Semir
Danang Aditya Nizar 9 Februari 2015Sudah 7 bulan ini ada sepasang sepatu yang selalu disemir, hampir tak pernah absen dari Senin sampai Sabtu. Biasanya tepat pada pukul 05.45 pagi. Banyak yang berubah sebenarnya selama waktu itu; mulai dari sol yang mulai retak sampai bagian samping yang robek karena gesekan antara besi dan aspal saat jatuh dari motor. Tapi semiran itu toh tak pernah berubah. Selalu dilakukan dengan sekenanya—tanpa dilap dulu seperti tertulis pada petunjuk pemakaian—tanpa peduli cuaca. Padahal kalau sedang kemarau, baru berapa langkah saja sepatu akan langsung dibalut debu. Kalau musim penghujan lain lagi perkaranya, karena lumpur ada dimana-mana. Sampai seorang kawan pernah bertanya, “Masih lo semir? Ngapain sih, kayak ngegaremin air laut tau!”.
Sempat juga terlintas untuk berhenti memberi semir, karena seperti kata seorang kawan tadi, pekerjaan itu terkadang terasa seperti sia-sia. Belum juga sampai sekolah, sepatu sudah kembali ke kondisi awal pra-semir, lebih parah mungkin malah. Terkadang banyak hal di sini yang terasa seperti kegiatan ‘menyemir’. Sesederhana meminta para siswa untuk memakai sepatu setiap harinya. Dengan berbagai macam alasan—yang lama-lama sudah dapat dihafal luar kepala—anak-anak akan selalu memiliki pembenaran untuk bersekolah hanya dengan sandal. Bermacam ‘tangkisan alasan’ pun sebenarnya juga sudah dikeluarkan. Mulai dari yang paling manusiawi a la kelas parenting seperti mengajak siswa untuk berdiskusi untuk apa sebenarnya memakai sepatu, sampai pendekatan purba seperti push up, kayu dan bambu. Tapi toh sampai kemarin pun, dari 16 siswa Kelas I hanya 5 yang memakai sepatu. Tak selalu begitu memang, fluktuatif. Terkadang lebih dari separuh kelas memakai sepatu, tapi lebih sering seperti yang kemarin itu. Siapa sangka ternyata melihat fluktuasi jumlah siswa bersepatu bisa lebih menguras emosi daripada fluktuasi bursa saham?
Lain cerita saat mengajar membaca. Banyak siswa Kelas I yang masih belum bisa membaca walaupun sudah duduk dibangku tersebut selama 3 tahun. Siswa Kelas III pun ada yang kondisinya kurang lebih sama. Jangankan membaca, mengenal konsep huruf pun belum. Sehingga jangan heran apabila saat ditunjukkan huruf mereka justru akan menjawab dengan suku kata: A menjadi ‘mo’, C menjadi ‘ngo’ dan seterusnya. Itu baru dari sisi kemampuannya, belum dari kemauannya. Namanya juga anak-anak, hari ini mau, besok tidak. Minggu ini rajin datang, minggu depan tidak terlihat; apalagi kalau lagi angrat (kumat). Hal ini tentunya mempengaruhi kemampuan mereka, yang pada awalnya sudah lumayan bisa namun karena lama tidak membaca akhirnya lupa. Cukup fluktuatif dan—lagi-lagi—tidak kalah mendebarkannya dari fluktuasi di Bursa Efek Jakarta.
Tapi ternyata akhir-akhir ini mulai terlihat bahwa keberadaan di sini bukanlah kegiatan ‘menggarami air laut’. Satu per satu siswa mulai mengenal konsep huruf dan bahkan mulai bisa membaca buku cerita. Anak-anak yang namanya selalu disandingkan dengan kata ‘lambat’, ‘bodoh’ dan ‘nakal’ sekarang mulai pelan-pelan bersanding dengan ‘bisa’ dan ‘pintar’. Cukup men(y)enangkan ternyata mengetahui bahwa apa yang telah dilakukan selama ini tidaklah sia-sia. Lalu bagaimana dengan kegiatan menyemir sepatu sekenanya yang dilakukan setiap paginya itu? Entahlah, mungkin butuh menunggu sampai bulan ke-12 untuk tahu jawabannya. Maka yang pasti, bersabar dan konsisten sebegitu lama terhadap sepatu saja rela, apalagi untuk anak-anak toh?
Tanjung Slamet, 08 Februari 2015
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda