info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Benarkah Alumni PM itu “Sumo”? Susah Move On?

CitraHasan 3 Oktober 2016

“Ko Idul Adha dimanakah?”

“Di Bomberay o. Hehe”

“Eh..ko belom move on kah?

“...”

 

Begitulah percakapan saya bulan lalu dengan teman saya yang tinggal di Fakfak, tempat saya bekerja sebagai Pengajar Muda selama satu tahun. Bomberay adalah nama kecamatan tempat penempatan saya. Beberapa bulan menjelang kepulangan dari daerah penempatan, petuah – petuah dari Pengajar Muda sebelumnya kebanyakan tentang : Bersiaplah untuk Move On! Awalnya, saya berpikir apakah benar sesulit itu. Ketika saya menginjakkan kaki di tanah Fakfak provinsi Papua Barat untuk pertama kalinya, saya sempat menduga akan menemukan kesulitan beradaptasi dan mengenang kehidupan saya sebelumnya, yaitu di kota Medan. Ternyata, hal itu hanya terjadi di awal – awal minggu saja. Saya menikmati kesendirian, perbedaan budaya, dan isolasi peradaban perkampungan di tempat saya bekerja. Terlebih lagi, penyambutan warga Fakfak yang begitu hangat dan ramah membuat saya semakin betah dan tidak mengurung diri menangisi keadaan saya. Alam yang begitu kaya dan indah pun seperti bonus yang tak kunjung habisnya. Kehidupan selama kurang lebih 365 hari tersebut tak terasa lewat begitu saja. Pastilah para alumni Pengajar Muda lainnya juga memahami perasaan saya.

Tetapi, semua agenda pasti ada tenggat waktunya. Kontrak yang ditandatangani dengan jelas menyebutkan bahwa Pengajar Muda bersedia untuk dipulangkan setelah menjalani masa kerjanya selama satu tahun. Tibalah masa kepulangan itu. Awalnya, semua terlihat dan terasa baik – baik saja. Euforia oleh – oleh yang tak hanya berupa gelang, tas, kaos khas Fakfak beserta dokumentasi dan video selama berada disana, tetapi juga cerita kenangan dengan rekan satu tim penempatan dan keluarga serta teman – teman warga Fakfak masih terus meramaikan proses kepulangan. Saya dan rekan satu tim beserta rekan – rekan Pengajar Muda dikumpulkan di pusat ibukota Jakarta untuk menjalani masa Orientasi Pasca Penempatan (OPP) yang diselenggarakan oleh kantor Indonesia Mengajar. Di kegiatan tersebut, kami diharapkan mampu berorientasi dengan kehidupan setelah penugasan, menentukan visi misi kehidupan, dan yang pasti mampu menerima kenyataan yang cenderung berbeda dengan kehidupan sebelumnya. Seperti guyonan beberapa rekan, “Setahun lalu itu bagai mimpi. Nah...waktunya sekarang kita bangun kembali dan back to reality”.

Namun, apalah arti kegiatan yang tiga hari tersebut dibandingkan dengan kehidupan penuh kesan yang berjumlah ratusan hari. Sepulang dari kegiatan OPP, saya langsung kembali ke kampung halaman saya di kota Padangsidimpuan untuk melepas rindu dengan orangtua dan keluarga. Semua masih bernafas Fakfak. Cerita Fakfak, logat Fakfak, makanan dan kue – kue khas Fakfak, pantai Fakfak, dan orang – orang Fakfak masih menjadi perbincangan utama. Semua kenangan masih terngiang – ngiang jelas. Bahkan, tak jarang saya merasa terasing di rumah dan menyendiri sesekali di kamar dan menonton video tentang Fakfak. Tak ingin lama – lama merasa “terasing” di kampung halaman sendiri, saya langsung berangkat travelling ke negara Nepal. Rencana ini sudah setahun lalu saya dan teman saya rencanakan. Judulnya “Merayakan Selesainya Tugas Selama Setahun”. Tapi, judul tinggal judul. Dibalik gelak tawa dan riangnya liburan, saya masih menyimpan rasa rindu mendalam. Sepulang dari Nepal, akhirnya saya dihadapkan dengan kenyataan.

Saya diburu pertanyaan oleh sekitar “jadi, habis ini mau ngapain?”, “mau kerja apa setelah ini?”, “mau nganggur sampai kapan?”. Walau pertanyaan – pertanyaan itu terasa mengintimidasi, saya tidak khawatir akan hal itu. Yang lebih saya kahawatirkan adalah pertanyaan – pertanyaan yang muncul di kepala saya sendiri. Apakah saya mampu berjalan terus ke depan? Benarkah berjalan ke depan tak boleh melihat ke belakang? Apakah berjalan ke depan bisa sambil melihat ke belakang?

Berhari – hari dan berbulan – bulan saya mencari jawaban. Sampai detik saya menulis artikel ini pun, saya masih mencari. Akhirnya, saya formulasikan pertanyaan sederhana: Who am I now?

Dengan pertanyaan itu, saya berharap saya bisa mendapatkan jawaban demi jawaban.

1.    Definisikan arti Who Am I Now

Dengan proses mencari jawaban pertanyaan di atas, saya mendefinisikan saya sekarang adalah manusia yang sudah memiliki beberapa pengalaman hidup yang baru yang menjadi nilai – nilai kehidupan saya sekarang. Kehidupan yang serba terbatas, sederhana, dan dipenuhi orang – orang baik menempa saya menjadi manusia yang lebih peka terhadap sekitar. Ibarat kata orangtua jaman dahulu, apalah arti kaki panjang kita pikiran tetap sempit. Kemudian, kombinasikan dengan pemahaman siapa diri kita sebelum penempatan. Artinya, jangan sampai lupa siapa diri kita dulunya. Maka, dengan nilai – nilai tersebut, saya menjadi lebih mudah mencari jenis pekerjaan ataupun kesibukan saya sekarang ini.

 

2.    Cari kesibukan!

Setelah mendefinisikan diri sendiri, maka carilah kesibukan. Kesibukan disini tidaklah melulu dalam bentuk pekerjaan formal yang bergaji dan kontrak. Kesibukan bisa saja maknanya berkegiatan, berorganisasi, dan bersosialisasi dengan habitat yang sekarang ini. Walau sudah memiliki pengalaman “luar biasa”, tidak perlu juga untuk terus terjebak di masa itu dan terus mengumbar –ngumbarnya di komunitas yang sekarang ini. Ingatlah, dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung. Tidak semua komunitas bisa menanggapi cerita pengalaman – pengalaman “luar biasa” kita itu dengan positif. Menurut saya, ada baiknya bukan jualan kecap, alias omong doank. Tapi, tunjukkanlah sikap dan contoh perilaku dan perbuatan sebijak – bijaknya yang menunjukkan bahwa perjalanan selama setahun itu tidaklah sia – sia.

 

3.     Move On, Bukan Berarti Melupakan

Karena rasa takut dianggap tidak bisa berjalan ke depan, tidak juga kita harus melupakan kehidupan selama disana. Tetaplah berkomunikasi dengan masyarakat disana yang telah dianggap sebagai keluarga kandung, baik keluarga asuh, warga, maupun teman – teman sepermainan. Walau sesibuk bagaimanapun, sisihkanlah waktu untuk menjawab telepon, dan membalas pesan singkat sms dari mereka. Terkadang secuil sms jauh lebih berharga dari apapun.

 

4.    Saling Mendukung dengan Rekan se-Angkatan

Walau sudah sibuk dengan kegiatan maupun agenda masing – masing, tidak ada salahnya untuk menanyakan kabar rekan se-angkatan, khusunya sepenempatan. Walau terputus oleh jarak geografi, mereka pernah menjadi keluarga terdekat selama setahun. Tempat berbagi, bertengkar, rekan sepercucian, masak memasak, bahkan teman sesama penderita Malaria.

 

5.    Anggap Sebagai Fase Hidup

Memang benar adanya kehidupan selama satu tahun itu sangatlah berkesan dan tidak terlupakan. Namun ada baiknya, anggaplah itu sebagai salah satu fase kehidupan seperti fase – fase kehidupan lainnya, seperti kelahiran, masuk sekolah pertama kalinya, hari pertama kuliah, pertama pacaran, pertama kali diselingkuhi, dan yang lainnya. Dengan begitu, kita bisa lebih ringan melangkah ke depan.

 

 

Jujur, saya menulis artikel ini sesungguhnya sedang berbicara dengan diri saya sendiri. Saya berharap rekan – rekan alumni yang baru saja kembali ke kehidupannya sekarang bisa mendapat insight dari tulisan ini. dan bagi rekan – rekan yang sebenarnya sudah bisa move on, selamat! Saya bangga kepada kalian. Mudah – mudahan tulisan ini juga dapat memberikan insight tersendiri bagi teman – teman tersayang. Doakan juga saya agar tidak susah move on, tapi tidak melupakan. 


Cerita Lainnya

Lihat Semua