Sudah Sekolah Tinggi, Kok Mau Mengajar SD? Pedalaman Pula!

CitraHasan 30 Oktober 2015

Sudah sekolah tinggi, kok mau mengajar SD? Pedalaman pula! Pertanyaan yang terus menerus aku dengar, simak, atau curi dengar dari percakapan orang lain semenjak namaku terpampang di pengumuman laman itu. Seketika, sekelibat lembar memori itu menari – nari di  otakku. Tepat beberapa tahun yang lalu pada masa angkatan awal, aku melihat tautan laman tentang program mengajar anak – anak di daerah terdepan Indonesia. Lantas aku buka laman itu dan mencari tahu bagaimana cara untuk mendaftar. Tapi, mataku melirik konten tentang profil beberapa alumni dan aku mendapati bahwa mereka adalah sarjana – sarjana terbaik di universitas – universitas unggulan Indonesia maupun luar negeri. Sontak, aku menjadi minder dan rendah diri. Refleksi diri terpampang. Citra Hasan : bukan lulusan top-five universities, IPK biasa-biasa saja, organisasi senat atau organisasi kondang? tidak ada. Aku pun mengurungkan niat. Dan waktu berlalu begitu saja. Aku bekerja, mengajar, dan mengeksplorasi diri.

Tahun – tahun berikutnya, si tautan laman ini terus saja menghiasi halaman sosial mediaku. Aku lirik (lagi). Di saat yang bersamaan, adikku sekaligus rekan diskusiku, baru saja memberi selamat lewat sosial media atas wisuda magisterku dengan berucap, “Semoga semakin berilmu jangan semakin menghabiskan makanan orang lain. Begitu kata mas Pram”. Hening. Pikir. Serap. Masuk ke mimpi tidur malam itu juga. Pertanyaan itupun muncul. Selama ini aku sibuk menimba ilmu, apa saja yang telah kuperbuat? Maksudku, benar – benar telah berbuat apa? Anganku pun terganggu ketika komputer jinjingku berbunyi karena baterai lemah. Sambil menyalakan baterai komputerku, aku melihat tautan laman itu lagi. “Daftar gak ya?”, gumamku. Ah, tapi rasanya aku sudah terlambat. Usiaku mungkin sudah tidak sesuai lagi. Kemudian, ada tautan lagi. Kali ini berisikan video. Aku putar. Video itu berisi acara diskusi tentang perjalanan seorang guru di pedalaman bagian timur Indonesia. Sebelumnya dia telah bekerja di perusahaan besar di luar negeri dan dia telah berusia lebih dari 25 tahun.  “Bakalan lulus gak ya?”, gumamku lagi. Berpikir. Baca. Gemerutuk gigi. Gigit kuku. Keringat dingin. Klik. Aku daftar. Daftar dengan tanpa beban, tanpa ambisi, tanpa harapan tinggi. Apa adanya saja.

Tahap demi tahap berjalan. Essai yang diisi dengan refleksi diri yang benar adanya, Direct Assesment yang dilalui dengan ceria dan santai, Medical Check Up yang dijalani dengan sedikit lapar, persiapan logistik yang secukupnya dan semampunya, pelatihan intensif yang dijalani dengan penuh warna, sukacita, dan bermakna, sampai di saat mengharukan dan membuat merinding yaitu pelantikan Pengajar Muda di ketinggian gunung 2020 di Jawa Barat Juni 2015 lalu. Di momen tersebut, aku yang sering disebut sebagai perempuan berhati dingin, bermulut nyinyir, berwajah serius, berucap blak-blakan (sewaktu Farewell Party Pengajar Muda angkatan X, mereka menobatkan aku sebagai “Ter-Nyablak”) tak bisa menahan gengsi. Air mata menetes. Entah itu ekspresi puncak lelah karena telah menaiki gunung tinggi, puas karena telah selesai pelatihan, sedih karena akan berpisah dengan rekan – rekan penempatan lain, atau mungkin hanya ekspresi lapar saja. Aku tak terlalu peduli. Perempuan yang tak terlalu nasionalis ini langsung hening ketika dapat giliran mencium bendera Merah Putih. Ada yang menangis histeris, ada yang berteriak, ada yang mengobrol, ada yang terdiam, dan aku? Mata dan telingaku tertutup. Hening menghampiri. Lembar hidup berjalan – jalan di otakku.

Siapa tahu? Anak kampung Tapanuli Selatan yang sering lupa diri kalau bermain di sungai atau di hutan dan yang selalu meneteskan air mata ketika melihat pengemis atau anak jalanan ini harus berangkat berjuang di dataran timur tanah Indonesia, Tanah Papua. Tanah kaya yang penuh dengan anak – anak cerdas mutiara bumi. Tak sabar aku hendak berbagi pengalaman masa kecilku. Tak sabar aku mendapat cerita dan pengalaman mereka yang kaya dan bermakna.

Siapa tahu? Perempuan yang minder untuk daftar sewaktu itu karena harus bersaing dengan lulusan universitas ternama di Indonesia dan luar negeri telah menjadi salah satu dari 600an Pengajar Muda.

Siapa tahu? Hidup memang se-misterius itu.

 

 

 

 


Cerita Lainnya

Lihat Semua