Skenario Tuhan Jilid 3; Kepedulian Itu Masih Ada
Hairul 8 Januari 2015“Kamu pernah menangis?” Tanya salah seorang teman memecah kesunyian kala senja.
“Iya, sering bahkan!” Jawabku tak berpaling ke sumber suara. Bagaimana tidak? Sifat Introvert-ku ini selalu membuatku memilih menyendiri ketimbang bercerita dengan orang lain, dan tak jarang menangis adalah cara yang sangat ampuh untuk sekedar menghilangkan masalah. Plong.
“Lalu, disaat aku melihatmu memandang kosong keluar jendela itu, apakah kamu sedang menangis?” Tanyanya lagi. Kali ini aku terpaksa menatapnya. Belum mengerti akan maksud pertanyaannya.
“Menurutmu?” Aku balik bertanya.
“Seperti yang aku lihat, tak ada yang menetes atau mengalir dari kedua mata atau pipimu. Bahkan linangan di sudut matamu pun kering.”
“Lalu?”
“Nah! Kamu pernah menangis, bukan? Sering bahkan. Lantas saat ini, kamu yang sedari tadi menatap kosong ke jendela itu, sedang tidak menangis. Dalam arti lain, kamu hanya duduk di sudut rumah kontrakan kita ini, menatap ke jendela, mengamati senja dengan tidak menangis.” Ia menarik napas sejenak, “saat kamu menangis, kemudian pasti akan berhenti. Mungkin bisa sekedar tersenyum atau bahkan tertawa lagi, kan? Begitu juga dengan permasalahan, Sob!” Kini ia mendekatiku. Duduk di sebelahku, ikut menatap jendela dan mencoba melihat ke arah yang aku lihat dari tadi.
“Dan?” Tanyaku lagi.
“Permasalahan itu pasti ada. Tak sedikit malah. Apalagi kita masih hidup. Salah satu bentuk uji tes apakah kita masih hidup atau sudah mati, ya dengan adanya permasalahan dalam hidup ini. Namun, seperti analogi tentang menangis yang aku tanyakan tadi, air mata yang kita keluarkan saat menangis itu, kita ibaratkan dengan suatu permasalahan. Dan sebuah senyuman atau tawa setelah kita menangis itu, kita ibaratkan dengan kebahagiaan. Jadi, seperti saat kita menangis, mengeluarkan banyak air mata, percayalah, bahwa air mata itu akan diganti Tuhan dengan sebuah kebahagiaan. Dalam hal ini adalah senyuman.” Penjelasannya berakhir tepat rintik hujan mulai membahasi kota di kepulauan kecil ini. Kulihat senyumnya mengembang.
Ku menoleh padanya, “Kamu benar. Bukankah tangis dan tawa itu satu paket yang Tuhan tawarkan untuk kita, ya?” Senyumku ikut mengembang. Setidaknya, aku memiliki sebuah pemikiran baru. Hujan semakin deras, kini sudah masuk musim penghujan rupanya.
***
Saat pengumuman yang kami tunggu sudah datang, aku menganggap itu suatu kebahagiaan, karena memang, salah satu dari lima belas peserta yang lolos lomba menulis cerita tingkat SD dan SMP se-Indonesia adalah muridku. Jumlah peserta yang mengirimkan naskahnya sekitar 1.200-an tulisan dari seluruh siswa SD se-Indonesia dan sebanyak 1.900-an naskah untuk tingkat SMP. Jadi aku menganggap ini sebuah kebahagiaan, meski masih ada yang mengganjal dari kabar baik ini.
Sebelum aku menceritakan lebih lanjut tentang kebahagiaan ini, aku ingin menceritakan terlebih dahulu akan sebuah proses panjang untuk meraih ini semua. Aku menyebutnya dengan, “Dua bulan melawan kemalasan”.
