah jika dibandingkan ketika iya masih SD dulu (sekitar tahun 1994-2000). Dulu ketika berangkat sekolah, dia dan kawan-kawannya sering di teriaki oleh orang-orang tua yang sedang iris lontar ¹ "hei... Lu (kamu) mau jadi apa ? Ke Sekolah bekeng (bikin/membuat) abis do'i sa (menghabiskan uang saja)". Hal tersebut membuktikan 18 tahun lalu pulau ini masih jauh dari pendidikan jika dibandingkan dengan daerah-daerah lain di negeri ini.

Namun siapa sangka, seiring waktu berjalan orang-orang di Desa Oenitas mulai berubah pikiran. Hal ini terjadi ketika tahun 2003-2005 ada beberapa anak di sini yang berani merantau ke Kupang bukan untuk mencari pekerjaan seperti kebanyakan pemuda di sini, tetapi dia merantau untuk memperoleh pendidikan yang lebih tinggi di pulau seberang. Apatah lagi 4 tahun kemudian mereka sudah lulus dan mendapatkan pekerjaan baru² di negeri orang, ada yang jadi pegawai bank, polisi, guru, dan PNS. Sejak itu masyarakat di sini sudah mulai berani untuk investasi di bidang pendidikan, mereka percaya jika pendidikan akan merubah nasib generasi mereka menjadi lebih baik. Hal tersebut menurut Pak Tonce bisa di lihat dengan kalimat yang sering dilontarkan sebagian besar orang tua jika melihat anaknya malas ke sekolah. Mereka sering mengatakan "kalau lu malas ke sekolah lu mau jadi pemanjat lontar, na ???", apatah lagi medio 2009 kemarin dilakukan deklarasi untuk revitalisasi budaya (dalam hal ini Tu'U).

Deklarasi tersebut di hadiri oleh Dewan Adat Rote Ndao yang di ketuai oleh bapak John Ndolu, seluruh camat, kepala desa, tetua-tetua adat, dan pejabat birokrasi (Bupati dan Jajarannya), untuk mendeklarasikan "Tu'U untuk pendidikan". Dimana dalam pengejawantahannya di masyarakat dilakukan dalam bentuk patungan (dalam bentuk uang) keluarga, untuk membiayai pendidikan anak-anaknya yang akan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Tu'U Pendidikan sendiri hanya dilakukan satu kali untuk satu anak, olehnya itu biasanya keluarga memperhatikan betul kapan momentum yang tepat untuk melaksanakan upacara ini. Namun sayangnya menurut bapak, kadang ada orang tua yang memaksakan dan memimilih momentum yang kurang tepat sehingga dana hasil Tu'U sepenuhnya tidak digunakan dengan tepat. Entah sang anak tersebut berhenti sekolah atau kadang-kadang disalahgunakan oleh orang tua itu sendiri. Bukan resah dengan budayanya tapi bapak merasa kurang puas dengan oknum-oknum yang mulai memanfaatkan budaya untuk kepentingan pribadi.

Namun terlepas dari itu semua, Rote Ndao secara umum sepertinya mulai menyadari tentang arti pentingnya pendidikan. Mereka mulai sadar, jika sudah saatnya mereka merantau ke negeri nun jauh untuk menyerap ilmu pengetahuan sebanyak-banyaknya. Adat dan budaya pun sudah mereka sesuaikan dengan kebutuhan zaman, walaupun sepertinya butuh proses panjang dan pembelajaran yang tak kenal lelah agar permasalahan penerapan tak mengalami pembiasan. Selain adat dan budaya, dapur (sekolah) mereka juga mulai berbenah, mulai menata dan menambal kekurangan di sana sini. Semoga dengan hadirnya Indonesia Mengajar selama 5 tahun di Bumi Ti'I Langga dapat mempercepat kemajuan kualitas pendidikan. Satu tahun telah di lalui Pengajar Muda Angkatan II di sini, satu anak tangga telah terlewati. Dimana sepuluh anak muda tersebut telah memperkenalkan dengan nyata Indonesia Mengajar dengan masyarakat Rote Ndao. Hal itu terbukti dengan pernyataan salah satu LSM yang telah bergerak di daerah ini selama kurang lebih 15 tahun, mereka mengatakan "IM melakukan pendekatan yang berbeda dengan kami, kalian lebih mengenal langsung dan dapat memastikan apa yang terjadi di tengah-tengah masyarakat". Sepuluh anak muda telah membuat pondasi yang kokoh, bagi generasi  kedua Indonesia Mengajar yang berjumlah sembilan orang. Semoga setahun di sini dapat berbuat yang terbaik dan mempermudah pencapaian cita-cita pendidikan Ibu Pertiwi.

 

Catatan:

1. Iris Lontar : Mengambil sari (nira) pohon lontar untuk di masak dan dijadikan gula air (gula merah cair) atau gula lempeng (gula merah bentuknya pipih dengan diameter 5-8 cm).

2. Karena selama berpuluh-puluh tahun di Oenitas pekerjaan yang mereka tahu adalah panjat pohon Lontar, Bercocok Tanam, atau mengembala domba, sapi atau Kerbau). Sangat sedikit yang melanjutkan kuliah ke jenjang yang lebih tinggi.


Cerita Lainnya

Lihat Semua