Ta'a Basan Pa'a So

Farli Sukanto 5 April 2015

 

Oeulu, Rote Timur

3 April 2015 | Pk. 23.00

Di bawah purnama ber-halo, di atas dua lembar tikar anyaman daun lontar, saya dan beberapa tetangga duduk melingkari sebuah lampu pelita. Beberapa orang lagi membentuk lingkaran lain yang lebih kecil, salah seorang di antara mereka tidak henti mengayunkan parang dan menghantamnya ke bongkahan-bongkahan rebusan daging yang dioper oleh seorang lain. Bunyi berirama pertemuan parang dengan kayu yang menjadi alas cincang menjadi satu-satunya musik yang menemani malam kami saat itu.

TAK!

TAK!

TAK!

Ada belasan orang di sana, laki-laki dan perempuan, semuanya orang dewasa, kami berkumpul untuk menjalankan sebuah ritual penyembuhan penyakit. Tapi ini bukan penyakit sembarangan, warga dusun percaya penyakit ini tidak bersumber dari virus atau bakteri. Tidak juga cacing atau jamur. Bukan pula kelainan genetik. Mereka percaya asalnya adalah apa yang mereka sebut suanggi. Suanggi adalah kuasa gelap, ilmu hitam, guna-guna orang, setan, iblis. Setidaknya itulah penjelasan orang-orang yang saya tanya apa itu suanggi, dan saya yakin Anda sudah tahu apa maksudnya.

Jadi percuma saja saya menawarkan satu strip obat penahan sakit berdosis tinggi pada Si Penderita Penyakit, karena ilmu harus dilawan dengan ilmu lagi. Begitu nasihat orang-orang dusun pada saya. Sodoran tangan yang hendak memberikan obat tadi terpaksa pelan-pelan saya tarik kembali sambil menahan malu.

Seringkali saya lupa, kalau saya tidak boleh terlalu kaku. Sebagai seseorang yang baru datang dengan track record 27 tahun kehidupan yang dihabiskan di tempat yang karakternya homogen, kadang isi kepala saya ya segitu-segitu saja.

Kalau lapar, pasti yang pertama saya lihat adalah isi dompet. Kalau ada uang, berarti bisa beli makan. Padahal di sini, saya dikelilingi oleh orang-orang yang mengusahakan sendiri apa yang dikonsumsinya. Bertanam padi untuk makan nasi, berkebun untuk makan sayur, beternak untuk dapat asupan protein, hingga bertani untuk dapat setoples garam.

Kalau tidak punya uang tapi ingin sesuatu, saya tahu tuntutannya pasti kerja dan menabung. Padahal di sini, di Rote, kebutuhan materi sekalipun bisa ditanggung beramai-ramai. Bayar hutang, beli motor, biaya perkawinan, atau biaya sekolah dapat diselesaikan dengan mengundang tetangga-tetangga datang ke rumah, menerima sumbangan mereka, mencatat jumlahnya untuk kemudian mengembalikannya jika Si Donatur tadi membutuhkan. Ini yang mereka sebut arisan atau Tu’u.

Kalau kata bajingan di sini merupakan kata pemangku strata tertinggi untuk mengungkapkan apresiasi positif.

Dan kalau ada yang sakit, pola pikirnya pasti langsung terasosiasi pada obat, dokter dan rumah sakit. Padahal di sini kalau suatu penyakit timbul karena suanggi, jangan dulu berharap pada dokter karena memang ada ahlinya.

Malam itu ahlinya adalah Bapak Jafar, Bapak angkat saya jauh-jauh menjemputnya dari desa tetangga.

“Ini Pak Guru.” Bapak angkat saya mengenalkan teman lamanya itu.

“Oh, kita sama berarti, Pak, saya juga guru SD di sini. Pak mengajar SD ko SMP?” saya menyahut.

“Sonde. Bapak ini Guru Jalan, bukan guru itu.” Bapak saya segera memberikan klarifikasi.

Tidak perlu waktu lama bagi saya untuk dapat menyimpulkan bahwa yang Bapak saya maksud dengan Guru Jalan adalah Dukun Sakit Penyakit.

 “Ta’a basan pa’a so!”

Begitu satu baskom berbagai bagian dedaging kambing rebus dihidangkan, seruan itulah yang terus menerus didengungkan pada saya.

“Kasih habis daging, Pak!”

Saya tidak fasih mengenali itu-daging-bagian-sebelah-mana-Si-Kambing, saya hanya mengenali bagian kaki, lalu selebihnya saya hanya tahu bagian kulit yang ternyata jadi hitam setelah direbus, lapisan lemak, daging, daging, daging dan daging. Malam itu saya hitung ada sodoran tidak kira-kira empat potongan besar daging yang berhasil saya habiskan hingga tinggal kulit dan tulangnya. Saya lihat rekan-rekan selingkaran saya juga sibuk mengoyak daging, menggerogoti tulang, mengunyah, memisahkan kulit dari daging dengan giginya, dan entah mengapa saya langsung merasa seperti sekawanan piranha yang sedang sangat bernafsu mencabik-cabik daging di salah satu titik di Sungai Amazon.

