Hujan
Danang Aditya Nizar 7 Januari 2015Angin kering dan debu yang telah sekian lama mengakrabi tanah Bawean akhirnya harus rela lengser digantikan oleh musim angin Barat, yang mana berarti seluruh perangkat alam juga akan menemukan lawannya. Panas berganti hujan, jalan berdebu akan serta merta digantikan oleh tanah berlumpur dan tanpa disadari pepohonan hasil ranggasan yang kurus kering telah berevolusi kembali menemukan fitrahnya. Tak terkecuali, aku.
Masa penugasanku sebagai Pengajar Muda (PM) telah memasuki musim kedua, ditandai dengan berakhirnya kegiatan belajar mengajar pada semester pertama. Ah, betapa seluruh kegiatan ini telah bercampur-baur mengaburkan batas antara yang bukan dan yang tugas, sampai-sampai kalender akademik pun kujadikan tanda waktu! Pada musim kemarin ini, ada satu masa di mana aku sedikit limbung. Butuh sekian lama bagiku untuk mengakuinya, apalagi menuliskannya; terlihat bahwa ini adalah tulisan pertama yang bertebaran ‘aku’ di dalamnya. Dulu aku datang ke sini demi mencari kesederhanaan, utamanya hidup sederhana. Sedari entah kapan, aku selalu melihat kemewahan dalam kesederhanaan. Entah karena memang begitu adanya, atau sebenarnya hanyalah karena sebuah kepatutan. Namun di tengah perjalanan menuju kesederhaan tersebut, ternyata, justru banyak bekal yang disesakkan. Teori ini, teori itu. Sebaiknya begini, sebaiknya begitu. Best practice di sini, best practice di situ. Fungsinya baik tentu saja, namanya juga bekal; sebagai persiapan. Tanpa diberikan pun aku akan dengan lapar mencarinya. Namun yang tak kusadari justru adalah aku keburu terlampau mampat bahkan sebelum berangkat, sehingga kepayahan bahkan sebelum separuh perjalanan.
Dari awalnya yang datang sesederhana hanya untuk mencari kesederhanaan, sampai di sini semua jadi penuh dan gaduh. Fakta bahwa perjalananku ke sekolah hanyalah sepelemparan batu, sementara temanku di Jakarta harus berjuang berjingkat melewati kemacetan untuk ke kantor tidak membuatku lantas bersyukur. Pun mengetahui bahwa temanku harus bekerja sampai pukul 23.00, sementara dari pukul 19.00 aku telah duduk dengan tertib bersama keluargaku untuk menonton sinetron tidak jua membantu. Sepertinya bisikan-bisikan bahwa ‘kalian harus memaksimalkan masa setahun yang singkat ini’ memaksa semuanya untuk berjalan lebih cepat dari pada yang seharusnya. Saking cepatnya bahkan aku pun sampai lupa: untuk apa? Ada satu masa yang mana aku kehilangan alasan awal yang mendasari perjalananku sampai di sini. Mungkin betul, manusia memang adalah pelupa; karena amnesia mengejutkan ini terjadi hanya dalam hitungan bulan.
Sampai pada datanglah hujan itu; yang datang pada siklus hujan pertama, mengawali berakhirnya kemarau panjang yang selama ini telah setia menemani. Dengan riang, adik-adikku melakukan perayaan penyambutan musim baru tersebut dengan bermain hujan-hujanan dan mereka pun tak lupa untuk mengajak turut serta. Padahal mereka tahu, Pak Guru yang satu ini terasa kurang akrab dengan alam sekitarnya. Mungkin saking herannya mereka pun pernah bertanya, “Ara apa Pak? Jijik ya?” saat kami melakukan operasi semut bersama di sekolah suatu waktu. Tapi saat kau sudah penat, siapalah yang akan berpikir tentang risihnya tanah lumpur yang mungkin akan tersangkut di kuku kaki? Aku pun bersorak berlari keluar menyongsong hujan. Lompat ke kubangan. Lari naik turun bukit. Merasakan pejalnya tanah lembek saat dipijak. Makan mangga yang berjatuhan dengan langsung mengupasnya dengan gigitan. Saling melempar biji mangga di tengah riuhnya hujan. Dan ternyata hanya dengan begitu pun, aku senang; sederhana. Di situlah aku kembali mengingat. Bagaikan bangku kayu yang selama ini dilapisi cat berlapis-lapis agar terlihat indah—namun ternyata membuat ia lupa akan esensinya, antara untuk diduduki atau malah hanya sekedar menjadi aksesori—lantas hujan deras menguliti semua polesan tersebut, sampai akhirnya ia kembali ke awalnya menjadi sebuah bangku kayu. Aku pun menemukan kembali pijakan yang mendasari perjalanan ini dalam sebuah kesederhanaan: bermain hujan. Ternyata pijakan itu tak pernah hilang, hanya aku yang lupa. Semoga amnesia itu tak datang lagi menyambangi.
Tanjung Slamet, 03 Januari 2015
Tulisan ini didedikasikan untuk kawan-kawan PM VIII yang akan segera memulai semester keduanya.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda