info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

“Rindu Kemenangan di dalam botol impian”

Doni Purnawi Hardiyanto 30 Juli 2014

Mungkin setiap orang pernah merasakan yang namanya rindu, jika rindu sudah merasuki seseorang hanya pertemuanlah yang mampu mengobatinya.  Siapa yang tidak pernah merindukan kebersamaan dengan keluarga, sahabat, rekan kerja dalam moment indah. Hal ini baru saja aku rasakan beberapa minggu terakhir ketika menjelang lebaran, aku tidak tahu rasa yang sudah membuatku sering merenung sendiri di bawah perbukitan yang cukup panas ini. Padahal sebelumnya aku sudah sangat terbiasa dengan yang namanya sebuah perpisahan, tetapi kali ini entah darimana rasa rindu itu ingin sekali aku tuangkan, tetapi sayangnya aku saat ini terjebak dalam sebuah perjalanan indah yang sebenarnya akan mampu menjadi benih rindu besar yang akan hadir dimasa yang akan datang.

Beberapa hari sebelumnya aku hanya bingung sendiri, pergi ke pulau seberang tempat mereka menungguku itu sudah tidak mungkin. Intinya aku harus berada di tempat dimana aku baru pertama kalinya mengalami moment ini. Mungkin sebagian orang menggangap hal ini biasa saja, tetapi menurutku ini terasa sangat berberbeda dari tahun-tahun sebelumnya yang pernah aku alami bukan sebuah rasa sedih namun rasa bangga aku bisa menjadi kisah cerita mereka untuk hari besar tahun ini. Aku tidak tahu apakah dimasa yang akan datang akan ada kesempatanku bisa singgah dan kembali hadir ditengah-tengah mereka. Oleh karena itu rasa rindu yang terlalu besar ini akan aku sebarkan dan lampiasan kepada mereka penghuni tanah oi marai ini pikirku dalam hati setelah melakukan perenungan beberapa hari di tebing sinyal.

Setelah beberapa hasil observasi beberapa guru dan warga, aku sering menanyakan budaya-budaya kecil yang sering dilakukan oleh masyarakat disini saat menyambut idul fitri. Kebanyakan dari mereka hanya diam, ada salah satu jawaban dari warga mengatakan bahwa 5 tahun yang lalu pernah ada kegiatan takbir keliling, namun sekarang sudah tidak ada lagi dikarenakan penduduk yang semakin berkurang sehingga malas untuk mereka menginisiasikan kegiatan tersebut.

Aku ingat beberapa ilmu yang didapatkan diwaktu camp, “apa yang telah dikerjakan patut untuk dirayakan” sebuah jurus jitu yang aku usulkan dengan beberapa guru pada awalnya dan ternyata hasil awalnya juga hanya nol. Tidak ada respon positif dikarenakan mungkin mereka juga merasa pesimis dengan kegiatan ini akan dilakukan kembali setelah lima tahun tidak pernah hadir di tengah-tengah masyarakat. Akhirnya aku memutuskan menggarakan tentara-tentara kecil yang masih memiliki semangat juang yang tinggi, ya benar dia adalah anak-anak muridku, meskipun guru-guru merasa kurang optimis berberda dengan mereka saat aku mengusulkan akan adanya takbir keliling saat malam takbiaran nanti. Sontak keluar jeritan anak-anak  saat mendengar takbir keliling dengan tambahan dengan adanya sebuah obor. Terlihat dari wajah mereka yang tidak sabar menunggu hari kemenangan, sehingga setiap hari selalu menanyakan denganku, “Bapak kapan kita takbiran?, Kapan kita mencari bambu pak? Dua pertanyaan itu selalu singgah kepadaku saat aku bertemu mereka.

Setiap orang pasti sudah menggenal yang namanya obor, mungkin ini menjadi hal yang biasa jika dilihat hanya bambu yang menjadi bahan utama untuk membuat obor. Berbeda saat kita melihat api obor kemenangan lain dari olimpiade, pekan seni olahraga  yang sangat megah dan luar biasa. Namun disini bagiku obor ini sangat indah, sangat indah dibandingkan obor yang pernah aku lihat sebelumnya. Mungkin jika di kota obor akan beradu terang dengan yang namanya cahaya lampu yang hidup di tengah-tengah pemukiman warga. Jika di tempat ini oborlah yang menjadi cahaya utama untuk penerangan jalan dan matahari kecil di malam hari. Sehingga cahaya kecil itu mampu memberikan seberkas cahaya yang sangat indah dan terang, mungkin ini hanya obor sederhana namun bagiku sangat istimewah karena dikobarkan saat malam takbiran di mana ini adalah sebuah hari kemenangan bagi semua umat muslim dunia.

Awalnya hanya anak-anak yang bergerak untuk mengikuti takbir keliling yang aku rencanakan, namun isu malam takbiran ini terdengar juga oleh beberapa warga khususnya kepala dusun yaitu bapakku sendiri. Aku memang tidak langsung meminta mereka untuk menghendle kegiatan ini, namun akhirnya dua hari sebelum pelaksanakan mereka berbondong-bondong untuk mendukung dan memfasilitasi takbiran keliling dengan membawa “tiga Roda” plus sound sistem yang sebelumnya aku tidak ada berpikiran sejauh itu akan mempersiapkanya. Mungkin ada yang bingung dengan sebutan tiga roda, ini adalah alat transportasi seperti motor yang memiliki roda tiga, dan biasanya digunakan untuk mengangkut hasil bumi dari daerah ini.

