Yang Penting Semangat

Nicko Rizqi Azhari 17 Mei 2014

Sabtu pagi, lonceng tanda memasuki jam belajar berbunyi. Belasan siswa berseragam olahraga sudah siap dengan alat-alat olahraga yang telah mereka siapkan. Mereka ini adalah siswa-siswa pilihan, para ‘atlet’ kontingen SDN 10 Titi Akar. Hari ini mereka akan bertanding melawan para ‘atlet’ dari sekolah tetangga, yang lokasinya berada di seberang sungai. Jarak dari sekolah kami ke dermaga di tepi sungai cukup jauh. Namun, itu tak menyurutkan semangat para atlet kecil ini. Mereka berjalan menuju dermaga bersama-sama dengan semangat mereka untuk menang.

Cukup lama menunggu, sebuah kapal kayu datang. Orang-orang sini menyebutnya motor pompong. Disebut pompong, karena konon katanya berasal dari tiruan bunyi mesin kapal yang bunyinya ‘pong, pong, pong’. Kapal ini merupakan satu-satunya alat transportasi yang biasa digunakan warga untuk menyeberang dari dan ke Hutan Samak, dusun tempat atlet-atlet kecil kami akan bertanding.

Satu per satu atlet kecil kami menaiki kapal kayu yang bermesin bising itu. Pekik-pekik riang atlet-atlet kecil kami itu terdengar betul di antara bunyi decit kayu-kayu kapal yang saling bergesek karena diterpa riak air. Wajah-wajah ceria juga nampak dari senyuman yang terus terkembang dari wajah mereka. Bagi sebagian dari mereka, ini adalah kali pertama mereka menyeberang sungai ke Hutan Samak dengan pompong.

Sampai arena pertandingan, para atlet dari sekolah tuan rumah menyambut kontingen kami. Guru-guru di SD itu sudah menyiapkan arena dan peralatan yang akan digunakan untuk bertanding. Seperti Olimpiade atau Asian Games, arena-arena pertandingan berikut para penonton yang siap bersorak-sorai siap di sudut masing-masing. Bedanya, kali ini tidak ada gemerlap lampu dan aneka pertunjukan kolosal yang membuka perlombaan.

Di depan kantor guru, bejajar beberapa meja berikut papan-papan catur. Di lapangan upacara, merupakan arena pertandingan bola voli. Di sebelahnya, meja tenis disusun. Lalu, di tanah lapang tak seberapa luas di depan sekolah, disiapkan untuk arena bulutangkis. Guru-guru dari sekolah tuan rumah berbagi tugas menjadi juri dan wasit pertandingan. Sementara dari sekolah kami, karena hanya dua guru yang mendampingi siswa, cukup menjadi pendukung saja.

Dari arena pertandingan catur, dua dari tiga atlet catur kami kalah. Di permainan bola voli, meski sudah melakukan pertahanan dan perlawanan cukup sengit, atlet-atlet bola voli kami kalah angka. Dari arena bulutangkis, atlet-atlet putri kami tumbang. Sementara hanya satu atlet putra yang berhasil memenangkan pertandingan dengan dua set. Di arena tenis meja, tidak ada wakil dari sekolah kami yang bertanding.

Olimpiade mini itu akhirnya ditutup dengan kemenangan tuan rumah sebagai juara umum. Meskipun demikian, atlet-atlet kecil dari sekolah kami tak patah semangat. Mereka tetap bisa pulang dengan kepala tegak.

Kita kalah kok penya, Pak ne?” (Kita kalah tak apa ya, Pak?)

“Kalau bisa menang kenapa mau kalah?”tanyaku.

“Karena kita kurang latihan, Pak. Sagi (nanti) kita taneng (bertanding) lagi, Pak ne? Sagi kita kok (tak) boleh kalah lagi.”

“Kalau tak mau kalah lagi harus bagaimana?”

Sagi harus lebih rajin berlatih. Sekarang kalah kok penya (tak apa). Sagi gilih kita yang menang. Yang penting semangat!”

Ya, hari ini mereka memang kalah. Namun, hari ini mereka juga belajar. Belajar menerima kekalahan, belajar introspeksi diri, belajar mempertahankan semangat. Terus jaga semangat kalian, atlet-atlet kecilku. Terus berlatih dan tunjukkan semangat juara di dalam diri kalian. Suatu saat nanti kalian pasti bisa menjadi juara-juara yang sesungguhnya. Bapak tunggu kalian berlaga di arena PON dan Olimpiade!


Cerita Lainnya

Lihat Semua