Bibi Lopo dan Cerita Bahagia dari Oeulu

Farli Sukanto 17 Januari 2015

Musim hujan datang tepat waktu di Oeulu, dusun penempatan saya yang terletak di timur Pulau Rote. Dalam sekejap, sabana-sabana tandus menghijau, aliran-aliran sungai yang sebelumnya kering mulai teraliri air dan gelombang di laut pun jadi tinggi karena angin Barat.

Masyarakat pun mulai beralih pekerjaan. Para bapak dan ibu yang sebelumnya sibuk memanen lontar, kini jadi rajin pergi ke sawah dari pagi hingga sore hari, kadang-kadang mereka pun merawat kebunnya sambil memeriksa apakah ada sayur, bawang, ubi, pisang atau kacang yang bisa dituai.

Adaptasi ini tentunya tidak hanya berlaku bagi para penduduk lokal, Si Empunya Tanah Rote, tapi juga Pengajar Muda seperti saya. Kehidupan di dusun penempatan harus kembali disesuaikan dengan perubahan cuaca dan iklim serta kebiasaan masyarakat yang sedikit berganti.

Musim yang berganti, ternyata juga membawa perubahan yang sangat berarti di sekolah tempat saya bertugas. Tapi siapa sangka, bukan cuaca atau iklim yang jadi penyebabnya, tapi sekawanan ternak yang dalam bahasa setempat kami sebut ‘Bibi Lopo’.

---

Bibi Lopo adalah bahasa Bilba Selatan* untuk domba. Jangan bayangkan domba di sini berbulu putih dan tebal-tebal seperti di Selandia Baru atau ilustrasi-ilustrasi buku bacaan anak-anak, karena hingga saat ini saja saya sulit membedakan kambing dengan domba di sekitar tempat tinggal saya. Saya tinggal di tengah-tengah masyarakat yang tidak hanya memanen hasil cocok tanam di kebun dan sawahnya sendiri untuk memenuhi kebutuhan pangan, atau memproduksi garamnya sendiri dari laut, tetapi juga menernak hewan-hewan untuk asupan proteinnya sehari-hari. Dan domba adalah ternak peliharaan paling favorit diikuti babi, ayam, dan sapi pada ranking di bawahnya.

Sekolah tempat saya bertugas, SD GMIT Oeulu, sudah kira-kira dua tahun belakangan ini tidak lagi punya pagar permanen. Pagar sementara terbuat dari rakitan bebak atau pelepah pohon lontar yang memang tumbuh subur di sini. Hingga akhir musim panas kemarin, pagar sekolah kami sudah tidak karuan lagi bentuknya. Beberapa bagian rusak, dan lebih banyak bagian lagi sudah tidak ada lagi penutupnya. Pertahanan sekolah kami berlubang di banyak penjuru.

Alhasil, saat hujan datang, celah-celah ini dimanfaatkan oleh para domba untuk masuk dan mencari perlindungan di bawah naungan atap sekolah. Bukan pemandangan luar biasa lagi jika puluhan ekor domba berjejer di depan kelas-kelas kami jika hujan turun. Jangan salahkan mereka yang lewat di muka sekolah lalu mempertanyakan apakah ini sekolah atau kandang domba, karena memang seperti itulah kelihatannya.

Domba yang berjejer sebenarnya bukan masalah. Tapi (maaf) kotoran-kotoran yang ditinggalkannya sepanjang malam hingga pagilah yang jadi pekerjaan tambahan buat kami.

Awal semester ini, setiap pagi kami harus bergotong royong menyapu dan mengepel untuk membersihkan sekolah kami dari kotor sekaligus bau tak sedap kotoran domba. Karena itu juga, apel pagi di sekolah terpaksa baru dimulai pukul delapan pagi. Satu jam belajar kami yang terbuang tapi juga kami perlukan untuk kerja bakti. Sungguh melelahkan harus mengulangnya setiap hari selama hampir satu bulan.

Tapi ternyata, domba-domba ini datang ke sekolah tidak hanya untuk meninggalkan kotoran tapi juga sebuah pesan penting untuk sekolah kami.

Pertanyaan sampai kapan kami harus melakukan kerja bakti membersihkan kotoran domba yang membosankan dan melelahkan ini kemudian dijawab oleh Kepala Sekolah dan guru-guru dengan membuat sebuah rapat bersama Komite Sekolah dan para orang tua murid. Di dalam rapat dibicarakan satu agenda yaitu Pagar Sekolah. Kedengarannya mungkin sederhana, namun bagi sekolah kami, agenda ini bisa jadi punya dampak-dampak yang baik.

Hari yang membahagiakan walaupun rapat berjalan tidak sebentar karena banyaknya pendapat yang dilontarkan, namun pada akhirnya kami sepakat untuk bergotong-royong membangun pagar yang lebih permanen untuk sekolah kami. Para orang tua yang semuanya berjumlah 75 orang  bertugas membangun pagar bagian samping dan belakang sekolah. Ketua komite akan mengelola dana yang terdapat di kas Komite Sekolah untuk membangun pagar tembok batu di bagian depan sekolah, dan pihak sekolah akan merawat serta memelihara pagar ini sepanjang tahun.       

Hari-hari berikutnya pun tidak kalah membahagiakan, para orang tua silih berganti datang ke sekolah membawa bebak, paku, palu dan perkakas pertukangannya untuk sambung menyambung mendirikan pagar mengelilingi sekolah.

Sekarang, sekolah kami sudah lebih gagah. Pagar tembok sedada di bagian depan sekolah memberikan kesan kokoh, pagar kayu tinggi yang mengelilingnya pun tidak kurang memberikan kesan aman dan nyaman.

Sebentar. Nyaman mungkin bukan kata sifat yang cukup mewakili untuk sebuah akibat yang ditimbulkan keberadaan fisik sesuatu. Tapi mungkin nyaman yang saya rasakan bukan dari keberadaan fisik pagarnya. Tapi kenyataan bahwa pagar yang berdiri ini adalah buah kepedulian dan kerja sama setiap warga sekolah.

Ada orang tua yang peduli bahwa setiap jam yang terbuang di pagi hari untuk membersihkan kotoran domba adalah percuma. Ada kepala sekolah dan guru-guru yang menyadari bahwa tenaga anak-anak yang terbuang setiap pagi untuk menyapu dan mengepel adalah tidak berharga dibandingkan tenaga yang dibutuhkannya untuk berkonsentrasi belajar.

Sekolah kami belum pernah dan mungkin baru akan menjuarai kompetisi sains nanti. Kami tetap optimis. Desa kami juga belum bisa membanggakan infrastuktur yang keren. Kami bilang belum bukan tidak, kami tetap optimis. Tapi kami dengan bangga membagikan cerita ini, dimana setiap kami memulai sebuah perubahan dengan peduli.

Kami memulai dengan pagar sambil terus menyongsong perubahan. Semua untuk pendidikan.

Salam hangat dari Oeulu.

 

*Bilba Selatan adalah salah satu nama nusak (pembagian wilayah Rote pada masa lampau) yang ada di Rote Timur. Berbeda nusak, berbeda juga bahasa daerah yang digunakannya.


Cerita Lainnya

Lihat Semua