Surat Terbuka Untuk Pak Boediono

Sonya Winanda 29 Agustus 2014

Surat terbuka ini adalah inisiatif dari Ibu Mardiyah Chamim, Direktur Tempo Institute, sebagai bentuk tindak lanjut dari kerja sama antara Tempo Institute, Pengajar Muda VIII penempatan Pulau Bawean dan Sekolah Tinggi Agama Islam Hasan Jufri Bawean. Kami berencana mengundang Pak Boediono untuk membacakan suratnya yang tertuang dalam buku "Surat dari dan untuk Pemimpin" di Pulau Bawean, sebagai bentuk penyemangat yang nyata agar kaum muda Bawean terus berproses untuk lantas 'Menjadi Indonesia'.

 

                                                                              Panyal Pangan, 4 Agustus 2014

Kepada Pak Boediono,

Salam hangat penuh senyum untuk Bapak dari anak-anak SD Panyal Pangan, Pulau Bawean.  Katanya mereka ingin sekali bertemu wakil presiden yang selama ini hanya mereka kenal lewat foto. Mata anak-anak yang belum genap sepuluh tahun itu berbinar-binar ketika saya bercerita pernah bertemu langsung dengan Bapak, bersalaman, dan diberi nasehat bak seorang Ayah.

Jika kelak ke sini, mereka berjanji akan membawa Bapak berkeliling Pulau Bawean nan indah. Ada yang namanya Lantong, air terjun dari pegunungan. Airnya sejuk dan segar. Barangkali Bapak ingin mencoba mandi di sana. Mereka tentu dengan senang hati menemani. Lalu ada yang namanya Pulau Noko Gili. Pulau tersebut tak berpenghuni, pasirnya putih bersih, dan airnya luar biasa jernih, tak kalah indah dari Pulau Bali kebanggan Indonesia. Itu hanya sebagian kecil karunia Bawean. Sebaiknya Bapak mendengar langsung lanjutannya dari mulut anak-anak Bawean. Lebih seru, Pak!

Namun, jika nanti Bapak benar-benar ingin berkunjung, persiapkanlah hati untuk kekecewaan karena Bawean adalah pulau tanpa kepastian. Kapalnya hanya ada tiga kali seminggu. Meski demikian, kapal hanya akan layar jika syahbandar menyatakan gelombang aman. Jika tidak, maka semilipun kapal tak akan beranjak. Begitulah pulau kami, Pak. Jika ada urusan mendadak maka bersiaplah untuk segala kemungkinan.

Dan, kemungkinan-kemungkinan itulah yang barangkali menutup kesempatan emas yang hanya lewat sekali dalam waktu yang tak diduga. Kebanyakan pemuda-pemudi di Pulau Bawean, khususnya di Desa Panyal Pangan tak pernah keluar dari Bawean.

“Saya takut layar, Bu. Lagipula untuk apa?”kata anak-anak di Panyal Pangan.

Begitulah, Pak. Akses yang tidak pasti untuk keluar dari pulau, cuaca Laut Jawa yang sulit ditebak serta akses informasi yang tidak lancar membuat anak-anak Bawean memilih diam di desanya. Sinyal sangat sulit ditangkap, apalagi ingin ber-internet ria. Sinyal hanya ada di tempat-tempat tertentu saja. Kalaupun ada pengetahuan baru, mereka hanya mendengar cerita-cerita indah dari saudara dan tetangga yang bekerja di Malaysia. Saat hari raya tiba, para perantau menghembuskan kisah manis negeri seberang.

“Kalau di Malaysia uangnya banyak, kerjanya mudah di dapat.”

Cerita keberhasilan tersebut disebarkan  turun-temurun. Sehingga dari generasi ke generasi, jika telah lulus SD (kadang-kadang SMP/MTS), putera-puteri Bawean bisa dipastikan memiliki cita-cita berjamaah, yaitu bekerja di Malaysia. Jenis pekerjaannya bervariasi, sepert menjadi buruh bangunan, supir, pembantu rumah tangga, apa saja. Maka gelar mahasiswa untuk putera-puteri Bawean adalah hal yang jarang terjadi, Pak.

Saya sebagai guru baru yang awalnya sangat ingin tahu bagaimana pendapat mereka tentang ‘menjadi Indonesia’, agaknya mulai cemas, Pak. Ketika saya bercerita bahwa saya berasal dari Sumatera Barat, mereka lalu bertanya, “Di Sumatera Barat presidennya siapa Bu?”

Saya tak punya harapan  yang muluk, Pak. Seperti kata Goenawan Muhammad, bahwa menjadi Indonesia adalah menjadi manusia yang bersiap memperbaiki keadaan, tetapi  bersiap pula untuk melihat bahwa perbaikan itu tidak akan pernah sempurna dan ikhtiar itu tidak pernah selesai.

Selain tetap menjadi guru yang baik, saya berharap Bapak berkenan datang kemari dan menghembuskan nafas pencerahan bagi generasi muda Bawean. Mereka akan melihat langsung sosok pemimpinnya, memperhatikan gerak-geriknya, berjabat tangan, dan mendengar kisah-kisahnya. Dengan demikian, semoga perlahan gagasan ‘menjadi Indonesia’ menjadi kata-kata yang berisi. Mereka akan mampu memaknainya sendiri, menjadi lebih dekat, dan memiliki Indonesia secara utuh. Bonusnya, anak-anak tersebut segera mengganti ‘Malaysia’ dari cita-cita agung mereka.

 

Salam Hormat,

Sonya Winanda


Cerita Lainnya

Lihat Semua