Tangan Tidak Terlihat

BryanWhildan Arsaha 13 Juni 2015

Saya akan memulainya dengan surat singkat yang dikirimkan seorang sahabat hebat, calon pengajar muda yang pulang di minggu keempat pelatihan karena alasan fisik,

"It’s not what others see, nor their applause and approval. You’ve learned how to be sincere. Turned out, it’s about giving all of you.”

Menjadi sangat mengena karena beberapa hari sebelum saya tahu surat itu hadir, saya berbicara kepada beberapa orang mengenai tangan-tangan tidak terlihat, yang tidak pernah disebut namanya, para pemilik senyum ramah ketulusan.

Bagaimana baju ini dijahit hingga siapa saja yang mengeluarkan peluh melalui tangan-tangan terampilnya hingga dapat kita kenakan sekarang; Bapak-bapak yang bangun lebih pagi untuk membersihkan kantor, yang memasang foto presiden dan wakil presiden lengkap dengan garuda di tengahnya di muka ruang; pelempar koran pagi dari balik pagar tinggi, yang kemudian kita baca sembari menikmati teh hangat dan renyah gorengan. Cari dan sebutkanlah, niscaya banyak hal lain yang membuat kita mudah bersyukur karena detail. Semoga hati kita tidak cukup keras untuk abai, karena banyak hal kecil tanpa kita sadari hadir untuk kita, menyempurnakan.

Dan sehangatnya terimakasih dihaturkan kepada segenap yang berkerumun di Gerakan Indonesia Mengajar, atas segalanya, karena selama pelatihan intensif Pengajar Muda angkatan X saya banyak belajar mengamati bagaimana tangan-tangan tidak terlihat ini bekerja, penuh keikhlasan, tanpa terlena dengan apresiasi, tanpa berharap akan riuh tepukan.

Tidak lama lagi saya menapak tanah dalam naungan langit Muara Enim. Dengan penuh takzim, saya mohon doa dari semesta, agar saya khususnya, senantiasa belajar dari para pemilik tangan-tangan tidak terlihat, untuk menjadikan kerendahan hati sebagai nafas dalam bekerja. Karena sesungguhnya, dari 10.555 yang mendaftar dan menyusut menjadi 74 kami, rasanya kami belum membuktikan apa-apa, toh lagipula bukankah “kebaikan yang bermakna, adalah ketika kebaikan itu terjadi, siapa yang membuatnya tidak lagi menjadi penting.”

Akhirnya, biarlah saya menutup bagian ini sekaligus membuka lagi lembar panjang perjalanan; dengan kalimat yang saya dengar di minggu kedua pelatihan, yang saya sebutkan berulang dalam do’a, namun baru kali pertama ini mengungkapkannya;

"Ya Allah, berikanlah kami kekuatan untuk mengubah apa yang bisa kami ubah, berilah kesabaran dalam menghadapi hal-hal yang tidak bisa kami ubah. Dan berilah kami kebijaksanaan untuk dapat membedakan diantara keduanya. "

Wisma Handayani, 2 jam menjelang keberangkatan.


Cerita Lainnya

Lihat Semua