Sejatinya Merdeka

BryanWhildan Arsaha 17 Agustus 2015

"Pak Bryan saja jadi pembina upacaranya ya."

Senin lalu setelah membantu pembagian petugas upacara dan mengatur barisan, saya ditembak untuk menjadi pembina upacara.

Supaya tidak ada yang banyak bicara ketika beramanat, saya sedikit membuat tegang dengan menunjuk anak-anak secara acak untuk menjawab pertanyaan.

"Ridho, tanggal 17 Agustus hari apa?" tanyaku.

"Hari senin, pak" jawabnya.

"Betul." Jawabku dengan senyum.

Berurutan kemudian saya mencari jawaban, memastikan benar jika anak-anak tahu bahwa tanggal 17 Agustus taun ini adalah peringatan kemerdekaan RI yang ke-70.

 

Senin pagi itu saya berbicara tentang perebutan kemerdekaan dari para penjajah oleh pada pejuang, kemudian tentang senapan bersenjata yang menjelma menjadi buku dan pena, tentang sejatinya merdeka.

Sania si pemimpin upacara di depan saya tidak luput pula saya tunjuk tanyai, "Sania, apakah sebenarnya kita sudah merdeka? Kamu sudah merdeka?"

Lapangan hening, saya tidak terlalu yakin anak-anak ini hanya sekedar memperhatikan saya yang belum fasih benar menggunakan bahasa dusun, atau terkesima tertohok bingung dengan pertanyaan saya.

Saya juga tidak menjawab pertanyaan saya sendiri.

 

"Sejatinya kita sama masih sedang berjuang, melawan kemalasan, bergegas melawan kebodohan. Sejatinya kita harus selalu melawan untuk merdeka, dari ketidaktahuan menjadi tahu, ketidakmengertian menjadi mengerti. Membebaskan diri dari hal yang menjerumuskan ke dalam ketertinggalan."

 

"Sejatinya, kalian harus punya, harus selalu ingat tujuan yang menguatkan tegapnya kaki kalian untuk datang ke sekolah hari ini, hari esok."

"Sejatinya, hari ini kita bukan hanya menancapkan kibaran bendera di tengah lapang kita ini saja, tapi juga menyusupkannya kembali ke relung, memperbarui yang sudah ada"

"Sejatinya, kalian punya cita-cita untuk kalian kejar. Sepuluh tahun lagi, satu dari kalian mungkin ada yang akan menerbangkan pesawat di atas langit kita ini, menopang senjata berbaju hijau loreng tentara, atau berdiri di depan-depan kelas menggantikan Bapak-Ibu guru di sekolah kita ini. Sepuluh dua puluh tahun lagi, Indonesia milik kalian. Bapak pun punya cita-cita yang Bapak gantungkan tinggi. Mari berjuang bersama!"

 

Senin itu, saya mencukupkan sampai disitu. Kemudian mengingat lamunan saya saat mengikuti upacara semasa SD dan SMP. Cukup percaya diri untuk menjadi pemimpin upacara, namun lebih seringnya berdiri di samping belakang pembina upacara, menjadi ajudan pembawa pancasila. Tidak lebih dua langkah dari posisi pembina. Siapa sangka saat itu saya yang harus paling banyak mendengarkan amanat pembina.

Selamat memperingati hari kemerdekaan RI ke-70.

Selamat bertanya(dan menjawab) soal sejatinya merdeka.


Cerita Lainnya

Lihat Semua