info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Nanik Ijawati, Mutiara Pulau Gili (Bagian II)

Teguh Wibowo 20 Desember 2014

Keputusan besar yang diambil Nanik dan keluarganya dengan segenap perjuangan di cerita pertama kembali memaksa saya membagi cerita selanjutnya kepada para pembaca. Pada cerita sebelumnya, senja tanggal 25 Agustus 2014, berita menggegerkan itu datang. Nanik diterima sebagai calon mahasiswa di Universitas Al-Azhar Indonesia melalui jalur beasiswa Korporat. Pengumuman ini membuat senang sekaligus membuat tak tenang. Senang untuk Nanik, tak tenang untuk Ibundanya yang harus berpisah dengan anak perempuannya. Lebih-lebih Jakarta kota tujuannya, Ibu kota yang lebih kejam dari ibu tiri, begitu anekdotnya kata orang-orang Pulau Gili.

Keberangkatan

Ujian selanjutnya adalah jeda pengumuman dan keberangkatan yang begitu mepet. Selang tiga hari setelah pengumuman, Nanik harus berangkat ke Jakarta, karena tanggal 30 Agustus dia sudah harus berada di Jakarta untuk melakukan registrasi ulang calon mahasiswa. Pertanyaan dibenak saya saat itu adalah “apakah Nanik dan Ibunya sudah siap untuk meninggalkan dan ditinggalkan?”. Benar saja, Ibunya Nanik mengajukan syarat untuk keberangkatan Nanik. Bahwa Nanik harus ke Jakarta ditemani saya atau teman Pengajar Muda (PM) lainnya.

Sebelumnya, dalam persiapan keberangkatan Nanik, kami Pengajar Muda Bawean telah bersepakat bahwa Nanik harus ke Jakarta diantar oleh keluarganya. Tujuannya, membuka jejaring dan menguatkan kepercayaan diri masyarakat Pulau Gili. Kesepakatan itu kami laksanakan secara konsisten. Adapun jika harus mengantar, hanya sampai ke Gresik saja.

Saya pun akhirnya melobi Ibu agar tetap berangkat bersama Nanik, lalu meyakinkan dengan memberikan jaminan bahwa mereka akan aman selama perjalanan. Namun Ibu menyatakan keberatan jika hanya berdua, beliau minta ditemani satu orang lagi sebagai teman Ibu saat pulang dari Jakarta menuju Bawean. Bahkan sempat terlontar kata dari Ibu bahwa tidak jadi berangkat kalau hanya berdua.

Kami PM Bawean kembali memutar otak, mencari satu orang lagi sebagai teman. Alhamdulillah, Pak Ending, pamannya Nanik bersedia ikut mengantar. Ok, akhirnya syarat yang diajukan Ibu terkait ‘dua orang pengantar’ terpenuhi. :)

Menjelang keberangkatan, PM Bawean juga mempersipapkan rencana perjalanan beserta rincian biaya yang akan ditanggung oleh pengantar. Biaya tersebut digunakan untuk transportasi dan akomodasi, serta biaya hidup untuk Nanik pada satu bulan pertama. Hasil perhitungan kami, biaya yang harus ditanggung cukup besar untuk ukuran orang Gili. Apalagi harus disiapkan dalam waktu yang mendesak, hanya dua hari saja.

Benar saja, perjuangan berikutnya adalah memastikan pengantar memiliki cukup biaya untuk keberangkatkan Nanik. Seperti yang kami duga, awalnya Ibu sedikit keberatan dengan ‘jumlah’ biaya tersebut. Namun Ibu  mengatakan saat itu akan berusaha semampunya mendapatkan semua tanggugan biaya perjalanan tersebut.

Kami berenam (PM Bawean) kembali berdiskusi, lalu muncullah ide untuk memberikan donasi  kepada keluarga Nanik. Namun agar sejalan dengan visi Indonesia Mengajar yakni mengajak sebanyak-banyaknya pihak untuk terlibat dalam masalah pendidikan, kami berinisatif membuat artikel pendek tentang Nanik, lalu disebar melalui media sosial Whatsapp. Konten yang kami sebar mendapat respon positif dari rekan-rekan yang tergabung dalam berbagai grup baik dalam dan luar negeri. Dalam kurun waktu tiga hari, setidaknya donasi yang terkumpul bahkan cukup untuk mngcover biaya perjalan tiga orang. Ajakan kami pun tercatat telah ikut melibatkan belasan orang donatur, dan Alhamdulillah, problem solved. :)

Malam hari, 27 Agustus 2014

Tantangan keberangkatan Nanik belum berhenti sampai di situ rupanya. Tepat malam hari sebelum keberangkatan Nanik, pamannya yang bersedia mengantar demam dan ada kemungkinan tidak bisa ikut mengantar. Seperti syarat Ibu, saya harus segera mencari pengganti. Setelah berdiskusi dengan Pak Bullah (guru SD Nanik), akhirnya beliau yang bersedia menggantikan Pak Ending mengantar Nanik beserta Ibunya. Dalam episode berikutnya saya telah meminta beliau menulis pengalaman perjalanan terjauh pertamanya mengantar mutiara Pulau Gili ini.

Pagi hari, 28 Agustus 2014

Pagi hari ini begitu cerah, ratusan orang bersiap berangkat berlayar menuju pulau Jawa menggunakan Kapal Natuna Ekspress. Diantara ratusan orang tersebut, ada Ibunda dan Pak Bullah yang juga bersiap mengantar Nanik Ijawati meraih impiannya sampai ke Ibu Kota, Jakarta.


Cerita Lainnya

Lihat Semua