Seragam Mila Kebesaran, Mak!
Fransisca Christanti Tri Wulandari 26 Oktober 2014
Pagi itu Mila tampak begitu ceria berjalan menuju sekolah. Kakinya tampak lincah melompat-lompat menghindari genangan air sisa hujan semalam. Tak sedikit pun keluh kesah keluar dari bibirnya yang mungil, meski jarak tempuh nyaris 1KM dari rumahnya, ia selalu berjalan dengan riang. Terkadang Sami atau Denis, teman sebayanya, akan berjalan disisinya, mereka bertiga akan menyusuri jalan setapak yang tak lagi mulus. Jika hujan semakin besar, mereka akan melepas sepatu lalu membungkus kaki dengan plastik hitam dan kembali memakai sepatu saat tiba disekolah.
Mila duduk di bangku paling depan, setidaknya itu yang selalu diminta Bu Wati, guru kelasnya. Meskipun duduk di depan tak akan menjaminnya untuk mengerti pelajaran yang diberikan oleh gurunya, justru akan membuatnya sering diminta menjawab soal yang tak pernah ia mengerti. Jika itu terjadi, Mila akan merasa bibir cerianya akan menjadi kelu dan tenggorokannya tercekat, ia tak mampu menjawab soal yang ditanyakan bu Wati. Kalau sudah begitu temannya akan mengoloknya habis-habisan hingga air matanya tak kuasa untuk ditahan lagi. Itulah kenapa ia selalu mendapat panggilan “Mileng”, yang artinya Mila Cengeng.
Kecerian Mila di pagi hari saat ia menyusuri jalan setapakselalu saja pupus ketika pelajaran dimulai. Mila akan berubah menjadi gadis pemalu yang takut mendongakkan kepala jika namanya dipanggil bu Wati.
“Mileng..kamu bikin malu torang punya kelas e?”
“So kelas IV kamu masih tak tahu penjumlahan!”
Ungkapan itu yang sering Mila terima dari teman-temanya.
“Tapi itu bukan salahku”, bisik Mila mencoba untuk membela diri meskipun ia tahu itu benar adanya.
“Lalu salah siapa Mileng? Itu salahmu karena kamu tak mau belajar. Kerjamu hanya main dan mandi di ambai (pantai) sepanjang sore kan?”
“Diminta berjualan pun tak mungkin bisa, mana kau tahu menghitung uang”, tambah yang lain.
“Kasian mamak kau Mileng, tak ada yang membantu berdagang!”,lalu terdengar suara cekikan teman –temannya, Mila hanya bisa berjalan pergi dengan tangis tertahan.
**
“Bu, apa tak sebaiknya Mila dipindahkan sekolah saja?”, tanya bu Wati dengan penuh hati hati pada mamak Mila pada suatu kali ketika keduanya terlibat dalam pembicaraan sepulang sekolah.
“Mila perlu sekolah yang sesuai untuknya bu. Kebetulan di kota ada sekolah SLB Negeri, yang pasti akan mau menerima Mila dan membantu Mila untuk belajar dengan lebih baik”, lanjut Bu Wati.
“Bu, torang tak punya doi untuk pindah kesana, ongkos otto saja 30 ribu pulang-pergi, belum dengan jajan dan keperluan Mila”
“Torang juga malu kalau harus menyekolahkan Mila ke SLB, apa kata orang bu? Mila bukan anak gila”, tambah mamak Mila lagi.
“Benar bu, tapi setidaknya sekolah itu akan membantu ...”
“Apapun pendapat ibu, Mila tetap akan sekolah disini!” potong mamak Mila sambil berdiri dan meninggalkan Bu Wati yang masih tenang duduk di kursinya.
Percakapan hari itu membuat hari Mila semakin kelabu, sesampainya dirumah Mila langsung mendapat hukuman dari mamak-nya.
