Akibat Kapur Warna

Dwima Rizky Rudjito 24 Agustus 2012

 

Awalnya, aku menggunakan kapur berwarna hijau untuk mengajar materi pesantren ramadhan di kelas 6 yang dicampur dengan kelas 5. Murid-murid kelas 6 pun kaget dan bilang kalau kapurnya berwarna, biasanya Cuma warna putih saja yang mereka lihat dan gunakan. Aku jawab saja dengan santai kalau sekali-kali ganti warna gak apa-apa kan? Biar gak bosen. Memang kelas 6 ini sulit diatur, mereka sibuk bercanda satu sama lain dan berteriak-teriak dengan tidak jelas mengejek satu sama lain. Aku pikir wajar lah namanya juga anak-anak. Aku pun mengajar materi sampai jam 10, sebab selama pesantren ramadhan para murid-murid hanya belajar pelajaran Pendidikan Agama Islam, bisa praktek atau teori. Aku mengajarkan tentang materi kitab-kitab yang wajib diimani dalam agama Islam. Aku senang karena mereka terlihat antusias dengan permainan puzzle yang aku berikan, ya bermain sambil belajar. Lusa harinya, pagi itu aku datang ke sekolah untuk mengajar murid-murid kelas 5. Bel pun berdentang, aku masuk kelas. Waktu aku mencari kapur kok tidak ada? Aku bingung karena aku ingat betul kalau aku selalu menaruh kapur di laci meja kerjaku. Aku bertanya kepada 4 orang muridku, “kalian ada yang melihat kapur? Kok di laci bapak ini tidak ada ya?”, ujarku. Jumrah menjawab “ada pak, disitu pak kapurnya.” Ternyata kapurnya ada dibelakang papan tulis, kapur tersebut ditaruh olehnya. Aku jadi heran biasanya tidak ditaruh disana. Aku bertanya “kenapa kapurnya ditaruh disana?”, Jumrah menjawab katanya tadi anak-anak kelas 6 memaksa minta kapurnya dan mengambilnya. Wah ini sih mirip premanisme aja, pikirku. Lalu murid-muridku yang lain menimpali “iya pak, anak kelas 6 maksa-maksa terus ngambil kapurnya, jadinya kami taruh di belakang papan tulis pak kapurnya”, kata Rahman. Spontan aku langsung berdiri dari tempat dudukku, lalu aku menuju ruangan kelas 6 di samping. Ternyata ibu kepala sekolah sedang ngajar mereka. Karena aku merasa tidak enak kalau menginterupsi kelasnya, aku pun masuk ke kelasku dan mulai mengajar.

Ketika anak-anak kelas 5 mengerjakan soal Matematika yang aku berikan, aku keluar kelas dan masuk ke kelas 6 yang kebetulan ibu kepala sekolah sedang ke kantor. Aku masuk dan langsung bertanya “siapa yang mengambil kapur warna dari kelas 5?, ayo cepat mengaku kalau tidak kalian semua satu kelas akan bapak jemur sampai shalat jum’at”, aku berkata demikian. Kegaduhan pun terjadi, mereka saling menyalahkan satu sama lain. Aku langsung berusaha capturing attention dengan melebarkan telapak tanganku dan aku memukulkannya ke meja (aku tahu mungkin ini tidak sesuai dengan metode yang aku dapat ketika training, tapi kenyataannya tidak seindah waktu training), kelas pun bisa terkendali untuk beberapa saat. Aku bicara lagi dengan suara yang agak tinggi lagi “ayo cepat mengaku, kalian tidak merasa bersalah?, kalau begitu sekarang semuanya cepat berdiri”. Mereka pun tambah gaduh lagi, suasana panik dan aku melihat raut wajah yang tidak mau disalahkan. Aku harus bisa mengubah kebiasaan ini, pikirku. Mereka pun belum mau mengaku, aku pun capturing attention lagi dengan cara memukul papan tulis dengan telapak tanganku. Kali ini benar-benar diam mereka semua. Akhirnya satu orang murid perempuan berdiri, namanya Nadia. Dia pun maju dan berdiri di sampingku. Aku mengulangi perkataanku lagi untuk bertanya kepada mereka “ayo, cepat ngaku siapa lagi? bapak tahu tidak mungkin hanya 1 orang”, teriakku. Akhirnya satu murid perempuan lagi berdiri. Beberapa orang murid menyalahkan Roy, bisa dibilang dia pentolan di kelas 6 ini.  Roy pun mengelak dia bilang kalau dia tidak ikut-ikutan. Aku bertanya sama Roy, “Roy, kamu ngambil kapur juga?”. Murid lain dengan bersikukuh mengatakan kalau Roy juga ikut, bahkan dia yang paling semangat. Aku terus bertanya dan terus memojokkannya, akhirnya aku memintanya untuk berdiri. Semua murid akhirnya berdiri, kecuali 2 orang yang mengaku tidak mengambil kapur. Aku menasehati mereka agar tidak melakukan hal itu lagi. Roy masih bisa bercanda dalam keadaan seperti ini, sekali, dua kali dan tiga kali aku memanggil namanya dengan pelan untuk berdiri dengan benar. Akhirnya aku berteriak dengan keras, “Roy, berdiri yang benar!, kamu mau bapak jemur sampai shalat jum’at selesai?, dia menjawab “ndak mau pak, kalo begitu nanti bapak dosa karena saya jadi ndak sholat jum’at”, aku balas “ kalau begitu kamu mau berdiri?”, dia menjawab “tapi kalau sama pak Jaka ndak seperti itu pak”, aku pun menimpalinya dengan ucapan “ya itu sama pak Jaka, sekarang saya bukan pak Jaka, jadi kalian harus menuruti semua ucapan saya”. Akhirnya Roy pun diam dan berdiri dengan benar. Aku memberikan nasihat kepada mereka, bla..bla..bla aku mengoceh dengan tujuan agar setidaknya mereka sadar kalau tindakan yang mereka lakukan adalah salah. Aku juga memberikan ultimatum agar mereka menggunakan sepatu ketika berangkat ke sekolah.

Aku memberikan hukuman kepada mereka untuk membersihkan kelas dan menulis kalimat “Saya tidak akan mengambil kapur lagi” pada selembar halaman kertas ukuran buku tulis. Terlihat jelas mereka kesal dengan kelas 5 dan kesal denganku. Aku tidak peduli, ini semua aku lakukan untuk kebaikan mereka. Akhirnya aku keluar kelas dan bertemu dengan ibu kepala sekolah. Aku bilang kalau aku habis menghukum kelas 6 karena mereka mengambil paksa kapur dari anak-anak kelas 5. Pun aku julaskan bahwa bukannya aku pelit, tapi aku tidak mau hal tersebut terulang lagi. Ibu kepala sekolah pun mengiyakan tindakanku dan berkata bahwa memang harus dibegitukan, aku pun masuk kelas 5 dan melanjutkan mengajar.

 

*****

 

Sebenarnya dalam hati kecilku ini tidak ingin menghukum murid-murid. Apa boleh buat, semuanya aku lakukan untuk mendisiplinkan mereka. Aku melihat bahwa mereka sangat liar dan tidak mengenal apa yang namanya sopan santun. Mereka biasa berkelahi, murid laki-laki biasa memukul murid perempuan. Bahkan mereka tidak menghiraukan perkataan guru-guru yang lain. Guru-guru pun kewalahan menghadapi murid-murid kelas 6. Aku hanya ingin membantu memperbaiki atitude mereka. Kalau mereka terus dibiarkan seperti itu aku tidak tahu akan jadi apa mereka kelak. Dibalik sifat mereka yang seperti itu, aku pun yakin dan percaya bahwa mereka hanyalah anak-anak. Anak-anak dianggap wajar kalau melakukan kenakalan, tetapi kalau tidak diluruskan nantinya mereka akan terbiasa dengan hal itu. Aku juga meyakini bahwa tidak ada eksistensi kenakalan dalam diri anak-anak. Untuk itu perlu ada yang membimbing mereka, perlu ada yang menemani mereka. semenjak kejadian itu, aku lihat murid-murid kelas 6 tambah segan dan takut denganku. Aku pun mengambil kesimpulan bahwa setahun kedepan aku akan mencoba membimbing mereka, aku mencoba menjadi guru yang baik untuk mereka, ketika mereka salah aku akan menegur, dan yang paling penting DISIPLIN HARUS DITEGAKKAN. Setahun kedepan akan menjadi awal permulaan dari ditegakkannya disiplin. Mungkin akan berat, tapi kalau nggak sekarang terus kapan lagi?


Cerita Lainnya

Lihat Semua