Jati

Danang Aditya Nizar 26 Oktober 2014

Bawean yang kemarau dan berdebu. Begitu pula dengan cerita yang akhir-akhir ini sering terlontar dari teman sesama Pengajar Muda (PM)—yang mungkin akan sulit Anda temukan di blog ini—dari berbagai lipatan Ibu Pertiwi; kering. Katanya, memang begitulah siklus penugasan para PM, mereka akan mulai menemui masa paceklik pada bulan ketiga dan keempat. Faktanya? Entahlah, tapi mungkin menarik juga untuk dibuat survei lebih lanjut mengenai ‘fluktuasi kejiwaan’ para teman-teman yang sedari awal sudah didapuk sebagai putra-putri terbaik bangsa ini. Namun yang pasti, ungkapan semacam,

“Tau deh, aku sih udah pasrah aja haha.”

“Haha ya abis nggak bisa diapa-apain sih tempat gue!”

“Ya, yang penting supaya gue nggak stres aja hehe.”

Semakin sering terdengar. Dalam rangkaian kalimat tersebut pun biasanya akan terselip tawa kering dan garing dari sang empunya cerita. Mungkin itulah cara mereka (kami?) untuk mengurangi rasa bersalah. “It’s not about me, it’s about them” adalah jargon standar yang sepertinya diimani hampir seluruh PM dan menjadi semacam wirid wajib apabila mereka sedang mengalami masa sulit di penempatan. Maka, menjadi hal yang wajar apabila sebagian dari PM lantas merasa bersalah saat melakukan hal-hal yang lebih banyak mengandung unsur ‘ke-aku-an’. Hal-hal sederhana sebetulnya, sesederhana seperti lebih memilih istirahat daripada silaturahmi keliling kampung. Tapi hal itu menjadi tidak sederhana lagi pada saat pilihan tersebut dibingkai dalam sebuah bingkai tugas. Saat ‘silaturahmi keliling kampung’ dilihat sebagai bagian dari tugas dan PM malah lebih memilih untuk tidur; maka hal itu dapat terlihat salah, bukan?

Entah kebetulan atau apa, bulan ketiga dan keempat penempatan di Bawean ditandai oleh guguran daun jati yang tak kunjung usai. Rindangnya pohon jati yang selama ini didapuk sebagai pohon dengan kualitas kayu kelas satu sekarang digantikan dengan tangkai-tangkai kurus tak menarik. Daun jati yang selama ini dimanfaatkan oleh masyarakat Bawean untuk membungkus rojhek untuk sementara waktu harus direlakan tergeletak mubazir di kaki-kakinya. Namun dengan segala ‘kehilangannya’, Sang Jati justru mempertahankan jati dirinya sebagai sebuah ‘jati’. Ia tak sungkan menjadi gundul demi mencukupi persediaan air yang tak banyak. Ia tak takut menggugurkan daunnya—yang notabene jelas-jelas lebih bermanfaat di atas sana—demi bertahan hidup. Ia berani meranggas.

Mungkin seperti itu jugalah PM dalam menghadapi ‘kemarau’-nya masing-masing. Sebagian dari mereka menggugurkan idealismenya—atau apalah namanya—bukan karena lupa pada mimpi dan cita-citanya untuk Indonesia. Bukan pula karena telah lebur dengan masyarakat sekitar yang (katanya) entitas perilakunya perlu diubah. Tapi justru untuk menjaga jati dirinya, agar mereka dapat terus melaksanakan tugas sebaik-baiknya sesuai dengan gayanya. Maka sejatinya, mereka meranggas.

Tanjung Slamet, 16 Oktober 2014

Tulisan ini didedikasikan untuk kawan-kawan PM VIII yang baru saja melewati bulan keempat.


Cerita Lainnya

Lihat Semua