Saat kami datang di pulau ini, terbersit kabar dari Kementerian Pendidikan, bahwa, telah diadakannya lomba menulis bagi siswa SD dan SMP yang sudah berjalan sejak awal tahun, dan akan berakhir beberapa bulan lagi. Siang itu, sebuah poster berwarna merah yang kami lihat di Dinas Pendidikan membuatku semangat. Bagaimana tidak? Setelah aku membaca baik-baik pengumumannya, di sana tertulis hadiah utama berupa uang jutaan rupiah, dan yang paling membuatku terkesan adalah terdapat sebuah kalimat, “15 (lima belas) peserta terbaik akan diundang ke Jakarta untuk mengikuti seleksi final!” Maka aku langsung mengatur beberapa teknis pembelajaran untuk murid-muridku nanti setelah aku kembali ke pulau. Di dalam kepalaku saat itu, adalah bagaimana caranya membuat murid-murid dari SD perbatasan yang pelosok ini, pergi ke ibukota negaranya –Jakarta. Bukan untuk menjadikannya tak cinta tempat kelahiran, namun lebih dari itu. Aku hanya ingin memberitahu bahwa di luar pulau mereka –yang luas pulaunya saja tak sampai satu kilo meter persegi- masih ada kehidupan lain. Sebuah kota besar, lebih besar dari kota yang ada di propinsi mereka sendiri, sehingga mereka bisa membuka cakrawala, menambah referensi cita-cita mereka, dan sebuah pengalaman berharga yang mungkin orang tua mereka saja belum sempat ‘mencicipinya’. Maka kami, delapan Pengajar Muda kepulauan ini, memiliki impian yang sama terhadap murid-murid kebanggaan kami.
Kapalku sudah datang. Dua minggu yang kunantikan tiba, dan itu berarti kapal untuk ke pulauku akhirnya bersandar di pelabuhan jua. Sebuah kapal perintis yang akan menghantarkanku mengarungi lautan dan akan menyampaikan berita ini secepatnya kepada murid-muridku (untuk cerita tentang pulauku dan seluruh hal yang berkaitan dengannya, bisa kalian baca dalam judul ceritaku yang lain, “Skenario Tuhan Jilid 1; KAWIO”). Maka tak sabar menunggu belasan jam dalam kapal untuk bertemu dengan mereka. Kali ini, semangat itu ikut terlelap bersamaku diatas kapal. Aku tertidur.
***
“Bapak kami di Surga, dikuduskanlah atas nama-Mu, datanglah kerajaan-Mu, ...
... mulai dari saat ini dan untuk selama-lamanya. Amin!”
Pagi di hari selasa itu, setelah doa pagi yang diucapkan bersama oleh seluruh murid di halaman sekolah, aku meminta ijin untuk berbicara di depan murid-murid.
“Hormat satu-dua-tiga!” Teriak pemimpin barisan apel setelah aku berada di depan mereka.
“Slaaamaaat Paaagiiii, Engkuu!” Teriak mereka bersama-sama. Ku lihat senyum tulus mereka. Dua minggu tak melihat mereka, rindu ini yang membuatku juga senyum-senyum sendiri.
“Selamat pagi, semua! Waahh... pagi ini kalian semangat sekali. Engku juga melihat kalian makin tertib saat berdoa tadi. Tidak ada yang mengintip atau bahkan bercanda dengan teman disebelahnya. Engku punya kabar gembira untuk kita semua. Kabar datang dari Jakarta-” belum sempat melanjutkan, mereka sudah keburu berisik dengan teriakan “HOREE!!”.
“Tapi, berita ini untuk kakak-kakak kelas empat, lima, dan enam saja, ya.” Sambungku meledek dan tentunya kali ini terdengar teriakan tak sekompak tadi. Karena untuk kelas 4-6, mereka senang sekali. Tapi untuk kelas 1-3 teriakan “Hore” mereka berganti menjadi “Yaaahhhh” dengan nada kecewa.
Aku langsung menceritakan tentang berita lomba itu. Aku juga menjanjikan pada mereka bahwa aku akan siap mengajarkan mereka, mendampingi hingga seluruh karyanya rampung. Aku juga menceritakan tentang teknis perlombaan. Meski banyak murid yang sudah mengeluh terlebih dahulu, tapi, apel pagi itu aku menutupnya dengan memberikan semangat untuk mereka.
“Dimana ada kemauan, di situ ada jalan. Tak ada yang tak mungkin bagi Tuhan. Apakah kalian lupa? Saat sekolah minggu di gereja, juga sudah diajarkan bagaimana kuasa dan kasih Tuhan dalam memberikan semua pertolongan untuk kita semua. Jadi, kalau kalian bersungguh-sungguh untuk bisa mengikuti perlombaan ini, Engku percaya, bahwa, Tuhan akan selalu senatiasa bersama kalian. Membantu memberikan tenaga-Nya untuk kalian semua. Dan kalian jangan takut akan hal itu.” Aku tersenyum. Apel pagi itu pun selesai. Petualangan seru baru akan dimulai. Semua murid kembali ke kelas mereka masing-masing setelah menyanyikan lagu pujian bersama-sama. Aku masih optimis. Masih.
Hari-hari berikutnya kesibukan bagi kelas 4 sampai dengan kelas 6 bertambah. Setelah mendapat ijin dari kepala sekolah dan guru-guru lain, aku mengajarkan mereka setelah aku sholat ashar. Mereka berkumpul di kelas 4. Oh iya, kalian jangan beranggapan bahwa kelas 4-6 disekolahku itu banyak anak-anaknya, murid di sekolah ini memang tak sampai 50 saat itu bahkan untuk kelas 1-6 (sekarang jumlah murid bertambah menjadi 53 orang, karena ada pindahan murid dari Filipina). Jadi, sore itu, aku mengawali belajar tambahan tentang menulis, hanya diikuti oleh 9 murid. Itu pun ada yang meminta ijin untuk mengail ikan, atau sekedar mengambil air dari sumur –membantu orangtua mereka masing-masing. Namun, mereka tetap antusias mengikuti kegiatan ini.
Aku yang sedikit memiliki pengetahuan tentang bagaimana menulis cerita dengan benar, memberikan beberapa pembelajaran terkait teknis penulisan, seperti penggunaan tanda baca, penggunaan huruf kapital, penggunaan bahasa asing dan aku juga memberikan berbagai macam contoh bacaan dari beberapa tulisan yang pernah aku buat, dari novel-novel koleksiku, dan juga dari majalah anak-anak yang ada di dalam perpustakaan. Aku mengijinkan mereka membawa dan mempelajari satu buah buku cerita dari perpustakaan. Kemudian akan ku tunjukkan tentang semua teknis penulisan yang sudah ku jelaskan di awal pertemuan. Sejauh ini proses pembelajaran ini mengasikkan. Meski harus kuakui, murid-muridku di sini belum terbiasa dengan menulis sebuah karangan panjang. Apalagi dalam penggunaan bahasa Indonesia, masih terbilang sulit. Sehingga, masih banyak hal-hal yang perlu ditingkatkan. Namun, melihat semangat mereka dalam mengikuti lomba ini, membuatku juga semangat dalam mengajari mereka.
“Engku, saya sudah tidak sanggup. Terlalu banyak untuk mendapatkan 5 halaman.” teriak salah satu murid kelas 4 ditengah-tengah pembelajaran, membuat semuanya berhenti melakukan aktivitasnya masing-masing,
Memang, aku menyuruh mereka menulis dengan tangan di buku tulis mereka masing-masing minimal 5 halaman, baru kemudian dipindahkan ke dalam laptop. karena memang persyaratan lomba mengatakan demikian. Peserta diwajibkan menulis 3 halaman kertas A4. Namun, aku menyuruh mereka menulis 5 halaman, agar saat dipindahkan ke laptop, tulisan bisa memenuhi persayaratan.
“Ya sudah, semampu kalian. Lagian Engku tidak menyuruh semuanya diselesaikan hari ini, toh? Masih ada sekitar 6 minggu lagi. Waktu kita menyelesaikan tulisan ini masih ada 2 bulan kurang. Jadi, kalau kalian sudah lelah, jangan dipaksakan. Dan pastikan pilih salah satu tema dari 13 tema yang ada dalam poster lomba tersebut. Pilih sesuai yang kalian minati. Oke?” aku mencoba menghibur.
“Okeee, Engku!” teriak mereka bersama-sama. Satu jam pembelajaran kami sore itu selesai. Anak-anak kembali ke rumah masing-masing untuk menaruh tasnya, dan beberapa menit kemudian berlarian mengiringiku ke darmaga. Peluh kami hari itu terbayar saat kami berenang bersama di laut. Aku masih optimis. Berkurang sedikit lebih tepatnya.
Satu bulan tidak terasa sudah kami lewati. Tidak terasa pula sudah banyak kertas-kertas berganti cerita, berganti judul, malah jumlah anak-anak yang mengikuti lomba ini sudah berkurang. Hanya tinggal 4 orang. Itu pun tak sepenuhnya datang setiap hari pembelajaran. Hingga menuju batas pengumpulan karya, hanya tersisa 2 orang dari kelas 6, sampai hari dimana aku harus ke kota untuk mengirimkan karya, hanya tersisa 1 orang, dan itu pun, sebenarnya sudah menyerah juga. Namun berkat dorongan dari kedua orang tuanya, dan berkat iming-iming ‘Jakarta’ dan‘Play station (PS)’ membuat satu buah karya berjudul “Anak Bahari di Utara Negeri” rampung. Selesai diketik ke dalam 4 halaman A4, dan dikumpulkan tepat waktu lewat pos. (untuk isi cerita tentang karyanya, tunggu di Skenario Tuhan Jilid selanjutnya, ya. Hehehe). Dua bulan melawan kemalasan, melawan keputusasaan selesai. Selanjutnya, berdoa adalah cara yang bijak untuk menyerahkan semuanya pada Tuhan akan semua perjuangan kami, dan menunggu hingga hampir 2 bulan untuk pengumuman lomba tersebut.
***
Tentunya kalian tak menunggu selama itu untuk mengetahui kelanjutan perjuangan kami, bukan? Karena saat ini, bahkan sebelum kalian tahu cerita dua bulan perjuangan kami, kalian sudah tahu bahwa 1 orang yang tersisa di batas pengumpulan karya, 1 orang dari kelas 6, seseorang yang bernama Dowes Samskarson Sumolang, adalah 1 dari 15 karya yang akan diundang ke JAKARTA! Alhamdulillahirabbil’alamiin.
Namun, tak selamanya ombak tenang. Tak selamanya jalan mulus. Tak selamanya pula cuaca cerah. Untuk menjadikan kapten yang handal, untuk menjadikan pengemudi, dan pilot yang handal, rintangan seperti ombak, jalan yang tak mulus, dan cuaca yang buruk harus dilewati. Saat pengumuman bahagia itu datang, saat seluruh biaya tiket pesawat hingga akomodasi ditanggung seluruhnya oleh kementerian, disaat itu juga permasalahan baru datang. Dari pulauku menuju bandara di ibu kota propinsi kami ini, Bandara Samratulangi –Manado,Sulawesi Utara- masih harus melewati satu hari perjalanan laut ke kabupaten, dan satu hari menuju propinsi. Semua tidak dijelaskan dalam teknis pemberangkatan, yang tertera hanya ketika menaiki pesawat sampai kami tiba di Jakarta dan Bogor (acara penjurian akan dilangsungkan di Puncak-Bogor, Jawa Barat). Semua itu juga harus menggunakan biaya sendiri (biaya talangan) dan baru akan direimburse setelah acara final ini selesai. Dengan kata lain, untuk sampai Bogor, kami harus menggunakan biaya sendiri. Setidaknya, kami harus berpikir untuk bisa sampai disana. Dan itu yang menjadi hambatan bagi kami. Kami tak ada dana untuk itu semua. Dan saat kalian baca judul ceritaku kali ini, di Skenario Tuhan Jilid 3 ini, kalian pasti tahu maksud dari kalimat itu. Ya, Kepedulian itu masih ada!