Dalam sekejap, baskom berisi daging-daging tadi telah terisi kembali dengan tulang-belulang dan kulit sisa lahapan kami.

Sebagai seseorang yang pernah menjalankan vegan diet selama satu tahun, ini terasa agak salah. Tapi kali ini tujuan saya adalah mendukung kesembuhan seseorang yang saya tahu sakit kepalanya sudah menahun. Entah Si Penderita terlalu lemah, atau memang rasa sakitnya memang tidak tertahankan tapi seringkali di tengah malam dia meraung-raung bahkan menjerit-jerit karena nyeri.

Setelah bergantian mencuci tangan dalam satu ember yang sama, Dukun pemimpin ritual dengan ramah mengingatkan saya untuk tidak pulang ke rumah dulu. Ritualnya belum selesai, karena sebentar Si Dukun harus membawa tulang-tulang sisa santapan ke pantai dan menguburnya di sana. Mungkin ditambah dengan sepatah dua patah doa.

Saya lihat pintu rumah-rumah di sekeliling tempat kami menggelar tikar memang tertutup rapat. Ternyata memang ada aturan yang menyebutkan bahwa selama ritual berlangsung, tidak boleh ada satu pun partisipan yang pulang ke rumah. Sekali saja pintu terbuka, lenyap jugalah berkat dan khasiat ritual yang sedang dijalankan. Apa makna dari semua ini? Kenapa harus begini, kenapa tidak boleh begitu?

“Adat, Pak.”

Saya harus selalu puas dengan jawaban seperti ini, jawaban khas generasi masa kini ketika ditanya tentang nilai atau makna produk budaya yang menjadi identitasnya. Ritual tinggalah kebiasaan berulang meninggalkan pesan penting dari kakek dan nenek moyang beberapa tahun di belakangnya. Pesan penting yang mungkin saja adalah kepercayaan tentang sebuah nilai yang harus terus meneruskan dibenturkan dengan paham-paham yang baru, yang modern. Idealisme-idealisme yang lahir pada masa lalu, biasanya sentranya adalah alam dan Tuhan. Sedangkan semakin ke sini, seringkali pemenuhan kebutuhan manusialah yang jadi pokok pemikirannya. Saya tidak bilang salah satu lebih benar dari yang lain, saya hanya usul untuk terus menerus membenturkan keduanya.

Pengalaman satu malam sebelum malam Paskah di Rote itu memberikan saya sebuah keyakinan, yang mungkin sudah agak telat di sisa kurang dari tiga bulan penugasan saya. Bahwa sudah ada landasan gotong-royong dari warga dusun di sini, atau juga warga dusun di daerah lain, atau bahkan masyarakat Indonesia,  untuk mencapai satu tujuan bersama.

Dalam cerita ini, tujuan bersamanya adalah menyembuhkan tetangga atau saudara yang sakit, dan gotong-royongnya hanya dengan menghabiskan daging kambing, tapi ada cerita lain yang sedang bersama-sama coba kami tulis di tanah ini.

Beberapa hari lagi, perhelatan besar kami Rote Mengajar akan segera digelar. Siapa sangka obrolan santai di sebuah taman baca bersama sebuah komunitas peduli pendidikan (KAMU Rote Ndao) dan rekan sekerja Pengajar Muda di setiap kecamatan, sampai pada hari ini. Dimana ada 227 orang relawan yang datang dari berbagai penjuru Indonesia, termasuk Kupang dan Rote sendiri untuk berbagi inspirasi. Ada pemerintah daerah, dinas pendidikan, guru dan kepala di 40 sekolah dasar yang menyambut baik ide ini. Ada orang tua yang juga ikut terlibat dalam rangka menyambut para relawan yang jauh-jauh datang. Terlebih, ada banyak institusi mulai dari Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), Kepolisian, TNI hingga swasta yang mengambil porsinya masing-masing dalam kegiatan ini.

Rasa-rasanya, kita harus mulai mengamini (tidak hanya meyakini) dua hal. Bahwa yang pertama, gotong-royong adalah zat yang bersama sel dan plasma darah juga mengalir dalam diri kita sebagai anak bangsa. Kebijakan mungkin bisa diakali, tapi gerakan bersama masyarakat yang lahir karena inisiatif sepertinya akan terlalu memalukan untuk dikhianati sendiri.

Dan bahwa, yang kedua, kebaikan itu menular.

Jadi mari semua, masuk ke dalam lingkaran, mengambil daging yang menjadi porsi kita masing-masing, menghabiskannya hingga tinggal tulang.

Ita ta’a basan so! 


Cerita Lainnya

Lihat Semua