Kambing

Danang Aditya Nizar 6 April 2015

Seperti kambing yang namanya selalu dicatut untuk menggambarkan ‘yang dipersalahkan’ dalam frasa kambing hitam, warga desa juga terkadang dipersalahkan untuk hal-hal yang kurang mengenakkan. Sebetulnya mungkin semuanya berawal dari sebuah ketidaksengajaan, namun kalimat yang diawali dengan “Kalau orang sini sih …” lumrah terdengar dalam percakapan antar Pengajar Muda (PM); tentu saat ‘orang sini’-nya tidak ada di sekitaran. Kondisi yang terakhir menjadi penting karena seringkali lanjutan dari kalimat tersebut sebaiknya tidak terdengar oleh ‘orang sini’.

Kebiasaan rumpi yang berlebihan mungkin merupakan topik wajib saat PM saling bertukar cerita mengenai kondisi desanya. Jarang keluar rumah, dicap tukang tidur; sering keluar rumah, dicap tidak betah di rumah—jadi serba salah terkadang. Bahkan pada tingkatan yang lebih tinggi lagi, ada PM yang sampai digosipkan sedang mengurus pernikahan karena (dianggap) terlalu sering pergi ke Kabupaten. Wajar saat PM terkadang merasa lelah dengan kondisi yang tak ubahnya reality show ini, karena mereka bukanlah penonton melainkan pemain; tanpa ada hiatus pula. Namun sebetulnya, alur logika yang dijadikan dasar penentuan segala skenario tersebut sangatlah masuk akal: mereka berbicara berdasarkan yang mereka lihat. Permasalahan kembangan dan improvisasinya, itu lain soal. Saat warga melihat PM selalu berada di kamar, apa iya mereka harus mengecek terlebih dahulu untuk memastikan bahwa PM itu tidak selalu tidur? Jawabannya persis sama seperti saat kita melihat seorang wanita yang selalu diantar seorang lelaki padahal ia sudah bersuami. Apa iya, sebelum berpersepsi, kita pernah bersusah payah untuk mengecek siapa lelaki itu? Padahal mungkin saja lelaki itu saudaranya. Maka kesimpulannya, rumpi dan fakta memang berada pada tataran dimensi yang berbeda; tak soal itu di desa maupun kota.

Hal yang kurang lebih sama terjadi pada pembahasan mengenai kesadaran pendidikan. Keputusan warga untuk bekerja daripada melanjutkan sekolah hampir selalu membuat PM mengernyit. Padahal saat ramai remaja desa mengikuti jejak para pekerja kapal dibanding kuliah dengan alasan mereka jauh lebih mapan dibanding para sarjana, pilihan tersebut menjadi logis. Mata duitan? Coba bandingkan: dulu anak muda perkotaan berbondong-bondong menjadi insinyur, lalu tren bergeser ke arah bisnis/manajemen dan yang terus selalu menjadi primadona adalah bidang perminyakan. Lantas jangan protes saat ada orang tua di pedesaan yang mengikhlaskan anaknya tidak melanjutkan pendidikan untuk bekerja menjadi buruh migran saat pertanyaan, “Ngapain ambil jurusan itu? Mau kerja apa nantinya?” terasa familiar dalam ingatan—karena faktanya pendidikan tinggi tidak selalu berbanding lurus dengan nafkah yang tinggi, dan dengan nafkahlah orang dapat bertahan hidup. Maka kesimpulannya, pendidikan memang masih sebatas dilihat sebagai sarana pencari nafkah; tak soal itu di desa maupun kota.

Jadi sudahilah mengkambinghitamkan warga desa untuk kebiasaan yang (ternyata) juga dilakukan oleh warga kota, karena kambing yang dikambinghitamkan sebetulnya telah mengalami pengkambinghitaman sebanyak dua kali. Tapi yang jelas, jangan sampai salah mengambil kesimpulan dengan menyamakan warga desa dengan kambing. Bingung? Apalagi saya.

Tanjung Slamet, 13 Maret 2015


Cerita Lainnya

Lihat Semua