Kabar Baik yang Berserak

BryanWhildan Arsaha 10 Maret 2016

Malam dengan sebuah pertemuan yang jarang. Para guru pendamping berkumpul di tengah waktu luang kegiatan belajar luar kelas, hasil kolaborasi dengan salah satu perusahaan tambang ternama. Melepaskan diri sejenak dari tanggung jawab mereka sebagai pendamping, sementara anak-anaknya sedang belajar melukis kreatif bersama salah satu relawan. Kita merayakannya dengan sederhana. Duduk di ruang lapang, bersemenjana di lantai tanpa alas, dengan makanan seadanya hasil urunan. Raut-raut muka yang saling bersapa, membuat udara malam yang dingin jadi terasa hangat.

Kami para pengajar muda bersepakat malam itu adalah malam bagi kami untuk mendengarkan, memberikan kesempatan kepada guru-guru untuk berkisah lepas tentang dunia mereka. Siapa diantara Bapak-Ibu guru sekalian yang telah menjadi guru dengan waktu paling lama?”, jadilah pertanyaan tersebut sebagai pertanyaan pembuka untuk mengalirkan kisah. Pak Jauhar angkat bicara, 27 tahun pengalaman di benaknya terusik meminta untuk keluar diceritakan. Pak Jauhar berbagi mengenai cara-caranya dalam menghadapi murid yang cukup nakal, orangtua murid yang protes, hingga bagaimana beliau menyesuaikan gaya kepengajaran dengan sistem pendidikan yang berganti-ganti, hingga keengganannya ketika pertama kali dicalonkan sebagai Kepala Sekolah. Jarak rumah dengan sekolah yang beliau pimpin kini pun tidak dapat dibilang dekat, membutuhkan sekitar 90 menit perjalanan dengan medan yang menantang. Sekolahnya berlokasi di tengah Talang perkebunan karet di Lubai Ulu, sekitar 15 km dari akses jalan raya terdekat. Tapi tanggung jawab membuatnya selalu berhasrat datang ke sekolah tiap hari. “Saya malu kalau tidak datang, guru-guru disana selalu bersemangat mengajar dan suasana kekeluargaan di sekolah sangat kuat. Yaa meskipun kalau di musim hujan seperti ini, kalau belum 3 kali terbalik motor belum akan sampai di sekolah.” Ujar Pak Jauhar, alasan yang menguatkannya untuk ikhlas menembus tantangan.

Seperti tidak ingin kalah, kemudian guru-guru saling bergantian mengungkapkan keluh kesah, penderitaan yang dibeban. Salah satu guru honor bercerita soal gaji yang tidak seberapa pun diberikannya tersendat-sendat, bangunan yang belum setahun berdiri tapi atapnya hampir roboh. Namun sesungguhnya, malam itu para guru yang menjadi garda pendidikan tidak sedang membuka cabang-cabang permasalahan, melainkan lebih untuk melepaskan beban, mencurahkan harapan. Merekalah yang utamanya menyaksikan, merekalah yang terdepan merasakan. Ironisnya, tetesan peluh pengorbanan mereka dalam pendidikan jarang dibicarakan, atau didengarkan.

Maka para pengajar muda malam itu tersentak lagi, betapa perjalanan para pengajar muda sangat tidak seberapa dibanding para guru yang berjerih payah. Sebagai penutup malam itu, salah satu pengajar muda mengutarakan kesaksiannya.

“Dengan segala kesusahan dan berbagai keterbatasan yang Bapak-Ibu guru  sekalian ceritakan panjang lebar, kami para pengajar muda menemukan keajaiban-keajaiban dari energi besar yang kami tidak tahu darimana datangnya energi tersebut. Saat pertama kali datang, kami langsung terpukau dengan suguhan anak kelas 1 SD dari kecamatan Lubai Ulu, yang saya belum yakin benar lancar membaca, membawakan pidato secara lugas dan percaya diri di depan Bupati dan ratusan tamu undangan yang datang. Kemudian sampailah kabar dua anak dari ujung Semende dan Talang di Rambang, bersama 1 perwakilan dari Palembang, mereka berhak mewakili Sumatera Selatan dalam Konferensi Penulis Cilik Indonesia (KPCI) di Bogor, Jawa Barat. Suatu kelegaan mendalam, ketika melihat betapa anak-anak kita di ujung-ujung Muara Enim sangat berpotensi dan layak bersanding dengan anak-anak yang tumbuh di kota-kota besar. Tidak sampai disitu, bak kabar cerita dari negeri dongeng, seorang guru honor dari sebuah Talang (dengan segala latar belakang cerita yang kita miliki mengenai guru honor), menjawab tantangan dengan penobatan dirinya sebagai pemuda pelopor se-Sumatera Selatan. Kepakan sayap pengetahuannya kemudian Ia lebarkan dengan terpilihnya guru honor ini untuk mengikuti ASEAN Youth Excursion di Malaysia dan Singapura beberapa waktu lalu. Dan percayalah, dari kisah jerih kerja yang Bapak-Ibu sampaikan, kabar-kabar baik itu berserak, dan semoga suatu saat segenap negeri ini akan tergerak oleh semakin banyaknya kabar-kabar baik dari energi luar biasa dimiliki para guru seperti Bapak-Ibu sekalian.”

Mendadak keluh kesah yang disampaikan terasa ringan. Setegap apapun bangunan, tidak cukup satu pondasi yang bertegap mempertahankan . Sekuat apapun simpul pendidikan, ada tali-tali berisi empati kepedulian yang saling berkaitan. Malam dengan pertemuan yang jarang, kami dan para guru akan kembali esok hari, melanjutkan keseharian. Masing-masing dari kami menatap faham, kami tidak akan berhenti hanya karena peluh lelah.


Cerita Lainnya

Lihat Semua