info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Tanimbar : Kita dan Harapan

Heri Santiko 4 Januari 2015

Geliat dunia pendidikan di kepulauan tanimbar dari tahun ke tahun terus menunjukkan trend yang positif. Aksi nyata memajukan pendidikan di bumi duan lolat terus muncul dari para penggerak dan stakeholders daerah. Masalah pendidikan sepertinya sudah bukan menjadi tanggung jawab penuh guru di sekolah, segenap lini masyarakat sepertinya sudah mulai ambil peran dalam memajukan pendidikan di kabupaten Maluku Tenggara Barat. Guru, orang tua, dan stakeholders lambat laun mulai saling bekerja sama untuk peduli dan ambil bagian dalam kegiatan pendidikan. Ketika pertama kali masuk dalam training intensif pengajar muda dan disuguhi materi grand desain Gerakan Indonesia Mengajar (GIM) yang begitu kompleks dan terarah, ada kekhawatiran dalam hati kecil aku dengan muncul pertanyaan “Mungkinkah ini akan bisa kita lakukan di daerah penempatan nanti yang karakter orangnya beraneka ragam?”. Tapi, kekhawatiran aku sepertinya mulai berubah di purnama kelima aku sebagai pengajar muda. Bahwa aku sudah mulai menemukan hasil kerja keras para pengajar muda pendahulu aku yang berjuang sebagai role model dan pencari local champions.

Virus kepedulian yang merupakan tonggak terjadinya perubahan tengah menyerang masyarakat Tanimbar. Mengutip pembicaraan yang di sampaikan lewat siaran radio bertajuk Gema Edukasi Tanimbar (GENTA), Ibu Mella Medi Wibowo selaku orang tua murid menyerukan bahwa “Kita sebagai orang tua jangan terlalu banyak menuntut peran guru dalam membentuk karakter anak yang durasinya hanya 5 – 6 jam setiap harinya, karena selebihnya pembentukan karakter anak harusnya adalah kewajiban orang tua dirumah”. Argumen yang menunjukkan bahwa masyarakat Tanimbar tengah berevolusi ke arah yang lebih baik dengan adanya kesadaran orang tua untuk ikut andil dalam dalam proses pendidikan anak.

Atmosfer kepedulian terhadap dunia pendidikan juga aku rasakan di lingkungan penempatanku sebagai pengajar muda. Di desa yang memiliki banyak keterbatasan akses dari komunikasi dan transportasi ini aku masih menemukan semangat orang tua untuk berusaha merubah hidupnya dengan mengedepankan pendidikan anak-anaknya. Salah seorang tempat aku belajar adalah Bapak Epi Itranbey, kepedulian beliau dalam masalah sekolah sering disuarakan dalam forum diskusi bersama. Hal lain yang aku pelajari dari beliau adalah kegigihannya untuk menyekolahkan tiga orang anaknya di tingkat pendidikan tinggi dan pandangannya tentang pendidikan. Kata beliau “Bet seng mau bet pu anak hanya tahu indonesia sebatas adodo sa, bet ingin bet pu anak tahu Indonesia bila perlu dunia. Sekolah tinggi seng menjamin hidup, tapi bet yakin seng ada ilmu yang sia-sia”. Kurang lebih artinya “aku tidak ingin punya anak hanya tahu indonesia sebatas adodo saja, aku ingin anak aku tahu indonesia jika perlu dunia. Sekolah tinggi tidak menjamin hidup, tapi aku yakin tak ada ilmu yang sia-sia”. Kalimat sederhana yang terlontar dari mulut masyarakat desa yang penuh keterbatasan tentang pemahamannya akan pendidikan sudah seperti itu membuat aku yakin mimpi memajukan indonesia bukan isapan jempol belaka. Dari ujung republik saja suara perubahan sudah mulai mengaung, apalagi di barisan depan republik?.

Dalam garda depan kemajuan pendidikan ada seorang guru. Ada banyak guru hebat yang aku temui disini. Hebat bagi aku tak harus ditunjukkan dengan prestasi luar biasa, karena hebat ditengah segala bentuk keterbatasan seperti ini cukup ditunjukkan dengan jiwa profesionalisme sebagai seorang tenaga pendidik. Diujung utara pulau molu tepatnya di desa wadankao aku bertemu dengan bapak Fekky sabono yang tetap mengajar walau hanya seorang diri dalam satu sekolah. Di tepi timur pulau molu ada desa Tutunametal aku bertemu bapak Tera Luturmas yang kerap menyiapkan anak-anaknya untuk mengikuti beraneka lomba dengan kelas tersendiri setiap sorenya. Di desa penempatan aku juga belajar dari Bapak Adam Lanith yang terus mengupayakan agar kurikulum 2013 tetap berjalan di sekolah meski banyak kendala seperti pengadaan buku yang sampai sekarang tak jelas rimbanya. Beliau rela setiap malam begadang hanya untuk ngeprint sub tema untuk seluruh kelas yang menerapkan K13. Beliau juga selalu memberikan tambahan waktu belajar dikala beliau akan keluar dari pulau untuk urusan administrasi sekolah. selain itu, aku juga berjumpa ibu Tientje Lathuhihin di sekolah penempatanku. Beliau rela pulang telat untuk memberikan tambahan pelajaran untuk anak yang masih membutuhkan, setiap malamnya juga berkeliling kampung memantau anak didiknya menaati jam belajar desa atau tidak.

Begitu banyak pembelajaran jika kita mau merasakan keadaan sampai akar rumput, karena disinilah justru kita menemukan jawaban atas semua kutukan – kutukan yang selama ini kita lontarkan. Kutukan yang sebenarnya tak pantas kita lontarkan jika kita mau melihat apa yang sebenarnya terjadi disini di timur republik. Berkaca dari sini aku rasa jika di ujung republik yang memiliki keterbatasan akses saja geliat pendidikan tengah bergerak sedemikian hebatnya meski tak terlihat dunia luar karena cakupan jangkauan yang terbatas, aku rasa di garda depan republik sana pasti jauh tak kalah hebat. Jika dari depan sampai ujung republik ini telah bergerak bersama dan berproses bersama dalam hal kebaikan bukankah sangat mungkin cita-cita kemerdekaan bangsa indonesia akan segera terpenuhi?


Cerita Lainnya

Lihat Semua