“Jangan bikin malu mamak terus Mila” pekik mamak Mila seraya memukul betis Mila dengan batang sapu
“Ampun mak, Mila belajar mak, Mila pebelajar lagi mak” Mila menjawab diantara suara tangisnya. Hatinya begitu terluka. Kakinya begitu ngilu.
**
Mila bertekat terus memperhatikan Bu Wati menjelaskan pelajaran Matematika hari ini. Ia berusaha untuk konsentrasi penuh, tapi siapa yang salah, tak satu pun yang dijelaskan bu Watimasuk di kepalanya. Ia merasa itu terlalu rumit. Ia lebih nyaman jika bu Wati menghampirinya dan mengajarkanya satu per satu, rasanya jauh lebih sederhana, meskipun ia tetap harus berusaha keras untuk menemukan jawabanya. Namun, bu Wati mengabaikanya, ia hanya sesekali mendekati meja Mila, selebihnya akan sibuk berkeliling untuk mengajari murid lainnya.
Ketika teman-temanya melonjak girang karena berhasil menuntaskan soal perkalian campuran denga baik, Mila hanya bisa terpaku dan membisu di mejanya. Ia hanya benar 1 dari 10 soal yang diberikan, itu pun karena Bu Wati membantunya soal tersebut.
**
Suara Mila menghilang, seperti orang yang tak bisa bicara setiap kalibu Wati memintanya untuk membaca. Huruf a , b dan d adalah huruf tersulit untuk dibedakan. Belum kalau ia harus membaca huruf mati, keringatnya akan mengucur deras.
Mila tak mengerti. 3 tahun lalu, saat ia pertama kali masuk sekolah, ia sudah merasa kesulitan dengan pelajaran yang diberikan, hal tersebut diperparah dengan ritme mengajar guru yang sangat cepat, membuatnya terus kebingungan. Tapi tak ada yang peduli dengan kesulitannya, teman dan guru justru menyalahkannya dan menuduhnya dengan tidak belajar.
“Ini karena kamu malas belajar Mileng”, seru teman-temanya
“Mila jangan lupa belajar kalau dirumah, minta bapak dan mamak temankan belajar ya?”, pinta bu Wati setiap pulang sekolah.
“Mila, kenapa nilaimu selalu nol – nol dan satu? Kamu bikin malu mamak dan papak e?” teriak mamak-nya ketika tak sengaja menemukan buku Mila yang tercecer diruang tengah.
Tak ada yang paham, betapa sistem pendidikan ini begitu kedodoran untuk Mila. Meskipun aneh bin ajaib, sekolah terus membiarkan Mila naik kelas. Semua mempunyai pertanyaan itu, namun tak satupun yang sanggup menjawab, juga bu Wati. Kenapa Mila terus naik kelas?
**
“Pak, sepertinya Mila perlu perlakuan khusus. Mengingat Mila memiliki tahap perkembangan yang tidak sama dengan anak- anak sebayanya”, jelas bu Wati saat menghadap bapak Kepala Sekolah.
“Bu Wati tahu sendiri, sekolah kita tak mempunyai cukup fasilitas untuk membuat kebijakan semacam itu. Merangkap sekolah normal menjadi sekolah inklusi membutuhkan dana yang besar bu. Kita harus menambah ruang kelas khusustermasuk menambah tenaga guru”, tegas bapak Kepala Sekolah.
“Tapi pak, bukannya kebijakan sekolah biasa merangkap inklusi sudah dicanangkan sejak tahun 2007?”
“Itu teorinya bu, dan itu hanya bisa dilaksanakan di Jawa yang sudah memiliki fasilitas lengkap”
**
“Mak, aku tak mau berangkat sekolah e mak?”
“Kenapa Mila, sudah hampir seminggu kamu tak masuk sekolah?”
“Mila malu mak, seragam Milakebesaranmak”, tunjuk Mila pada sebuah seragam merah putih yang digantung mamakdi dinding kamar.
End
(sebuah cerpen bertema kritik sosial untuk Negeri ku)Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda