Siklus

Danang Aditya Nizar 25 Mei 2015

Topik Bawean dan budaya rantaunya ke Malaysia mungkin adalah cerita yang tak akan ada habisnya. Budaya yang bahkan—saking lamanya—telah sulit untuk dilacak asal muasalnya ini telah mempengaruhi segala lini kehidupan masyarakat Bawean, termasuk susunan keluarga. Mungkin hanya di Bawean, di mana pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial mengenai silisilah keluarga dapat menjadi ricuh. Ada yang lupa nama bapaknya, ibunya, hingga ada yang ribut karena merasa nama kakeknya dicatut oleh temannya; semacam tidak terima bahwa ternyata mereka adalah cucu dari kakek yang sama. Akhirnya—setelah melihat Pak Guru yang terbingung-bengong karena merasa terjebak dalam sengketa keluarga—usut punya usut ternyata siswi pencatut itu telah diambil anak oleh saudaranya sedari bayi, sementara orangtua aslinya sudah bercerai dan berada di Malaysia, dan saat ini Ibu angkat tersebut telah meninggal sehingga ia dirawat oleh keponakan si Ibu angkat. Silakan dibaca kembali kalimat tersebut karena memang sedikit membingungkan. Maka wajar saat siswi 9 tahun itu akhirnya (juga) kebingungan saat harus membuat pohon keluarga dan menyebutkan nama kakeknya. Namun dari seluruh kealpaan tersebut, ada satu nama yang biasanya tidak akan terlupa oleh para siswa: ‘Mbuk (nenek).

Terbiasa bekerja dalam skala makro, ternyata terkadang dapat membuat alpa terhadap yang mikro. Membaca dan menganalisa data, semua dipukul rata sehingga dapat terbentuk pola. Hingga lupa bahwa setiap data tersebut sebenarnya mewakili sebuah entitas manusia. Dalam setiap kalimat, ‘Mayoritas masyarakat Bawean merantau ke Malaysia’ ternyata banyak ‘mbuk yang masih harus mengurus cucunya di tengah hari senjanya. Dalam setiap statistik, ‘85% wali murid SDN 4 Tanjungori bekerja di luar Bawean’ ternyata banyak ‘mbuk yang masih menangis saat ditinggal anak dan menantunya berangkat ke Malaysia, walaupun momen tersebut mungkin sudah mereka lewati lebih dari puluhan kali. Bahkan menjadi hal yang lumrah saat seorang anak lebih memilih untuk tetap bersama ‘mbuk-nya walaupun orangtuanya sudah kembali dari Malaysia. Begitu sentralnya peran para ‘mbuk untuk tetap menjaga keberlanjutan sistem rantau masyarakat Bawean. Tentunya jangan tanyakan mereka mengenai perihal parenting, apalagi tentang perubahan Kurikulum 2013 menjadi Kurikulum KTSP 2006; karena yang ‘mbuk tahu adalah untuk terus memastikan para cucu tidak bolos sekolah dan mencari tambahan nafkah dengan manjhe’ (menanam padi) selagi kiriman belum datang dari Malaysia.

Sayangnya—secara disadari atau tidak—para ‘mbuk melakukan hal tersebut (hanya) untuk mengulang siklus yang sama. Puluhan tahun lagi, anak dan menantu si ‘mbuk akan menjadi seperti si ‘mbuk yang harus menjaga para cucu mereka di usia tua, karena para cucu si ‘mbuk pada saat itu telah bekerja sebagai buruh bangunan di Malaysia. Begitu terus, sampai entah berapa siklus. Semoga nantinya, anak-anak Bawean saat ini dapat mencukupi kebutuhan hidup keluarganya tanpa perlu menjadi buruh migran dan semoga, para ‘mbuk saat ini adalah ‘mbuk generasi terakhir yang harus menggantikan peran orangtua bagi cucunya. Amin.

Untuk ‘Mak Mina dengan 2 cucunya, ‘Mak Rama dengan 3 cucunya dan ‘Mak Tima dengan 4 cucunya.

Tanjung Slamet, 24 Mei 2015


Cerita Lainnya

Lihat Semua