info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Surat Terbuka untuk Wakil Presiden Republik Indonesia

Danang Aditya Nizar 29 Agustus 2014

Surat terbuka ini adalah inisiatif dari Ibu Mardiyah Chamim, Direktur Tempo Institute, sebagai bentuk tindak lanjut dari kerja sama antara Tempo Institute, Pengajar Muda VIII penempatan Pulau Bawean dan Sekolah Tinggi Agama Islam Hasan Jufri Bawean. Kami berencana mengundang Pak Boediono untuk membacakan suratnya yang tertuang dalam buku "Surat dari dan untuk Pemimpin" di Pulau Bawean, sebagai bentuk penyemangat yang nyata agar kaum muda Bawean terus berproses untuk lantas 'Menjadi Indonesia'.

 

Tanjung Slamet, 4 Agustus 2014

Pak Boediono yang sangat saya hormati,

Tepat sudah 54 hari semenjak Bapak melepas Pengajar Muda VIII di Istana Wakil Presiden menuju ke ‘medan peperangan’ kami masing-masing, dan kebetulan medan saya berada di Pulau Bawean, Kabupaten Gresik. Banyak yang mengatakan bahwa saya harus bersyukur betul mendapat penempatan di Pulau Bawean, karena kondisi infrastrukturnya sudah sangat memadai bila dibandingkan dengan penempatan lain. Bahkan—dengan alasan yang persis sama—ada juga yang mengatakan bahwa seharusnya saya malu berada di Pulau Bawean. Seperti melihat gelas yang diisi air separuhnya lantas mengatakan half full or half empty ya, Pak?

Tapi di luar itu semua, saya menemukan sebuah anomali dari pulau yang sering dijuluki Pulau Putri ini; yaitu ikatan yang sangat erat (baik itu ikatan emosional maupun finansial) dengan negeri jiran kita, Malaysia. Ikatan yang sangat kuat tersebut—apabila tidak ingin dikatakan sebagai sebuah ketergantungan—telah terjalin sekian lamanya sampai melompati belasan generasi. Sebagai gambaran, bahkan lawan main maestro serba bisa asal Malaysia, P. Ramlee, dalam film ‘Pendekar Bujang Lapok’ tahun 50-an adalah warga Bawean. Pemain sepak bola tim nasional (timnas) Malaysia dan Singapura pun beberapa diisi oleh putra Bawean. Maka tak heran, apabila saya lebih sering melihat anak-anak bersliweran menggunakan kaos timnas Malaysia dan Singapura ketimbang kaos merah-putih.

Menjadi sebuah kewajaran di sini bagi anak-anak untuk pergi merantau menjadi buruh migran di Malaysia selepas SMP dan SMA. Menjadi wajar pula bagi para ibu hamil untuk berlomba-lomba melahirkan bayinya di Malaysia agar secara otomatis mendapatkan identity card Malaysia; atau orang sini biasa menyebutnya dengan IC. Sayangnya, ‘tradisi’ yang telah berjalan selama hitungan abad ini hanya menghasilkan pekerja kerah biru. Namun—laiknya kredo half full/half empty tadi—perjuangan mereka di negeri jiran bukan tanpa hasil positif. Coba Bapak tengok kemari. Apabila disandingkan dalam foto saja, mungkin akan sulit bagi Bapak untuk membedakan mana kondisi di Pulau Bawean mana Pulau Jawa. Kondisinya tidak menggambarkan kondisi pulau yang untuk mencapainya saja harus mengarungi lautan selama 10 jam dari Pelabuhan Gresik dan akan terputus apabila cuaca tak bersahabat. Di tengah segala keterbatasan tersebut, warga Bawean tetap dapat mengejar ketertinggalannya secara swadaya. Bukan dari ‘pekarangan depannya’ (Gresik), tapi justru dari hasil mengais ‘rumah’ orang lain.

Maka Pak Boed, bagi saya ini bukanlah perkara mengenai ‘Rupiah vs. Ringgit’ ataupun ‘Malaysia di perutku, Garuda di dadaku’; tapi jauh lebih dari itu. Fenomena sosial ini telah begitu mendarah daging sampai-sampai saya takut pemuda-pemudi Bawean lupa cara ‘menjadi Indonesia’. Kalimat penutup di surat Bapak pada buku ‘Surat dari dan untuk Pemimpin’ masih terngiang di benak saya. “Selamat menunaikan tugas sejarah kalian”, kata Bapak. Kalimat tersebut terasa begitu akrab merangkul. Apalagi, mengutip Goenawan Mohamad dalam buku yang sama, “Menjadi Indonesia juga berarti menjadi-Indonesia-bersama-orang-Indonesia-lain”. Saya pun bermimpi, suatu saat Bapak dapat secara langsung menyampaikan kalimat tersebut kepada pemuda-pemudi Bawean; agar mereka sadar bahwa mereka juga adalah bagian dari ‘kalian’, bagian dari pemimpin masa depan. Karena jangan-jangan, yang mereka butuhkan hanyalah sekedar rangkulan, untuk menjadi Indonesia. Semoga.

 

Salam hangat,

Danang Aditya Nizar


Cerita Lainnya

Lihat Semua