info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Pohon Perjanjian

Doni Purnawi Hardiyanto 9 Agustus 2014

Sebuah janji adalah sebuah harga yang setiap orang wajib mematuhinya atau melaksanakan janji tersebut jika sudah diuatarakan. Sama halnya sebuah perjanjian antara seseorang dengan orang lain, maka siapapun yang berjanji mereka wajib untuk menjunjung tinggi perjanjian tersebut. Sepertinya halnya Indonesia mempunyai janji kemerdekaan yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, siappun orang-orang yang mempunyai pengalaman, pengetahuan yang lebih mampunyai kewajiban untuk mencerdaskan bangsa salah satunya yaitu mendidik. Oleh sebab itu pendidikan bukanlah tugas mereka yang hanya berprofesi sebagai guru, melainkan tugas orang-orang yang terdidik.

Hari ini tepat dua hari masuk sekolah setelah pasca lebaran yang hampir menyita waktu anak untuk belajar karena liburan yang cukup panjang.  Tidak heran jika masih ada anak-anak yang belum sekolah saat hari pertama, namun berbeda pada hari ini. Hampir seluruh siswa sudah hadir meskipun tetap ada yang belum datang tepat waktu.

Pertemuan awal merupakan kunci kesuksesan seorang guru atau pengajar dalam mengontrol siswa. Bukan karena seorang guru bisa membuat kontrak dengan siswa, namun disini siswa dapat membuat janji atau kontrak terhadap dirinya  sendiri. Begitu juga yang aku lakukan saat hari kedua proses KBM di sekolah SDN Oi Marai.

Pagi di hari  selasa aku akan masuk ke kelas V, tidak banyak persiapan yang aku lakukan malam sebelumnya untuk materi yang akan aku ajarkan. Memang ada materi yang sudah aku siapkan, namun tidak secara penuh akan aku berikan, karena ada hal yang lebih penting dibandingkan materi yang diberikan saat itu.

Anak-anak kelas besar di SDN ini cenderung aktif dan sangat suka menajdi diri sendiri. Seperti terkadang pergi ke sekolah tidak menggunakan sepatu karena mereka lebih nyaman menggunakan sandal. Alasanya mereka cukup simple ketika aku bertanya, “sepatu kotor pak, kalau sandal kan kaki yang kotor  jadi bisa di cuci setiap saat”. Jawaban yang lucu dari rata-rata anak yang lebih nyaman menggunakan sandal bukan karena tidak memiliki sepatu melainkan rasa nyaman mereka. Selain itu tidak hanya mengenai sepatu kebersihan yang mereka imani selama ini pun begitu kuat mengenai rasa dingin dipagi hari yang bisa membuat flu, itu alasan mereka saat tidak mandi pergi ke sekolah. Atau lebih luar biasanya lagi kuku yang panjang serta diwarnai dengan pewarna alami yang berwarana hitam.

Beberapa fenomena luar biasa dari anak-anak SD ini membuat aku telah mempersiapkan beberapa kertas berwarna untuk membuat puzzle-puzzle sebuah pohon. Aku menyiapkan tiga buah kertas berwarna dimana setiap anak mendapatkan masing-masing warna. Pertama aku memberikan warna merah, aku memberikan pertanyaan kepada siswa kelas lima. Biasanya di sebuah pohon bagian apa yang sering berwarna merah?, serentak jawab anak-anak “buah Pak”. Aku tersenyum dengan jawaban mereka, karena mereka sudah mengetahui buah-buah disekitar dusun mereka berwarna mearah.

Aku mulai menganalogikan arti sebuah buah warna merah, buah merah menandakan arti dari bauh yang sudah matang dari sebuah pohon. Tidak banyak pohon yang biasa menghasilkan buah yang merah, banyak hal-hal yang harus dilakukan agar setiap orang ingin mendapatkan buah yang merah. Disini aku meminta anak-anak membuat beraneka jenis  buah yang mereka ketahui dan menuliskan sebuah keharusan yang dilakukan di dalam kelas. Aku hanya memberi kata kunci “ Saya Harus” dan “Beberapa kata penyambungnya seperti toilet, bicara, berpakaian, tunjuk tangan. Sehingga anak-anak mampu membuat peraturan dan janji terhadap dirinya sendiri, seperti “ Aku harus mengontrol suara ketika di dalam kelas, juga mereka membuat aku harus izin kalau mau ke toilet. Sebenarnya hampir sama dengan kesepakatan kelas yang dibuat antara guru dengan siswa. Namun kali ini aku membuatnya seolah mereka akan menciptakan sebuah pohon yang akan menuaikan hasil yang bagus jika mereka mampu menciptakan penguatnya.

Tidak hanya warna merah yang berbentuk buah dan melambangkan keharusan mereka saat berada dalam kelasku, ada beberapa warna pendukung lainnya yaitu warna hijau yang diibaratkan dengan daun yang rimbun. Warna hijau ini melambangkan sebuah apresiasi terhadap apa yang dilakukan oleh siswa, tidak hanya apresiasi terhadap hasil yang bagus namun hasil yang kurang baikpun aku buatkan sebuah apresiasi agar siswa agar lebih dihargai saat mereka melakukan hal yang sesuai dengan pemikiran mereka.

Selain warna merah dan hijau, ada warna coklat yang aku beri sebagai struktur pohon yang melambangkan ranting atau batang dari pohon. Untuk menahan buah dan daun yang ada di pohon perlu adanya penguat agar buah tidak mudah jatuh dan daun tidak mudah gugur. Warna coklat merupakan bentuk konsekuensi terhadap apa yang telah mereka tanam sendiri. Ibarat pepatah, “Apa yang ditanam itu yang dituai”.  Sehingga dengan adanya konsekuensi anak-anak lebih menghargai setiap tindakan yang dilakukan dengan lebih bertanggung jawab.

Kali ini aku melihat kebahagiaan anak-anak saat mencoba berusaha menciptakan peraturan yang sebenarnya itu adalah peraturan yang aku harapkan sebagai guru mata pelajaran. Posisiku yang hanya bertemu dengan mereka saat pelajaran tertentu saja membuat aku harus lebih ekstra memperhatikan mereka. Saat mereka menyadari pentingnya disiplin saat belajar berarti mereka sudah sadar untuk menjadi calon penerus yang bertanggung jawab.

Mungkin yang kami buat kali ini hanya sebuah pohon perjanjian sebagai salah satu pengikat antara aku dengan mereka. Harapanya suatu saat ketika di masa depan mereka membuat janji, maka itu adalah sebuah ikatan yang sakral agar mereka bisa membayarnya. Hari kedua saat memulai ajaran baru bersama kelas V ini baru pertama kalinya selama aku mengajar di sekolah menyadari pada dasarnya aturan bukanlah sesuatu yang memaksa, ataupun memenjarakan anak-anak saat belajar, melainkan peraturan adalah sebuah perjanjian suci yang senantiasa harus dijunjung tinggi dan dihargai secara bersama. Walapun itu adalah hal yang sederhana sekalipun, namun jika kita bisa meninggikan makna dari janji tersebut maka akan mencipatkan peraturan yang bisa dijalani dengan sebuah keikhlasan. Mereka telah berhasil menciptakan perjanjian terhadap diri mereka sendiri selama belajar secara bersama-sama, dan mengawasi serta menuntun mereka adalah tugas pokokku sebagai guru. Cerita Indah di awal pertemuan, Oi Marai, 7 Agustus 2014 Doni Purnawi Hardiyanto.


Cerita Lainnya

Lihat Semua