Setelah warga mulai bergerak sekarang saatnya tugasku hanya membantu dari belakang, dan tidak perlu lagi takut akan kesendirian menjaga anak-anak. Sehingga aku merasa dalam moment indah ini perlu juga sesuatu hal yang luar biasa untuk memberikan apresiasi kepada anak-anak yang telah berjuang dan berlatih puasa sampai setangah hari, ada yang full, dan mengajak mereka terus terawah. Meskipun tidak secara keseluruhan, namun sebagian anak yang sudah melakukan hal yang terbaik ini perlu diberi penghargaan. Sebenarnya bukan hadiah yang aku berikan, aku hanya memberikan sebuah kertas dan spidol kepada anak-anak yang akan ikut takbiran keliling untuk membuat tulisan tentang impian-impian terbesar mereka dan akan dimasukan kedalam botol impian dan nantinya akan sama-sama kami lepas ke lautan yang dalam. Mengapa laut yang aku jadikan tempat menyimpan botol itu, aku harap lautan itu mampu membawa botol ke seberang lautan samudara yang luas dan terdalam. Harapanya impian mereka pun aku sangat luas dalam mencapainya serta menanamkan ke dalam hatinya sedalam lautan.

Ibarat sebuah perjalanan saat mendaki gunung, ada pendakian dan ada juga penurunan, ada jalan yang mulus namun ada juga yang berbatuan. Itupun kami alami saat malam takbiran berlangsung saat aku membawa anak-anak ke bibir pantai. Aku sudah ditungguh oleh salah satu warga yang kurang menyukai dengan acara yang dilakukan malam itu, sejauh ini dalam perjalanan aman dan terkendali tidak ada kekacauan yang dibuat dari takbiran keliling ini. Memang benar ada bunyi petasan  yang menggiringi perjalanan kami, namun itu semua bukan berasal dari rombongan yang aku bawa melainkan anak-anak muda yang tidak ikut namun kadang-kadang membuat rusuh sampai-sampai aku menaikan nada bicara untuk memperingati mereka agar tidak bermain petasan di dekat rombongan kami. Aku hanya takut karena ada anak bayi dengan ibunya yang ikut takut terjadi apa-apa pikirku.

Kedatanganku menuju pantai yang sudah tunggu oleh salah satu warga ternyata bukan karena adanya petasan yang muncul saat kami takbiran. Malah kegiatan takbiran ini yang beliau komentari, dengan suara yang cukup keras datang menghampiriku tanpa melihat beberpa pengikutku yaitu anak-anak yang sebenarnya tidak mungkin mereka harus mendengar jika terjadi perdebatan antara kami berdua. Seorang bapak tentunya harus dihormati, terkadang bukan ketidaksukaan yang membuat dia marah dengan apa yang terjadi, bisa jadi karena ketidaktahuan yang menciptakan suasana yang bisa menjadi konflik jika tidak dikendalikan. Orang yang menungguku menjelaskan bahwa kita puasa baru terhitung 28 hari karena kita mulainya dari hari minggu dan sekarang baru hari minggu jadi baru bertemu empat kali minggu jika dijumlahkan 4 * 7 = 28 hari. Jujur aku juga tahu kalau perkalian itu akan menjadi bilangan 28, tetapi disini aku mencoba menjelaskan perhitungan bukan dilihat dari minggu beradasarkan pemahaman beliau, melainkan hitung manual berdasarkan tanggal puasa yaitu 29 Juni. Benar saja beliau tetap kokoh dengan pendiriannya, sehingga aku menawarkan beliau untuk melihat televisi lagi dan kalau seandainya belum lebaran aku dan rombongan anak-anak sepakat untuk tidak melanjutkan takbiran dan shalat id besok paginya. Benar saja ketika bapak tadi datang ke rumahku untuk melaporkan dengan warga lain, ternyata terdengar takbir dari televisi sehingga mengurungkan niatnya dan beliau berkata dengan salah satu temanya “ ya sudah kalau memang sudah lebaran, tetapi saya tidak ingin shhalat id karena puasa masih 28 hari” ungkap temannya padaku saat bertemu. Seperti dalam banyak tulisan "Perbedaan itu Indah", begitu juga hal yang membuat aku banyak belajar disini.

Sungguh perjalanan takbir keliling malam ini penuh dengan sebuah kisah yang lengkap dan sempurna menurutku, seperti film yang sering aku tonton sekarang aku yang seolah menjadi pemerannya. Setelah sampai di pantai jeritan dan doa anak-anak sebelum aku melemparkan botol ke laut menjadi moment kemenangan tersendiri untuk mereka di idul fitri tahun ini terkhususnya juga untukku. Bukan mungkin lagi, ini akan menjadi rindu kemenangan untukku di masa yang akan datang. Aku rindu asap berterbangan ke wajahku saat memegang obor, aku rindu akan teriakan takbir dari suara anak-anak, aku rindu lemparan semangat mereka untuk menggapai impian besar, dan aku juga bakal rindu dengan suara ombak saat meleparkan botol ke arah laut tetapi ada hal yang tidak aku rindukan yaitu kejadian dengan salah satu warga itu semoga tidak akan terjadi lagi. Meskipun baru satu malam menciptakan kerinduan itu aku seolah akan benar-benar merasakan rindu itu di belahan bumi lain saat aku hidup nanti.

Salam hangat dari tanah kerinduan Oi Marai, Doni Purnawi Hardiyanto


Cerita Lainnya

Lihat Semua