info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Junjungan

Danang Aditya Nizar 18 Januari 2015

Bagi umat Islam pada umumnya Nabi Muhammad SAW merupakan figur sentral, tak terkecuali bagi masyarakat Bawean. Kecintaan mereka terhadap Kanjeng Nabi tercermin jelas dengan menjadikan Maulid (Hari Kelahiran) Nabi—atau lebih akrab disebut Muludan—sebagai perayaan kedua terbesar di Bawean setelah Lebaran. Muludan biasanya dirayakan selama sebulan penuh, entah itu di masjid, langgar atau pun sekolah, dengan beragam acara. Namun satu yang tak boleh terlewatkan dan menjadi gong pada setiap Muludan: bertukar angka’an.

Jauh sebelum bertukar kado menjadi tradisi dalam setiap perayaan Natal, masyarakat Bawean telah memiliki budaya bertukar angka’an. Awalnya, angka’an berisi berbagai macam kue tradisional disertai hasil bumi yang kemudian ditata dalam sebuah bakul anyaman. Angka’an lalu akan dikumpulkan di tempat perayaan untuk lantas ditukar satu sama lain. Maka pada setiap Muludan warga akan berbondong-bondong menyo’on (menjunjung) angka’an masing-masing ke masjid atau langgar sebagai bentuk kecintaan dan devosi mereka kepada Kanjeng Nabi. Seluruh persembahan terbaik—jajanan, ayam panggang, jantung pisang dalam tandan—dijunjung untuk junjungan mereka Nabi Besar Muhammad SAW. Seluruh kemeriahan tersebut sebetulnya berawal karena konon barangsiapa yang memeriahkan Maulid Nabi, maka akan mendapatkan syafa’at (pertolongan) Nabi dan selamat pada hari akhir nanti.

Seiring bergantinya jaman, bentuk angka’an pun berubah. Saat ini angka’an diwadahi ember atau baskom, lalu diberi rangka bambu di sekitarnya berbentuk menyerupai corong. Rangka tersebut bisa setinggi lutut atau bahkan pinggang orang dewasa. Setelah itu barulah angka’an diisi oleh berbagai macam persembahan. Jajan lokal Bawean berganti menjadi jajanan interlokal yang mungkin sebagian besar diproduksi oleh pabrik besar di Gresik. Setandan pisang sekarang terasa sudah ketinggalan, maka digantilah dengan wajan, periuk bahkan rice cooker. Apabila untuk menunjukkan eksistensinya kaum sosialita Ibu Kota baru sebatas pada jinjingan tas bermerk—yang notabene paling banter hanya dipamerkan melalui foto via media sosial secara semu—orang Bawean justru jauh lebih dermawan dan konkret: angka’an-nya, yang mana adalah harta terbaiknya, secara sukarela ditukar dengan tetangganya. Belum lagi kalau yang mereka dapatkan tidak sesuai dengan yang mereka tukarkan. Walaupun secara sukarela, tapi apa rasanya apabila tas Birkin Anda ditukar dengan tas Sophie Martin, KW pula? Padahal—sebenarnya—tak ada juga yang menyuruh Anda menggunakan tas Birkin untuk main tukar-tukaran.

Tapi, orang Bawean tetaplah manusia biasa. Maka setiap sehabis Muludan, akan banyak tweet (celotehan, dalam arti sesungguhnya) bersliweran di jalanan. Mulai dari yang umum seperti “masa aku cuma dapat ini, padahal menyiapkan itu” sampai yang rinci ala juri kompetisi, “masa jhuko-nya (lauk) tongkol, minimal ayamlah” atau “di ujung rangka cuma hanya ada bunga kertas, kan tak bisa dimakan”. Ternyata menyiapkan angka’an bukan hanya agar selamat di akhirat, tapi juga agar selamat di dunia; minimal selamat dari komentar para juri kompetisi tak resmi (baca: tetangga). Ah Bawean, ternyata dermawan pun ada batasnya. Maka pesannya: jangan gunakan Birkin untuk main tukar-tukaran!

Tanjung Slamet, 18 Januari 2015


Cerita Lainnya

Lihat Semua