Hijrah

Danang Aditya Nizar 31 Agustus 2014

“Kalau melepas untuk sukses, nggak perlu pakai nangis kan ya Bu?”

–Ibu Hikmah, Bidan Pulau Gili

 

Yang namanya kepergian (hampir) selalu akan disertai oleh derai air mata, dan entah mana yang lebih berat; yang pergi atau yang tinggal. Namun yang pasti, pagi itu keberangkatan Nanik Ijawati—anak Pulau Gili pertama yang akan kuliah di Jakarta—di Pelabuhan Sangkapura sama beratnya bagi Nanik maupun bagi kelurga yang mengantar. Apalagi ini bukanlah kepergian biasa. Ini akan menjadi perjalanan dengan durasi yang lama—total kurang lebih 25 jam perjalanan darat dan laut—untuk jangka waktu yang lama pula. Nanik mendapatkan beasiswa penuh selama empat tahun di Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI), Jakarta, dengan jurusan Sastra Arab. Apa yang dapat terjadi dalam kurun waktu separuh windu? Banyak, tentunya. Itulah mengapa perjalanan ini mungkin memang sama beratnya bagi yang pergi, atau pun yang tinggal.

Perjalanan tak biasa ini bermula dengan tak biasa pula. Semua diawali saat pengumuman kabar bahagia bahwa Nanik berhasil lolos menjadi mahasiswi UAI. Lika-liku pendaftaran dan tes jarak jauh—yang bahkan tak selesai, karena salah-satu-koneksi-internet-yang-terbaik di Sangkapura pun ternyata belum cukup cepat bagi Jakarta—akhirnya terbayar sudah. Namun ternyata helaan napas itu tidak bertahan lama; Nanik harus sampai di Jakarta paling lambat hari Sabtu, 30 Agustus 2014, atau empat hari setelah pengumuman. Jangankan uang pemberangkatan yang belum dikumpulkan sama sekali, keluarga Nanik bahkan saat itu belum bisa diberi kabar; karena ternyata listrik diesel yang biasa hadir di Pulau Gili dari pukul 16.00–22.00 telah mati sejak belasan Agustus (dimaksudkan untuk menambah kesyahduan refleksi Hari Kemerdekaan, mungkin?). Pada titik itu jualah ‘ketidakbiasaan’ perjalanan ini semakin bermunculan. Ibunda dari Nanik, dalam tempo pengambilan keputusan yang sangat singkat, akhirnya mengijinkan putri sulungnya untuk pergi ke Ibu Kota. Sebagai orang pertama yang merekomendasikan nama Nanik saat mendengar kesempatan beasiswa ini, Pak Bul bahkan rela untuk berhutang demi menemani Ibunda Nanik yang tidak berani untuk pulang sendiri dari Jakarta ke Bawean. Di luar Pulau Gili, gerilya kesibukan juga tak kalah serunya. Almamater Nanik dari Hasan Jufri langsung merapatkan barisan untuk membantu dari sisi pendanaan. Seluruh jejaring Pengajar Muda VIII yang bahkan tidak mengenal Nanik pun tanpa ragu langsung turut iuran dan turun tangan menjadi tim penjemputan. Seluruh ‘ketidakbiasaan’ yang mengharukan dan (terkadang) mengherankan ini sebetulnya terjadi sebagai konsekuensi sederhana, karena kita telah bersepakat bahwa pendidikan adalah tanggung jawab setiap individu yang terdidik.

Maka mungkin perjalanan Nanik bukanlah hanya mengenai kepergian dan keberangkatan semata. Bukan pula sekedar kepindahan fisik dari pulau ke Ibu Kota. Tapi lebih kepada pemaknaan kembali bahwa ternyata, pendidikan adalah jalur hijrah yang paling nyata.

Gresik, 29 Agustus 2014


Cerita Lainnya

Lihat Semua