Ta'iye!

Danang Aditya Nizar 11 Maret 2015

‘Terusik’ mungkin adalah kata yang paling mewakili saat membaca tulisan rekan sepenanggungan di ujung Timur Indonesia. Betapa indahnya keberagama(a)n yang tumbuh dan dirawat sebegitu rupa di Kabupaten Fakfak, sehingga menghasilkan sebuah keharmonisan yang menjadi pengingat bahwa (ternyata) di lipatan Ibu Pertiwi nun jauh di sana, masih ada yang menjadikan kemanusiaan sebagai pedoman kehidupan. Seluruh keindahan tersebut pun berawal dari sebuah filosofi yang sangat sederhana: Satu Tungku, Tiga Batu. Tidak terdengar semegah Bhinneka Tunggal Ika mungkin, namun yang jelas sangat aplikatif dan memiliki tujuan yang persis sama dengan semboyan Ibu Pertiwi; karena pada akarnya Bhinneka Tunggal Ika memang berbicara mengenai agama, toh?

Lain padang, lain ilalang katanya. Lain lipatan, lain pula kondisinya. Bagi daerah yang tidak memerlukan ‘tiga batu’, keindahan semacam di Fakfak akan secara otomatis terasa absen. Bahkan sebagian masyarakatnya sangat bangga dengan fakta bahwa mereka hanya memerlukan ‘satu batu’. Entah apa yang indah dari satu batu, namun yang pasti, mereka bangga. Maka saat ada orang lain yang perlu menggunakan ‘batu lain’ maka serta merta orang itu akan diminta untuk mencari ‘tungku lain’ pula. Pemahaman yang sudah mengakar ini pun diamini oleh hampir seluruh lini usia, mulai dari yang terkecil. Walaupun setiap lambang Garuda yang terpampang di ruang kelas dapat dipastikan masih lengkap tulisannya—bukan hanya Tunggal Ika, namun masih ada Bhinneka-nya—namun mengafirkan orang lain adalah yang wajar bagi anak-anak. Merasa jijik, dan dilontarkan secara frontal, karena orang lain makan babi juga menjadi bagian dari keseharian. Terkesan tidak sopan dan tidak toleran? Sepertinya tidak juga, karena yang terjadi sebenarnya hanyalah anak-anak yang menjalankan tugasnya, menjadi sebuah cermin kejujuran terhadap kondisi masyarakat. Maka saat anak-anak diberi sebuah pertanyaan provokatif seperti, “Apa yang akan kalian lakukan apabila guru pengganti Bapak nanti beragama selain Islam?” jawaban yang dilontarkan pun cukup provokatif (baca: jujur) pula;

“Saya tidak akan menaati guru tersebut karena ia tidak sembahyang.”

“Saya akan mengajaknya ke masjid untuk sembahyang dan mengaji.”

Intinya, pakai ‘batu saya’ atau cari ‘tungku lain’. Demi menularkan keindahan yang terjadi di Fakfak, perlahan pemahaman tersebut coba untuk dikembalikan lagi kepada anak-anak, dengan dasar logika yang sebetulnya sangat sederhana: kalau tidak ingin diperlakukan seperti itu, ya jangan memperlakukan orang seperti itu.

Guru: “Orang Hindu tidak makan sapi loh, sementara kalian makan. Kalian mau dibilang jijik oleh mereka?”

Siswa: “Tidak! Padalah sapikan nyaman (enak), Pak?!”

Guru: “Ya kata mereka babi nyaman kean (enak juga) Nak!”

Selain itu, anak-anak juga coba dibiasakan untuk lebih mengenal kebiasaan agama lain; mulai dari kegiatan ibadahnya sampai kepada hari besarnya. Saat Hari Raya Imlek di depan mata, segala aspek yang berhubungan dengan Imlek pun sengaja diakrabkan dengan anak-anak melalui kegiatan pembelajaran; seperti penggunaan artikel tentang Imlek dalam pelajaran Bahasa Indonesia dan penyertaan kelenteng sebagai tempat ibadah saat pembahasan Tata Guna Lahan dalam pelajaran Pendidikan Lingkungan Hidup. Dengan semangat, anak-anak membuat topeng barongsai yang diwarnai sedemikian rupa dan dihias menggunakan benang dan kapas. Tak ada rasa canggung dan sungkan saat mereka memamerkan hasil karya masing-masing untuk memeriahkan perayaan ‘tungku yang lain’; karena sejatinya yang seperti itu terlalu rumit bagi mereka, sementara kita—yang merasa dewasa—senang melibatkan mereka ke dalam yang rumit itu. Maka yang ada hanyalah kebahagiaan dan kebanggaan, saat menyaksikan anak-anak dengan lantang dan riang menyerukan Gong Xi Fa Chai, ta’iye*!

Tanjung Slamet, 10 Maret 2015

 

*Ta’iye adalah frasa khas Madura yang digunakan untuk memastikan atau memberikan penekanan, mirip dengan penggunaan frasa ‘iya kan’ dalam Bahasa Indonesia


Cerita Lainnya

Lihat Semua