***
Tahukah kalian, betapa bersyukurnya karena aku memiliki kakak Pengajar Muda pendahuluku? Saat semua kurasa mustahil, saat itu juga, setelah selesai perbincangan dengan temanku di suatu senja di sudut kontrakan kami, aku menemukan titik cerah. Hal pertama yang aku lakukan adalah, aku menghubungi dan menceritakan semuanya pada kakak-kakak pendahuluku. Menceritakan akan keberhasilan dan prestasi murid sekolah kami, menceritakan perjuangan kami sampai sejauh ini, dan tentunya menceritakan pula hal yang membuatku ragu akan ketersediaan dana untuk kami. Tahukah, kalian? Tuhan memang tak pernah tidur, dan Tuhan juga selalu menepati janji dan kuasa-Nya. “Tuhan tidak memberikan suatu ujian melebihi kemampuan hamba-hamba-Nya.” Satu-persatu, titik terang itu muncul, setelah mendapatkan saran dari kakak pendahuluku, mulai terhubunglah aku dengan salah seorang Pengajar Muda yang merupakan putra daerah kepulauan kami, saat ini ia tinggal dan bekerja di ibukota propinsi –Manado. Berkatnya, setelah aku menceritakan hal yang sama padanya, satu yang membuatku tenang saat itu adalah, tiket pesawat kami bisa dipesan dan boleh membayarnya saat biaya reimburse sudah diberikan. Ia juga menjamin tempat tinggal saat kami di Manado nanti, juga mengantarkan kami ke bandara. Saat itu juga, setelah mendengar kabar itu, rasa syukurku tak terperi. Kakak itu juga menceritakan bahwa tiket pesawat kami dibantu oleh sebuah jasa tour & travel tempat rekannya bekerja, yang memang peduli dan berkontribusi nyata pada pendidikan anak-anak. Aku semakin menyadari bahwa, kepedulian itu masih ada. Memang masih ada.
Satu-persatu permasalahan mulai teratasi. Masih ada hal yang harus ku selesaikan, masih ada biaya-biaya seperti biaya kapal, makan, biaya yang berhubungan dengan administrasi penjurian final ini, dan semua masih harus diperjuangkan. Seketika aku menyerah dan pasrah saat sebelum aku menghubungi kakak pendahuluku, terbersit sebuah ide bahwa aku akan membawa ini hingga ke pemimpin tertinggi propinsi ini. Karena bagaimana tidak, ini merupakan suatu kebanggaan. 15 dari 1.200-an peserta pemenang yang akan melakukan penjurian final ke Jakarta, 12 peserta berasal dari Pulau Jawa, 3 peserta dari luar Jawa, dan 1 dari 3 peserta itu adalah muridku, siswa dari sekolah perbatasan paling utara di negeri kita ini. Bahkan, se-Pulau Sulawesi ini, hanya muridku yang berhasil untuk mengharumkan Pulau Sulawesi, Sulawesi Utara secara khususnya. Mengenalkan pada mereka bahwa, Kepulauan Sangihe, satu dari kabupaten yang berada di Indonesia, memiliki potensi luar biasa akan generasi penerus bangsa ini. Namun, jarak dan berbagai teknis lainnya membuat ide ku itu tidak terlaksanakan..
Rencana ku untuk menceritakan hal ini ke propinsi gagal. Namun disaat yang bersamaan pula, aku berencana mendatangi beberapa dinas di kabupaten, berharap mereka masih peduli akan prestasi anak pulau mereka sendiri. Aku menghubungi kepala Bappeda kabupaten, mendatangi Dinas Pariwisata, Dinas Perbatasan, juga masyarakat yang peduli akan nasib pendidikan di kabupaten ini. Tentunya, setelah aku mendapat persetujuan dari Dinas Pendidikan ketika tak ada dana dari dinas untuk kami. Maka, semua pepatah itu benar, munculnya pelangi selepas hujan, munculnya sebuah senyuman saat setelah kita menangis, kepedulian di kabupaten ini sangat terasa. Kepala Bappeda kabupaten menyampaikan kesanggupan untuk membantu kami, dari Dinas Perbatasan juga menyanggupi membantu kami, dan banyak sekali masyarakat sedikit demi sedikit memberikan bantuannya kepada kami. Mereka hanya ingin memberikan kesempatan pada anak dari salah satu pulau kecil di perbatasan, melihat dunia luar. Memberikan sedikit banyaknya pengalaman luar biasa yang kelak, mungkin, akan membuat perubahan pada anak tersebut. Hingga suatu saat nanti, anak kebanggan pulau inilah yang akan merubah kehidupan menjadi jauh lebih baik lagi. Amin!
Perjuangan dan kesungguhan akan niat dan doa kami sudah sampai pada titik akhir. Sebuah akhir yang pada awalnya aku rasa tidak mungkin, menjadi sebuah bagian akhir yang penuh rasa syukur. Membuat senyum-senyum siapa saja ranum terkembang tanpa diminta.
Karena kalian sudah setia membaca cerita hingga sampai pada kalimat ini, aku akan sedikit membocorkan tentang isi karangan muridku. Beberapa kalimat dari sebuah karangan yang menghantarkan muridku melihat dunia luar pulaunya, melihat dan merasakan bagaimana pesawat membawanya, melihat dan merasakan bagaimana ibukota negara ini memberikan sedikit pengalaman yang mengisi bagian hidupnya.
___
“... bukan berarti aku tidak mencintai bangsa dan negaraku sendiri. Aku sangat cinta pada bangsa ini. Pada Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Meski aku berada di ujung utara perbatasan negara, meski aku banyak mengkonsumsi makanan, minuman juga alat-alat permainan dari Filipina, saat ditanya oleh guruku tentang apa nama negaraku saat aku duduk di kelas tiga dulu, aku dengan lantang menjawab “INDONESIA!!” Aku bangga menjadi bagian dari negara ini. Oleh karena itu setiap apel pagi yang dilaksanakan setiap hari, sekolahku selalu menyanyikan lagu-lagu wajib nasional yang dengannya dapat membuat semangat kebangsaan kami tumbuh....”
___
Bagaimana? Jika kalian tidak sabar membaca seluruh cerita lengkapnyanya, tunggu di ceritaku yang lain, ya. Dan sebelum aku menutup cerita ini, dalam kesempatan ini, aku ingin mengutarakan banyak terimakasih pada;
- Kak Lukito Perkasa, Kak Jessica Hutting, Kak Priska Sebayang. Kakak Pengajar Muda sebelumku di Pulau Kawio ini. Terima kasih atas dukungan dan semangatnya. Terima kasih juga karena selalu meluangkan waktu mendengarkan keluh kesahku.
- Kak Stenli Kiraling dan Kak Rakhmawati Agustina. Terima kasih untuk semua bantuan untuk kami. Terima kasih untuk tiket yang rela ‘diutangi’ dulu. Hehehe, terima kasih.
- Kepala Bappeda Kabupaten Kepulauan Sangihe, Bapak Joppy Kakondo, terima kasih untuk bantuan dan semangatnya, Pak.
- Bapak Sekertaris Dinas Perbatasan, Bapak Antarani, terima kasih atas semuanya. Terima kasih karena membuat putra perbatasan ini melihat dunia luar.
- Untuk masyarakat Sangihe, Ibu Imelda Viona Mandak –Ci’Melda, Bapak H.Lukman, Kang Jimmy, Bang Martin, Kak Christy, kasse bue lawo-lawo.
- Kakak Pengajar Muda angkatan 2,4,6 dan teman-teman penempatan angkatan 8 Kepulauan Sangihe, kalian luar biasa. Terima kasih untuk semuanya. Kalian memang bukan daung lemong! Mapulu sarang PM Sangihe. Sangihe su naung :)
***
Sebelum aku benar-benar mengakhiri cerita ini, aku hanya ingin memberitahu bahwa Jakarta, untuk muridku yang satu itu, memberikan satu bahkan jutaan pelajaran berharga bagi hidupnya. Bertemu dengan profesor, sasatrawan terkemuka, juga teman-teman dari kota dan pulau lain, adalah hal yang pastinya akan ia ceritakan pada siapapun nantinya. Satu hal yang pasti, aku percaya bahwa, sebuah air mata akan digantikan dengan sebuah senyuman dan kebahagiaan. Permasalahan? Pasti dan akan selalu ada dalam hidup kita. Hanya bagaimana kita menyikapi suatu permasalahan tersebut, dan jangan mengkhawatirkan akan sebuah kepedulian, aku sendiri merasakannya, bahwa, peduli dan kepedulian terhadap pendidikan itu masih ada. Masih. Dan aku tak menyangsikannya. Satu lagi, bukan mengingatkan –karena kalian pun pasti tahu- bahwa, Tuhan itu selalu ada, selalu menjawab dan memberikan bantuan untuk kita, karena, Tuhan adalah pembuat SKENARIO terindah dalam hidup.
***
Hairul
Pulau Kawio, 12 Desember 2014
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda